KATA PENGANTAR
Kurikulum memegang kedudukan kunci dalam pendidikan, sebab berkaitan dengan penentuan arah, isi dan proses pendidikan, yang pada akhirnya menentukan macam dan kualifikasi lulusan suatu lembaga pendidikan. Kurikulum menyangkut rencana dan pelaksanaan pendidikan baik dalam lingkup kelas, sekolah, daerah, wilayah maupun nasional. Semua orang berkepentingan dengan kurikulum, sebab kita sebagai orang tua, sebagai warga masyarakat, sebagai pemimpin formal ataupun informal selalu mengharapkan tumbuh dan berkembangnya anak, pemuda, dan generasi muda yang lebih baik, lebih cerdas, lebih berkemampuan. Kurikulum mempunyai andil yang cukup besar dalam melahirkan harapan tersebut. Buku ini disusun dengan tujuan membantu para guru, dosen, instruktur, widyaiswara, para pengembang, pengelola, penentu kebijaksanaan, dan siapa saja yang terlibat dan berminat dalam pengembangan kurikulum; untuk menambah wawasan tentang apa, mengapa, dan bagaimana pengembangan kurikulum. Meskipun dalam buku ini diusahakan menyajikan materi yang bervariasi dengan cara penyajian yang moderat, tetapi mungkin saja sajian ini belum bisa memenuhi kebutuhan semua pihak. Untuk itu penulis meminta maaf dan menantikan saran- saran bagi penyempurnaannya. Isi buku ini merupakan penyempurnaan dari buku sebelumnya yang berjudul Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum, yang ditulis dengan bantuan Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Depdikbud, untuk kepentingan Program Pascasarjana. Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Pimpinan P2LPTK, serta para pimpinan teras Depdikbud, yang telah mendorong penulisan serta memberi izin menerbitkan kembali buku ini oleh lembaga di luar P2LPTK.
Bandung, 1997 Nana Syaodih Sukmadinata
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
BAB 1 Konsep Kurikulum
A. Kedudukan kurikulum dalam pendidikan
B. Konsep kurikulum
C. Kurikulum dan teori-teori pendidikan
BAB 2 Teori Kurikulum 1
A. Apakah teori itu?
B. Teori pendidikan
C. Teori kurikulum
BAB 3 Landasan Filosofis dan Psikologis Pengembangan Kurikulum
A. Landasan filosofis
B. Landasan psikologis
BAB 4 Landasan Sosial-Budaya, Perkembangan Ilmu dan Teknologi dalam Pengembangan Kurikulum
A. Pendidikan dan masyarakat
B. Perkembangan masyarakat
C. Perkembangan ilmu pengetahuan
D. Perkembangan teknologi
E. Pengaruh perkembangan ilmu dan teknologi
BAB 5 Macam-Macam Model Konsep Kurikulum
A. Kurikulum subjek akademis
B. Kurikulum humanistik
C. Kurikulum rekonstruksi sosial
D. Teknologi dan kurikulum
BAB 6 Anatomi dan Desain Kurikulum
A. Komponen-komponen kurikulum
B. Desain kurikulum
BAB 7 Proses Pengajaran
A. Keseimbangan antara isi dan proses
B. Isi dan kurikulum
C. Proses belajar
D. Kesiapan belajar
E. Minat dan motif belajar
BAB 8 Pengembangan Kurikulum
A. Prinsip-prinsip pengembangan kurikulum
B. Pengembangan kurikulum
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi
D. Artikulasi dan hambatan
E. Model-model pengembangan kurikulum
BAB 9 Evaluasi Kurikulum
A. Evaluasi dan kurikulum
B. Konsep kurikulum
C. Implementasi dan evaluasi kurikulum
D. Peranan evaluasi kurikulum
E. Ujian sebagai evaluasi sosial
F. Model-model evaluasi kurikulum
BAB 10 Guru dan Pengembangan Kurikulum
A. Guru sebagai pendidik profesional
B. Guru sebagai pembimbing belajar
C. Peranan guru dalam pengembangan kurikulum
D. Pendidikan guru
Daftar Rujukan
BAB 1 KONSEP KURIKULUM
A. Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik dengan peserta didik dalam upaya membantu peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan. Interaksi pendidikan dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, ataupun rnasyarakat. Dalam lingkungan keluarga, interaksi pendidikan terjadi antara orang tua sebagai pendidik dan anak sebagai peserta didik. Interaksi ini berjalan tanpa rencana tertulis,Orang tua sering tidak mempunyai rencana yang jelas dan rinci ke mana anaknya akan diarahkan, dengan cara apa mereka akan dididik, dan apa isi pendidikannya. Orang tua umumnya mempunyai harapan tertentu pada anaknya, mudah-mudahan is menjadi orang soleh, sehat, pandai, dan sebagainya, tetapi bagaimana rincian sifat-sifat tersebut bagi mereka tidak jelas. Juga mereka tidak tahu apa yang harus diberikan dan bagaimana memberikannya agar anak-anaknya memiliki sifat-sifat tersebut. Interaksi pendidikan antara orang tua dengan anaknya juga sexing tidak disadari. Dalam kehidupan keluarga interaksi pendidikan dapat terjadi setiap saat, setiap kali orang tua bertemu, berdialog, bergaul, dan bekerja sama dengan anak- anaknya. Pada saat demikian banyak perilaku dan perlakuan spontan yang diberikan kepada anak, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan-kesalahan mendidik besar sekali. Orang tua menjadi pendidik juga tanpa dipersiapkan secara formal. Mereka menjadi pendidik karena statusnya sebagai ayah atau ibu, meskipun mungkin saja sebenarnya mereka belum siap untuk melaksanakan tugas tersebut. Karena sifat-sifatnya yang tidak formal, tidak memiliki rancangan yang konkret dan ada kalanya juga tidak disadari, maka pendidikan dalam lingkungan keluarga disebut pendidikan informal. Pendidikan tersebut tidak memiliki kurikulum formal dan tertulis. Pendidikan dalam lingkungan sekolah lebih•bersifat formal. Guru sebagai pendidik di sekolah telah dipersiapkan secara formal dalam lembaga pendidikan guru. la telah mempelajari ilmu, keterampilan, dan seni sebagai guru. Ia juga telah
dibina untuk memiliki kepribadian sebagai pendidik. Lebih dari itu mereka juga telah diangkat dan diberi kepercayaan oleh masyarakat untuk menjadi guru, bukan sekadar dengan surat keputusan dari pejabat yang berwenang, tetapi juga dengan pengakuan dan penghargaan dari masyarakat. Guru melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dengan rencana dan persiapan yang matang. Mereka mengajar dengan tujuan yang jelas, bahan-bahan yang telah disusun secara sistematis dan rinci, dengan cara dan alat-alat yang telah dipilih dan dirancang secara cermat. Di sekolah guru melakukan interaksi pendidikan secara berencana dan sadar. Dalam lingkungan sekolah telah ada kurikulum formal, yang bersifat tertulis. Guru-guru melaksanakan tugas mendidik secara formal, karena itu pendidikan yang berlangsung di sekolah sering disebut pendidikan formal. Dalam lingkungan masyarakat pun terjadi berbagai bentuk interaksi pendidikan, dari yang sangat formal yang mirip dengan pendidikan di sekolah dalam bentuk kursus-kursus, sampai dengan yang kurang formal seperti ceramah, sarasehan, dan pergaulan kerja. Gurunya juga bervariasi dari yang memiliki latar belakang pendidikan khusus sebagai guru, sampai dengan yang melaksanakan tugas sebagai pendidik karena pengalaman. Kurikulumnya juga bervariasi, dari yang memiliki kurikulum formal dan tertulis sampai dengan rencana pelajaran yang hanya ada pada pikiran penceramah atau moderator sarasehan, atau gagasan keteladanan yang ada pada pemimpin. Interaksi pendidikan yang berlangsung di masyarakat, yang memiliki rancangan dan dilaksanakan secara formal sebenarnya dapat dimasukkan dalam kategori pendidikan formal. Interaksi yang rancangan dan pelaksanaannya kurang formal dapat kita sebut sebagai pendidikan kurang formal (less formal). Karena adanya variasi itu, Para ahli pendidikan masyarakat lebih senang menggunakan istilah pendidikan luar sekolah bagi interaksi pendidikan yang berlangsung di masyarakat ini. Dari hal-hal yang diuraikan itu, dapat ditarik beberapa kesimpulan berkenaan dengan pendidikan formal. Pertama, pendidikan formal memiliki rancangan pendidikan atau kurikulum tertulis yang tersusun secara sistematis, jelas, dan rinci. Kedua, dilaksanakan secara formal, terencana, ada yang mengawasi dan menilai. Ketiga, diberikan oleh pendidik atau guru yang memiliki ilmu dan keterampilan khusus dalam bidang pendidikan. Keempat, interaksi
pendidikan berlangsung dalam lingkungan tertentu, dengan fasilitas dan alat serta aturan-aturan permainan tertentu pula. Pendidikan formal memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pendidikan informal dalam lingkungan keluarga. Pertaina, pendidikan for- mal di sekolah memiliki lingkup isi pendidikan yang lebih luas, bukan hanya berkenaan dengan pembinaan segi-segi moral tetapi juga ilmu pengetahuan dan keterampilan. Kedua, pendidikan di sekolah dapat memberikan pengetahuan yang lebih tinggi, lebih luas dan mendalam. Sejarah pendirian sekolah diawali karena ketidakmampuan keluarga memberikan pengetahuan dan keterampilan yang lebih tinggi dan mendalam. Ketiga, karena memiliki rancangan atau kurikulum secara formal dan tertulis, pendidikan di sekolah dilaksanakan secara berencana, sistematis, dan lebih disadari. Karena yang memiliki rancangan atau kurikulum formal dan tertulis adalah pendidikan di sekolah, maka dalam uraian-uraian selanjutnya yang dimaksud dengan pendidikan atau pengajaran itu, lebih banyak mengacu pada pendidikan atau pengajaran di sekolah. Telah diuraikan sebelumnya, bahwa adanya rancangan atau kurikulum formal dan tertulis merupakan ciri utama pendidikan di sekolah. Dengan kata lain, kurikulum merupakan syarat mutlak bagi pendidikan di sekolah. Kalau kurikulum merupakan syarat mutlak, hal itu berarti bahwa kurikulum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan atau pengajaran. Dapat kita bayangkan, bagaimana bentuk pelaksanaan suatu pendidikan atau pengajaran di sekolah yang tidak memiliki kurikulum. Setiap praktik pendidikan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, apakah berkenaan dengan penguasaan pengetahuan, pengembangan pribadi, kemampuan sosial, ataupun kemampuan bekerja. Untuk menyampaikan bahan pelajaran, ataupun mengembangkan kemampuankemampuan tersebut diperlukan metode penyampaian serta alat-alat bantu tertentu. Untuk menilai hasil dan proses pendidikan, juga diperlukap caracara dan alat-alat penilaian tertentu pula. Keempat hal tersebut, yaitu tujuan, bahan ajar, metode-alat, dan penilaian merupakan komponenkomponen utama kurikulum. Dengau berpedoman pada kurikulum, interaksi pendidikan antara guru dan siswa berlangsung. Interaksi ini
iidak berlangsung dalam ruang hampa, tetapi selalu terjadi dalam lingkungan tertentu, yang mencakup antara lain lingkungan fisik, alam, sosial budaya, ekonomi, politik, dan religi. Pertautan antara satu komponen dan komlumen pendidikan lainnya dapat dilihat pada bagan berikut. BAGAN 1.1 Komponen-komponen utama pendidikan
Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Menurut Mauritz Johnson (1967, hlm. 130) kurikulum "prescribes (or at least anticipates) the result of in- struction". Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan, memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, dan urutan isi, serta proses pendidikan. Di samping kedua fungsi itu, kurikulum juga merupakan suatu bidang studi, yang ditekuni oleh para ahli atau spesialis kurikulum, yang menjadi sumber konsep- konsep atau memberikan landasan-landasan teoretis bagi pengembangan kurikulum berbagai institusi pendidikan..
B. Konsep Kurikulum Konsep kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan, juga bervariasi sesuai dengan aliran atau teori pendidikan yang dianutnya. Menurut pandangan lama, kurikulum merupakan kumpulan mata- mata pelajaran yang harus disampaikan guru atau dipelajari oleh siswa. Anggapan ini telah ada sejak zaman Yunani Kuno, dalam lingkungan atau hubungan tertentu pandangan ini masih dipakai sampai sekarang, yaitu kurikulum sebagai "... a racecourse of subject matters to be mastered" (Robert S. Zais, 1976, hlm. 7).
Banyak orang tua bahkan juga guru-guru, kalau ditanya tentang kurikulum akan memberikan jawaban sekitar bidang studi atau mata-mata pelajaran. Lebih khusus mungkin kurikulum diartikan hanya sebagai isi pelajaran. Pendapat-pendapat yang muncul selanjutnya telah beralih dari menekankan pada isi menjadi lebih memberikan tekanan pada pengalaman belajar. Menurut Caswel dan Campbell dalam buku mereka yang terkenal Curriculum Development (1935), kurikulum ... to be composed of all the experi- ences children have under the guidance of teachers. Perubahan penekanan pada pengalaman ini lebih jelas ditegaskan oleh Ronald C. Doll (1974, hlm. 22): The commonly accepted definition of the curriculum has changed from content of courses of study and list of subjects and courses to all the experiences which are offered to learners under the auspices or direction of the school.. Definisi Doll tidak hanya menunjukkan adanya perubahan penekanan dari isi kepada proses, tetapi juga menunjukkan adanya perubahan lingkup, dari konsep yang sangat sempit kepada yang lebih luas. Apa yang di maksud dengan pengalaman siswa yang diarahkan atau menjadi tanggung jawab sekolah mengandung makna yang cukup luas. Pengalaman tersebut berlangsung di sekolah, di rumah ataupun di masyarakat, bersama guru tanpa guru, berkenaan langsung dengan pelajaran ataupun tidak. Definisi tersebut juga mencakup berbagai upaya guru dalam mendorong terjadinya pengalaman tersebut serta berbagai fasilitas yang mendukungnya. Mauritz Johnson (1967, hlm. 130) mengajukan keberatan terhadap konsep kurikulum yang sangat luas seperti yang dikemukakan oleh Ronald Doll. Menurut Johnson, pengalaman hanya akan muncul apabila terjadi interaksi antara siswa dengan lingkungannya. Interaksi seperti itu bukan kurikulum, tetapi pengajaran. Kurikulum hanya menggambarkan atau mengantisipasi hasil dari pengajaran. Johnson membedakan dengan tegas antara kurikulum dengan pengajaran. Semua yang berkenaan dengan perencanaan dan pelaksanaan, seperti perencanaan isi, kegiatan belajarmengajar, evaluasi, termasuk pengajaran, sedangkan kurikulum hanya berkenaan dengan hasil-hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh siswa.
Menurut Johnson kurikulum adalah ... a structured series of intended learning outcomes (Johnson, 1967, him. 130). Terlepas dari pro dan kontra terhadap pendapat Mauritz Johnson, beberapa ahli memanciang kurikulum sebagai rencana pendidikan atau pengajaran. Salah seorang di antara mereka adalah Mac Donald (1965, hlm. Menurut dia, sistem persekolahan terbentuk atas empat subsistem, yaitu mengajar, belajar, pembelajaran, dan kurikulum. Mengajar (teaching) merupakan kegiatan atau perlakuan profesional yang diberikan oleh guru. belajar (learning) merupakan kegiatan atau upaya yang dilakukan siswa. Sebagai respons terhadap kegiatan mengajar yang diberikan oleh guru. Keluruhan pertautan kegiatan yang memungkinkan dan berkenaan (lengan terjadinya interaksi belajar-mengajar disebut pembelajaran (instruction). Kurikulum,(curriculum) merupakan suatu rencana yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses kegiatan belajar- mengajar. Kurikulum juga sering dibedakan antara kurikulum sebagai rencana (curriculum plan) dengan kurikulum yang fungional (functioning curricu- lum). Menurut Beauchamp (1968, him. 6) "A curriculum is a written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school". Beauchamp lebih memberikan tekanan bahwa kurikulum adalah suatu rencana pendidikan atau pengajaran. Pelaksanaan rencana itu sudah masuk pengajaran. Selanjutnya, Zais menjelaskan bahwa kebaikan suatu kurikulum tidak dapat dinilai dari dokumen tertulisnya saja, melainkan harus dinilai dalam proses pelaksanaan fungsinya di dalam kelas. Kurikulum bukan hanya merupakan rencana tertulis bagi pengajaran, melainkan sesuatu yang fungsional yang beroperasi dalam kelas, yang memberi pedoman dan mengatur lingkungan dan kegiatan yang berlangsung di dalam kelas. Rencana tertulis merupakan dokumen kurikulum (curriculum document or inert curriculum), sedangkan kurikulum yang dioperasikan di kelas merupakan kurikulum fungsional (functioning, live or operative curriculum). Hilda Taba (1962) mempunyai pendapat yang berbeda dengan pendapat- pendapat itu. Perbedaan antara kurikulum dan pengajaran menurut dia bukan terletak pada implementasinya, tetapi pada keluasan cakupannya. Kurikulum
berkenaan dengan cakupan tujuan isi dan metode yang lebih luas atau lebih umum, sedangkan yang lebih sempit lebih khusus menjadi tugas pengajaran. Menurut Taba keduanya membentuk satu kontinum, kurikulum terletak pada ujung tujuan umum atau tujuan jangka panjang, sedangkan pengajaran pada ujung lainnya yaitu yang lebih khusus atau tujuan dekat. BAGAN 1.2 Kontinum kurikulum dan pengajaran
Menurut Taba, batas antara keduanya sangat relatif, bergantung pada tafsiran guru. Sebagai contoh, dalam kurikulum (tertulis), isi harus digambarkan serinci, sekhusus mungkin agar mudah dipahami guru, tetapi cukup luas dan umum sehingga memungkinkan mencakup semua bahan yang dapat dipilih oleh guru sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa serta kemampuan guru. Kurikulum memberikan pegangan bagi pelaksanaan pengajaran di kelas, tetapi merupakan tugas dan tanggung jawab guru untuk menjabarkannya. Suatu kurikulum, apakah itu kurikulum pendidikan dasar, pendidikan menengah atau pendidikan tinggi; kurikulum sekolah umum, kejuruan, dan lain- lain merupakan perwujudan atau penerapan teori-teori kurikulum. Teori-teori tersebut merupakan hasil pengkajian, penelitian, dan pengembangan para ahli kurikulum. Kumpulan teori-teori kurikulum membentuk suatu ilmu atau bidang studi kurikulum. Menurut Robert S. Zais (1976, him. 3), kurikulum sebagai bidang studi mencakup: (1) the range of subject matters with which it is concerned (the substantive structure), and (2) the procedures of inquiry and practice that it follows (the syntactical structure)". Menurut George A. Beauchamp (1976, him. 58-59) kurikulum sebagai bidang studi membentuk suatu teori, yaitu teori kurikulum. Beauchamp mendefinisikan teori kurikulum sebagai ...a set of related statements that gives meaning to a schools's curriculum by pointing up the relationships among its elements and by directing its development, its use, and its evaluation.
Bidang cakupan teori atau bidang studi kurikulum meliputi: konsep kurikulum, penentuan kurikulum, pengembangan kurikulum, desain kurikulum, implementasi dan evaluasi kurikulum. Selain sebagai bidang studi menurut Beauchamp, kurikulum juga sebagai rencana pengajaran dan sebagai suatu sistem (sistem kurikulum) yang merupakan bagian dari sistem persekolahan. Sebagai suatu rencana pengajaran, kurikulum berisi tujuan yang ingin dicapai, bahan yang akan disajikan, kegiatan pengajaran, alat-alat pengajaran dan jadwal waktu pengajaran. Sebagai suatu sistem, kurikulum m.erupakan bagian atau subsistem dari keseluruhan kerangka organisasi sekolah atau sistem ‘.ekolah. Kurikulum sebagai suatu sistem menyangkut penentuan segala kebijakan tentang kurikulum, susunan personalia dan prosedur pengemhangan kurikulum, penerapan, evaluasi, dan penyempurnaannya. Fungsi utama sistem kurikulum adalah dalam pengembangan, penerapan, ovaluasi, dan penyempurnaannya, baik sebagai dokumen tertulis maupun aplikasinya dan menjaga agar kurikulum tetap dinamis. Mengenai fungsi sistem kurikulum ini, lebih lanjut Beauchamp (1975, 111m. 60) menggambarkan: ...(1) the choice of arena for curriculum decision making, (2) the selection and involvement of person in curriculum planning, (3) organization for and leachniques used in curriculum plannning, (4) actual writing of a curriculum, (5) implementing the curriculum, (6) evaluation the curriculum, and (7) providing for feedback and modification of the curriculum. Apa yang dikemukakan oleh Beauchamp bukan hanya menunjukkan tnnlsi tetapi juga struktur dari suatu sistem kurikulum, yang secara garis berkenaan dengan pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum.
C. Kurikulum dan Teori-Teori Pendidikan Kurikulum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Suatu kurikulum disusun dengan mengacu pada satu atau beberapa teori kurikulum, dan suatu teori kurikulum diturunkan atau dijabarkan dari teori pendidikan tertentu. Kurikulum dapat dipandang sebagai rencana konkret
penerapan dari suatu teori pendidikan. Untuk lebih memahami hubungan kurikulum dengan pendidikan, dikemukakan beberapa teori pendidikan dan model-model konsep kurikulum dari masing-masing teori tersebut. Minimal ada empat teori pendidikan yang banyak dibicarakan para ahli pendidikan dan dipandang mendasari pelaksanaan pendidikan, yaitu pendidikan klasik, pendidikan pribadi, pendidikan interaksional, dan teknologi pendidikan.
1. Pendidikan klasik Pendidikan klasik atau classical education dapat dipandang sebagai konsep pendidikan tertua. Konsep pendidikan ini bertolak dari asumsi seluruh warisan budaya, yaitu pengetahuan, ide-ide, atau nilai-nilai telah ditemukan oleh para pemikir terdahulu. Pendidikan berfungsi memelihara, mengawetkan, dan meneruskan semua warisan budaya tersebut kepada generasi berikutnya. Guru atau para pendidik tidak perlu susah-susah mencari dan menciptakan pengetahuan, konsep, dan nilai-nilai baru, sebab sentuanya telah tersedia, tinggal menguasai dan mengajarkannya kepada anak. Teori pendidikan ini lebih menekankan peranan isi pendidikan daripada proses atau bagaimana mengajarkannya. Isi pendidikan atau materi ilmu tersebut diambil dari khazanah ilmu pengetahuan, berupa disiplin- disiplin ilmu yang telah ditemukan dan dikembangkan oleh para ahli tempo dulu. Materi ilmu pengetahuan yang diambil dari disiplindisiplin ilmu tersebut telah tersusun secara logis dan sistematis. Tugas guru dan para pengembang kurikulum adalah memilih dan menyajikan materi ilmu tersebut disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik. Sebelum dapat menyampaikan materi ilmu pengetahuan tersebut secara sempurna, para pendidik atau talon pendidik terlebih dahulu harus mempelajarinya dengan sungguh-sungguh. Tugas para pendidik atau guru bukan hanya mengajarkan materi pengetahuan, tetapi juga melatih keterampilan dan menanamkan nilai. Mendidikkan nilainilai tidak sama dengan mengajarkan pengetahuan yang berbentuk penyampaian informasi, tetapi perlu dimanifestasikan dalam perilaku seharihari. Menurut konsep pendidikan klasik, guru atau pendidik adalah ahli dalam bidang ilmu dan juga contoh atau model nyata dan pribadi yang ideal. Siswa merupakan penerima pengajaran yang baik,
tetapi sebagai penerima informasi sesungguhnya mereka pasif. Meskipun demikian dalam pendidikan klasik siswa bekerja keras menguasai apa-apa yang diajarkan dan ditugaskan oleh guru. Pendidikan lebih menekankan perkembangan segi-segi intelektual daripada segi emosional dan psikomotor. Ada dua model konsep pendidikan klasik, perenialisme dan esensialisme. Walaupun didasari dengan konsep-konsep yang sama, keduanya memiliki pandangan yang berbeda. Parenialisme maupun esensialisme mempunyai pandangan yang sama tentang masyarakat, bahwa masyarakat bersifat statis. Pendidikan berfungsi memelihara dan mewariskan pengetahuan, konsep-konsep dan nilai-nilai yang telah ada. Pengetahuan dan nilai-nilai yang akan diajarkan diambil dari materi disiplin ilmu yang telah disusun dan dikembangkan oleh para ahli. Dalam penyusunan kurikulum, matamata pelajaran dipilih dan ditentukan oleh sekelompok orang ahli, disusun secara sistematis dan logis, dan diarahkan pada perkembangan kemampuan berpikir. Parenialisme berkembang di Eropa dalam masyarakat aristokralisagraris. Mereka lebih berorientasi ke masa lampau dan kurang hivmen tingkan tuntutan- tuntutan masyarakat yang berkembang saat sekarang pendidikan lebih menekankan pada humanitas, pembentukan pribadi, dan sifat-sifat mental. Konsep-konsep filosofis lebih banyak mewarnai pendidikan ini. Isi pendidikan lebih banyak bersifat pendidikan umum (general education atau liberal art) dengan model mengajar yang bersifat ekspositori, sedangkan model belajarnya adalah asimilasi. Pendidikan menurut pandangan mereka adalah bebas nilai (value free) dan bebas dari kebudayaan (culture free) artinya tidak terikat atau diwarnai oleh nilai-nilai dan karakteristik masyarakat sekitar. Esensialisme berkembang di Amerika Serikat dalam masyarakat industri. Pendidikan ini lebih mengutamakan sains daripada humanitas. Mereka lebih pragmatis, pendidikan diarahkan dalam mempersiapkan generasi muda untuk terjun ke dunia kerja. Konsep ini lebih berorientasi pada masa sekarang dan yang akan datang. Isi pengajaran lebih diarahkan kepada pembentukan keterampilan dan pengembangan kemampuan vocational. Mengenai persamaan dan perbedaan pendidikan perenial dengan esensial, Dianna Lapp, dkk. menjelaskan:
Like perennial education, essentialism is conservative, seeking to maintain and pass on to the new generation the convictions of the older generation. But unlike perennialism, essentialism is nonreflective, nonphilosophical. It is far more prone to activity-to doing-than to wasting time on extensive philosophical speculation. Looking to the present rather than the past, and to science rather than to the humanities, it is primarily practical and pragmatic. (Lapp, Dianna, et. al., 1975, hlm. 32). Para esensialis bersifat praktis, mengutamakan kerja dan kompetisi di tramping kerja sama. Mereka menghargai seni, keindahan, dan humanitas sepanjang hal itu mendukung kehidupan sehari-hari, kehidupan produktif. Tujuan utama pendidikan, menurut para esensialis, adalah (1) memperoleh pekerjaan yang lebih baik, (2) dapat bekerja sama lebih baik dengan orang dari berbagai tingkatan/lapisan masyarakat, (3) memperoleh penghasilan lehih banyak. Mereka berpikiran praktis bahwa pendidikan adalah suatu Han untuk mencapai sukses dalam kehidupan, terutama sukses secara ekonomis. Kurikulum pendidikan klasik lebih menekankan isi pendidikan, yang diambil dari disiplin-disiplin ilmu, disusun oleh para ahli tanpa mengikutsertakan guru-guru, apalagi siswa. Isi disusun secara logis, sistematis, dan berstruktur, dengan berpusatkan pada segi intelektual, sedikit sekali memperhatikan segi-segi sosial atau psikologis peserta didik. Guru mempunyai peranan yang sangat besar dan lebih dominan. Dalam pengajaran, ia menentukan isi, metode, dan evaluasi. Dialah yang aktif dan bertanggung jawab dalam segala aspek pengajaran. Siswa mempunyai peran yang pasif, sebagai penerima informasi dan tugas-tugas dari guru.
2. Pendidikan pribadi Pendidikan pribadi (personalized education) lebih mengutamakan peranan siswa. Konsep pendidikan ini bertolak dari anggapan dasar bahwa, sejak dilahirkan, anak telah memiliki potensi-potensi, baik potensi untuk berpikir, berbuat, memecahkan masalah, maupun untuk belajar dan berkembang sendiri. Pendidikan adalah ibarat persemaian, berfungsi menciptakan lingkungan yang menunjang dan terhindar dari hama-hama. Tugas guru, seperti halnya seorang
petani adalah mengusahakan tanah yang gembur, pupuk, air, udara, dan sinar matahari yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan tanaman (peserta didik). Pendidikan bertolak dari kebutuhan dan minat peserta didik. Peserta didik menjadi subjek pendidikan, dialah yang menduduki tempat utama dalam pendidikan. Pendidik menempati posisi kedua, bukan lagi sebagai penyampai informasi atau sebagai model dan ahli dalam disiplin ilmu. Ia lebih berfungsi sebagai psikolog yang mengerti segala kebutuhan dan masalah peserta didik. la juga berperan sebagai bidan yang membantu siswa melahirkan ide-idenya. Guru adalah pembimbing, pendorong (motivator), fasilitator, dan pelayan bagi siswa. Teori ini juga memiliki dua aliran, yaitu pendidikan progresif dan pendidikan romantik. Tokoh pendahulu pendidikan progresif adalah Francis Parker yang membawa aliran ini dari Eropa ke Amerika. Aliran ini menjadi lebih terkenal di Amerika berkat percobaan-percobaan yang dilakukan John Dewey dengan sekolah-sekolah laboratoriumnya. John Dewey menerapkan prinsip belajar sambil berbuat (learning by doing). Dalam pendidikan progresif, siswa merupakan satu kesatuan yang utuh, perkembangan emosi dan sosial sama pentingnya dengan perkembangan intelektual. Isi pengajaran berasal dari pengalaman sisvva sendiri yang sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Ia merefleksi terhadap masalah- masalah yang muncul dalam kehidupanhya. Berkat refleksinya itu is memahami dan dapat menggunakannya bagi kehidupan. Guru lebih merupakan ahli dalam metodologi daripada dalam bahan ajar. Guru membantu perkembangan siswa sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya masing-masing. Pendidikan romantik berpangkal dari pemikiran-pemikiran Jean Jacques Rousseau. Menurut Rousseau, semua ciptaan Tuhan termasuk anak adalah baik dan menjadi kurang baik atau sering rusak di tangan manusia. Ia ingin mengembalikan pendidikan kepada pendidikan alam, sebab secara alamiah manusia baik, merdeka, dan gentle. Setiap orang mempunyai nurani yang berisi kejujuran, kebenaran, dan ketulusan. Inilah yang hams ditemukan, didengarkan, dan diikuti. Rousseau menolak pendidikan yang mengutamakan intelektual. Pendidikan adalah proses individual yang berisi rentetan pengembangan kemampuan-kemampuan anak, berkat interaksi dengan berbagai aspek dalam lingkungan maka terjadi rentetan pengembangan kemampuan-kemampuan anak.
Rousseau memandang pendidikan sebagai a lifelong personal growth process rather than an information and skill gathering process that exists only during the school years (Diane Lapp, et. al., 1975, hlm. 154). Pengalaman merupakan isi sekaligus guru alamiah bagi anak. Anak tidak diajari, tetapi didorong untuk belajar. Guru menyediakan lingkungan belajar, memberikan kebebasan agar anak belajar dan berkembang sendiri, dan mewujudkan rasa ingin tahunya. Ia dibiarkan untuk mengalami sendiri, mewujudkan dorongan-dorongannya, dan tumbuh sesuai dengan polanya. Guru juga berperan sebagai sumber lingkungan belajar, yang selalu siap memberikan bantuan kepada siswa. Ia berusaha mencegah hal- hal yang mungkin mengganggu perkembangan siswa. Kurikulum pendidikan pribadi lebih menekankan pada proses pengembangan kemampuan siswa. Materi ajar dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru- guru dengan melibatkan siswa. Tidak ada suatu kurikulum standar, yang ada adalah kurikulum minimal yang dalam implementasinya dikem- bangkan bersama siswa. Isi dan proses pembelajarannya selalu berubah sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa.
3. TeknOlogi pendidikan Teknologi pendidikan mempunyai persamaan dengan pendidikan klasik tentang peranan pendidikan dalam menyampaikan informasi. Keduanya juga mempunyai perbedaan, sebab yang diutamakan dalam teknologi pendidikan adalah pembentukan dan penguasaan kompetensi bukan pengawetan dan pemeliharaan budaya lama. Mereka lebih berorientasi ke masa sekarang dan yang akan datang, tidak seperti pendidikan klasik yang lebih melihat ke masa lalu. Perkembangan teknologi pendidikari dipengaruhi clan sangat diwarnai oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Hal itu memang sangat masuk akal, sebab teknologi pendidikan bertolak dari dan merupakan penerapan prinsip-prinsip ilmu dan teknologi dalam pendidikan. Teknologi telah masuk ke semua segi kehidupan, termasuk dalam pendidikan. Our technologies to day are so powerful, so prevalent, so deliberately foster, and so prominent in the awareness of people, that they not only
bring about changes in the physical world which tecnologies have always done but also in our insti- tutions, attitudes, and expectations, values, goals, and in our very conceptions of the meaning of existence (Holtzman, 1970, hlm. 237). Gambaran manusia tentang dunia dan makna kehidupan merupakan sintesis dari pengalaman-pengalaman dasarnya. Menurut pandangan klasik, pengalaman ini bersifat menetap, sama dari tahun ke tahun, berbeda dengan pandangan teknologi pendidikan. Menurut mereka, pengalaman tersebut selalu berubah, hari ini lebih baik dari kemarin dan besok lebih baik daripada hari Mi. Kehidupan dan perkembangan itu selalu baru. Karena sifat ilmiahnya, konsep pendidikan ini mengutamakan segi-segi empiris, informasi objektif yang dapat diamati dan diukur serta dihitung secara statistik. Mereka kurang menghargai hal-hal yang bersifat kualitatif dan spiritual. Bagi mereka, dunia ini adalah dunia material, dunia empiris. Meskipun lebih kompleks, manusia pada dasarnya tidak berbeda dengan binatang, ia mereaksi terhadap perangsang-perangsang dari lingkungannya, perilakunya dapat dibentuk dengan teknologi perilaku, seperti yang dinyatakan Skinner. Man totally determined by his environment. Therefore, if we wish to relate to him for better to educate him, we need only learn scientifically, how to control his environment in such away as to reshape his behavior. What we need is a technology of behavior (Skinner, 1972). Menurut teori ini, pendidikan adalah ilmu dan bukan seni, pendidikan adalah cabang dari teknologi ilmiah. Dengan pengembangan desain program, pendidikan menjadi sangat efisien. Efisiensi merupakan salah satu ciri utama teknologi pendidikan. Dalam pengembangan desain program, mereka juga melibatkan penggunaan perangkat keras, alat-alat pandangdengar (audio-visual) dan media elektronika. Pengembangan model-model pengajaran yang bersifat individual serta menekankan penguasaan kemampuan, seperti computer assisted instruction (CAI), individually prescribed instruction (IPI), competency based instruction, dan behavior modification merupakan model-model pengajaran baru, melengkapi model yang telah ada yaitu pengajaran berprogram, mesin pengajaran, dan pengajaran modul.
Dalam konsep teknologi pendidikan, isi pendidikan dipilih oleh tim ahli bidang-bidang khusus. Isi pendidikan berupa data-data objektif dan keterampilan- keterampilan yang mengarah kepada kemampuan vocational. Isi disusun dalam bentuk desain program atau desain pengajaran dan disampaikan dengan menggunakan bantuan media elektronika (kaset audio, video, film, atau komputer) dan para siswa belajar secara individual. Siswa berusaha untuk menguasai sejumlah besar bahan dan pola-pola kegiatan secara efisien tanpa refleksi. Keterampilan-keterampilan barunya segera digunakan dalam masyarakat. Guru berfungsi sebagai direktur belajar, lebih banyak melakukan tugas-tugas pengelolaan daripada penyampaian dan pendalaman bahan. Apabila digunakan media elektronika, ierbehas dari tugas pengembangan segi-segi nonintelektual. Kurikulum pendidikan teknologi menekankan kompetensi atau kemampuan- kemampuan praktis. Materi disiplin ilmu dipelajari termasuk dalam kurikulum, apabila hal itu mendukung penguasaan kemampuan-kemampuan tersebut. Dalam kurikulum, materi disiplin ilmu tersebut disusun terjalin dalam kemampuan. Penyusunan kurikulum dilakukan para ahli dan atau guru-guru yang mempunyai kemampuan mengembangkan kurikulum. Perangkat kurikulum cukup lengkap mulai dari struktur dan sebaran mata pelajaran sampai dengan rincian bahan ajar yang dipelajari oleh siswa, yang tersusun dalam satuan-satuan bahan ajar dalam bentuk satuan pelajaran, paket belajar, modul, paket program audio, video ataupun komputer. Dalam satuan-satuan bahan ajar tersebut tercakup pula kegiatan pembelajaran dan bentuk-bentuk serta alat penilaiannya.
4. Pendidikan interaksional Konsep pendidikan ini bertolak dari pemikiran manusia sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupannya, manusia selalu membutuhkan manusia lain, selalu hidup bersama, berinteraksi, dan bekerja sama. Karena kehidupan bersama dan kerja sama ini, mereka dapat hidup, berkembang, dan mampu inemenuhi kebutuhan hidup dan memecahkan berbagai masalah yang (iihadapi. Dapat dibayangkan, apa yang akan dihadapi seseorang, bila ia hidup sendiri di sebuah pulau terpencil. Bila lingkungannya mendukung, mungkin ia dapat bertahan hidup, tetapi apabila tidak, mungkin tidak liapat hidup atau tidak dapat mencapai
kemajuan seperti yang dialami oleh I wang-orang yang hidup bersama dengan orang lain. Pendidikan sebagai salah satu bentuk kehidupan juga berintikan kerja ama dan interaksi. Dalam pendidikan klasik dan teknologi interaksi terjadi sepiliak dari guru kepada siswa, sedangkan dalam pendidikan romantik don progresif terjadi sebaliknya dari siswa kepada guru. Pendidikan lideraksional menekankan interaksi dua pihak, dari guru kepada siswa dan lari siswa kepada guru. Lebih luas, interaksi ini juga terjadi antara siswa dengan bahan ajar dan dengan lingkungan, antara pemikiran siswa dengan kehidupannya. Interaksi ini terjadi melalui berbagai bentuk dialog. Dalam pendidikan interaksional, belajar lebih dari sekadar mempelajari fakta-fakta. Siswa mengadakan pemahaman eksperimental dari fakta-fakta tersebut, memberikan interpretasi yang bersifat menyeluruh serta memahaminya dalam konteks kehidupannya. Setiap siswa, begitu juga guru, mempunyai rentetan pengalaman dan persepsi sendiri. Dalam proses belajar, persepsi-persepsi yang berbeda tersebut digunakan untuk menyoroti masalah bersama yang muncul dalam kehidupannya. Dalam proses seperti itu dialog berlangsung, setiap siswa dan guru saling mendengarkan, memberikan pendapat, sal ing mengajar dan belajar. Pemahaman yang muncul dari situasi demikian melebihi jumlah seluruh sumbangan para peserta. Siswa tidak hanya berperan sebagai siswa, tetapi juga sebagai guru, dan guru juga pada suatu saat berperan sebagai siswa yang turut belajar bersama para siswanya. Interaksi juga terjadi antara siswa dengan bahan ajar. Interaksi ini bukan hanya pada tingkat apa dan bagaimana, tetapi lebih jauh yaitu pada tingkat mengapa, tingkat mencari makna baik makna sosial (socially conscious) maupun makna pribadi (self conscious). Isi atau bahan ajar ini berkenaan dengan lingkungan sosial-budaya yang mereka hadapi saat ini. Setelah mengetahui makna dari fakta-fakta dan nilai-nilai sosial budaya, mereka mengadakan evaluasi, kritik dari sudut kepentingannya bagi kesejahteraan umat manusia. Siswa sebagai individu selalu berinteraksi dengan lingkungannya, selalu terjadi hubungan timbal balik antara keduanya. Pandangan-pandangannya mempengaruhi bentuk dan pola lingkungan, di lain pihak kekuatan dan
keterbatasan lingkungan mempengaruhi individu siswa. Lingkungan merupakan bagian dari kehidupan siswa. Interaksi juga terjadi antara pemikiran siswa dengan kehidupannya. Suatu kebenaran tidak akan diyakininya apabila tidak dicobakan dan dihayati dalam kehidupannya sehari-hari. Sekolah berbeda dengan pendidikan, tetapi mempunyai peranan penting dalam sistem masyarakat. Sekolah merupakan pintu untuk memasuki masyarakat, menentukan stratifikasi sosial, dan memberikan kesiapan untuk melakukan berbagai pekerjaan. Sekolah menyiapkan anak dengan berbagai keterampilan sosial juga keterampilan bekerja. Lebih jauh, sekolah juga berperan dalam membina sikap positif terhadap dunia kerja, disiplin kerja, dan sebagainya. Pendidikan berperan dalam mengembangkan identitas pribadi, memperbaiki modus dari kehidupan. Proses belajar dalam model interaksional terjadi melalui dialog dengan orang lain apakah dengan guru, teman, atau yang•lainnya. Belajar adalah kerja sama dan saling kebergantungan dengan orang lain. Siswa belajar memperhatikan, menerima, menilai pendapat orang lain, dan belajar menyatakan pendapat dan sikapnya sendiri. Melalui interaksi tersebut muncul pengetahuan, pendapat, sikap, dan keterampilan-keterampilan baru. Guru berperan dalam menciptakan situasi dialog dengan dasar saling mempercayai dan saling membantu. Bahan ajar diambil dari lingkungan sosial-budaya yang dihadapi para siswa sekarang. Mereka diajak untuk menghayati nilai-nilai sosial-budaya yang ada di masyarakat, memberikan penilaian yang kritis, kemudian mereka mengembangkan persepsinya sendiri terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kurikulum pendidikan interaksional menekankan baik pada isi maupun proses pendidikan sekaligus. Isi pendidikan terdiri atas problem- problem nyata yang aktual yang dihadapi dalam kehidupan di masyarakat. Proses pendidikannya berbentuk kegiatan-kegiatan belajar kelompok yang mengutamakan kerja sama, baik antarsiswa, siswa dan guru, maupun antara siswa dan guru dengan sumber- sumber belajar yang lain. Kegiatan penilaian dilakukan untuk hasil maupun proses belajar. Guru-guru melakukan kegiatan penilaian sepanjang kegiatan belajar.
D. Buku Acuan Schubert, William H. 1986. Curriculum: Perspective, Paradigm and Possibility. New York: Macmillan Publishing Co. Dilatarbelakangi oleh minat pribadi yang sangat mendalam terhadap pendidikan, khsusunya kurikulum, penulis memandang bahwa kurikulum merupakan bidang yang sangat penting. Kurikulum menentukan jenis dan kualitas pengetahuan dan pengalaman yang memungkinkan orang atau seseorang mencapai kehidupan dan penghidupan yang baik. Dilengkapi dengan pengalamannya yang begitu banyak dalam bidang pendidikan, penulis menyajikan suatu tulisan yang komprehensif mendasar, dalam arti bertolak dari teori yang kuat, dengan mengemukakan hal-hal yang bersifat praktis. Buku ini merupakan buku teks pada bidang kurikulum baik untuk tingkat S1 maupun S2 sebab isinya menyangkut hal-hal yang sangat prinsip. Secara sistematis dan logis, seluruh isi buku ini terbagi atas tiga bagian. Bagian pertama menguraikan perspektif kurikulum, baik dari segi konsep atau teori, sejarah maupun perkembangannya. Bagian kedua membahas paradigma, yang berisi tujuan, misi, proses, organisasi, dan ovaluasi, serta pelaksanaan. Bagian ketiga membahas problema-problema kurikulum, profesionalisasi, dan pengembangan kurikulum.
Beane, James A. et. al., 1986. Curriculum Planning and Development. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Isi buku ini hampir sama dengan buku-buku lain dalam tema yang sama. Salah satu kelebihannya terletak pada isinya yang sangat komprehensif. Hampir semua hal yang berkenaan dengan permasalahan kurikulum tercakup dalam buku mi. Oleh karena itu, buku ini baik sekali bagi para pengajar kurikulum dan guru- guru yang melaksanakan kurikulum..Secara sistematik diuraikan masalah apa dalam kurikulum, pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai apa yang harus disajikan dalam kurikulum, sampai sejauh mana dan untuk apa hal itu diberikan. Juga diuraikan masalah mengapa, yaitu.landasan-landasan apa yang mendasari penyusunan kurikulum. Selanjutnya, bagaimana proses penyampaian kurikulum serta proses pengelolaan kurikulum, dan diakhiri dengan proses evaluasi kurikulum.
Johnson, Mauritz. 1977. Intensionality in Education. Albany, New York: Center for Curriculum Research and Services. Judul buku ini adalah intensionality in Education, suatu judul yang bertemakan pendidikan, dan isinya lebih banyak menyangkut kurikulum. Isi buku ini sangat berharga bagi para pakar pendidikan, pakar kurikulum, para perencana pengajaran, dan juga guru-guru. Dalam buku ini disajikan suatu model konseptual kurikulum dan rencana pengajaran, serta evaluasinya. Dipisahkan dengan tegas oleh penulis antara kurikulum dan pengajaran. Kurikulum berkenaan dengan apa yang akan diajarkan, sedangkan pengajaran berkenaan dengan bagaimana cara mengajarkannya. Dengan konsep scperti itu penulis mengemukakan suatu model kurikulum yang disebutnya sebagai model P-I-E, dan dijelaskan pula bagaimana pengembangannya. Dalam pengembangan tersebut diuraikan secara rinci bagaimana merumuskan tujuan, isi, struktur kurikulum, serta sumbersumber kurikulum. Selanjutnya diuraikan juga rencana pengajaran, evaluasi, serta pengelolaannya. Goodlad, John I. (Ed). 1979. Curriculum Inquiry, The Study of Curriculum Practice. New York: McGraw Hill Book, Co.
Tulisan ini membahas praktik pelaksanaan kurikulum di lapangan dengan tujuan membantu para teoretisi, peneliti, dan pelaksana kurikulum memperluas pemahaman mereka tentang pelaksanaan kurikulum di lapangan. Isi buku didasarkan atas hasil penelitian/pengalaman praktik selama lebih dari 20 tahun di Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Pada bagian pertama tulisan ini, dikemukakan konsep-konsep kurikulum dan komponen-komponen pelaksanaan kurikulum dalam masyarakat industri, serta bidang-bidang kurikulum yang meliputi tiga fenomena; substantive, political- social, dan technicalprofesional. Pada bagian berikutnya diuraikan penjabaran konsep-konsep tersebut menurut tingkat perkembangan kurikulum, tingkat masyarakat, tingkat institusi, serta penjabaran dalam desain instruksional. Pada bagian akhir dibahas peranan ahli kurikulum dan pengembangan kurikulum dalam perspektif persilangan budaya-budaya/bangsa-bangsa.
BAB 2 TEORI KURIKULUM
Dewasa ini berkembang suatu anggapan bahwa pendidikan bukan lagi merupakan suatu ilmu, melainkan suatu teknologi. Hal ini disebabkan oleh upaya pengembangan dan penyempurnaan pendidikan, khususnya kurikulum, lebih banyak datang dari pengalaman praktik di sekolah, dibandingkan dengan dari penerapan teori-teori yang sudah mapan. Perubahan atau penambahan isi kurikulum sering diadakan karena adanya kebutuhan-kebutuhan praktis. Karena selalu menekankan pada hal-hal praktis itulah, masa berlaku suatu kurikulum tidak bisa lama. Pada bab ini akan diuraikan apa, mengapa, dan bagaimana teori, khususnya pentingnya ilasar-dasar teoretis dalam pengembangan suatu kurikulum.
A. Apakah Teori Itu? Mengenai apakah teori itu, telah ada beberapa kesepakatan di antara para ahli, tetapi juga ada beberapa perbedaan pendapat. Kesepakatan yang telah diterima secara umum, bahwa teori merupakan suatu set atau sistem pernyataan (a set of statement) yang menjelaskan serangkaian hal. Ketidaksepakatannya terletak pada karakteiistik pernyataan tersebut. Di antara sekian banyak pendapat yang berbeda, ada tiga kelompok karakteristik utama sistem pernyataan suatu teori. Pertama, pernyataan dalam suatu teori bersifat memadukan (unifying statement). Kedua, pernyataan tersebut berisi kaidah-kaidah umum (universal preposition). Ketiga, pernyataan bersifat meramalkan (predictive statement). Karakteristik memadukan (unifying statement) banyak disetujui oleh para perumus teori, seperti yang dikemukakan Kaplan (1964, him. 295). A theory is a way of making sense of a disturbing situation, so as to allow us most effectivelly to bring to bear our reverfoice of habits, and even more impor- tant, to modify habits or discard them together, reflacing new ones as the situa- tion demands. And the reconstructed logic, accordingly, theory will appear as the device for interpreting, criticizing, and unifying established laws, modify- ing
them to fit data unanticipated in their formation, and guiding the enter- prise of discovering new and more powerful generalizations. Hall dan Lindsay (1970, him. 11) menekankan hal yang sama yaitu sifat unifying, seperti mereka nyatakan bahwa "... a theory is set of conventions that should contain a cluster of relevant assumption systematically related to each other and a set of empirical definitions". Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Snow (1973, hlm.78). In its simplest form, a theory is a symbolic instruction designed to bring gener- alizable fact (or laws) into systematic connection. It consist of a) a set of units (facts, concepts, variables), and b) a system of relationships among the units. Karakteristik lain berupa kaidah-kaidah yang bersifat universal, kita temukan dalam definisi teori Rose (1953, him. 52). A theory may be defined as an integrated body of definitions, assumptions and general prepositions covering a given subject matter from which a comprehensive and consistent set of specific and testable hypotheses can be deducted logically. Menurut Rose, karakteristik pernyataan (set of statement) tersebut meliputi definisi, asumsi, dan kaidah-kaidah umum. Dalam rumusan yang lebih kompleks, teori ini juga menyangkut hukum-hukum, hipotesis, dan deduksi-deduksi logis- matematis. Definisi teori Abel umpamanya menunjukkan hal seperti itu. A general theory is built upon the facts discovered by means of the use of theo- rems and other conceptual models from empirical data and which have been ex- pressed in the form of laws, correlations, or other type of generalizations. It in- volves synthesis and is directed to the formulation of propositions about uni- versals. Karakteristik ketiga yang dipandang sebagai ciri utama suatu teori adalah sifat prediktif (meramalkan). Teori harus mampu menjangkau ke depan, bukan hanya menggambarkan apa adanya tetapi mampu meramalkan apa yang terjadi atas suatu hal. Rumusan demikian dapat dilihat dalam definisi teori Travers (1960, hlm. 10): "... a theory consists of generalizations intended to explain phenomena and that the generalizations must be predictive".
Suatu rumusan yang lebih menyeluruh, yang mengandung tiga karakteristik utama suatu teori (unifying, universal prepositions, dan predictive) kita temukan dalam definisi Kerlinger (1973, hlm. 9). A theory is a set of interelated constructs (concepts), definitions, and prepositions that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaining and predicting phenomena". Dengan bermacam-macam rumusan teori itu diharapkan sampai pada suatu kesimpulan, walaupun bersifat tentatif bahwa suatu teori lahir dari suatu proses, yang berbeda dengan yang lainnya. Suatu teori hanya menjelaskan hal yang terbatas, teori lain menjelaskan hal yang lebih luas. Teori menjelaskan suatu kejadian. Kejadian ini bisa sangat luas atau sangat sempit. Suatu kejadian yang dijelaskan oleh suatu teori menunjukkan suatu set yang universal. Set universal ini terbentuk oleh tiga bagian. Bagian pertama, kejadian yang diketahui, yang dinyatakan sebagai fakta, hukum, atau prinsip. Bagian kedua yang dinyatakan sebagai asumsi, proposisi, dan postulat. Bagman ketiga adalah bagian dari set universal atau bagian dari keseluruhan yang belum diketahui. Visualisasi hubungan antara bagian-bagian tersebut dapat dilihat pada bagan berikut. BAGAN 2.1 Suatu set kejadian yang terkandung dalam suatu teori
Tugas seorang teoretisi adalah merumuskan istilah-istilah dan pernyataan yang akan menjelaskan isi bagian-bagian dan hubungan di antara bagian-bagian tersebut. Hal yang sangat penting dalam pekerjaan seorang ilmuwan adalah penggunaan istilah-istilah. Ia dituntut untuk menggunakan istilah dengan makna yang tepat dan konsisten. Gordon dan teman-temannya (1967) membagi istilah- istilah yang digunakan dalam suatu teori atas tiga kelas: primitive terms, key terms, and theoretical terms. Primitive terms tak dapat didefinisikan secara operasional. Contohnya, konsep titik (point) dalam geometri. Key terms adalah istilah-istilah yang dapat didefinisikan secara operasional seperti pemecahan masalah. Theo- retical terms dapat didefinisikan secara operasional, tetapi dalam hubungannya dengan key terms. Beauchamp (1975, hlm. 15) membedakan adanya tiga kelompok istilah, yaitu "general language terms, basic concepts, dan theoretical contructs". General language terms merupakan istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu pengetahuan atau bahasa secara umum. Istilah-istilah tersebut tidak perlu didefinisikan secara operasional karena telah dikenal secara umum. The basic concept merupakan istilah-istilah yang sangat dasar dan penting dalam menjelaskan suatu set kejadian, oleh karenanya perlu didefinisikan secara operasional. Sebagai contoh, istilah molekul dalam kimia, istilah kurikulum dalam pendidikan. Yang ketiga adalah theoretical constructs, yang merupakan istilah yang punya makna khusus dalam set kejadian yang akan dijelaskan suatu teori, tetapi tidak dapat diketahui melalui pengamatan langsung. Contoh istilah minat, kebutuhan dalam pengajaran. Hal lain yang juga sangat penting dalam pekerjaan ilmuwan adalah pernyataan. Suatu teori terdiri atas serangkaian pernyataan, di dalam pernyataan tersebut ada istilah-istilah. Seperti halnya istilah, pernyataan pun ada pengkategoriannya. Pernyataan dapat menunjuk kepada faktafakta, definisi, proposisi, hipotesis, generalisasi, dalil, postulat, teorem, asumsi, dan hukum. Sering terdapat tumpang tindih atau pertukaran pengertian dari istilah-istilah tersebut, juga penggunaannya sering amat terbatas hanya dalam teori atau konsep tertentu. Secara hukum istilah-istilah tersebut sering diartikan sebagai berikut. Fakta adalah suatu fenomena yang diketahui melalui pengamatan. Definisi
merupakan perumusan arti dalam bentuk pernyataan formal. Proposisi merupakan suatu pernyataan formal yang memperkuat atau menolak keberadaan sesuatu hal tentang suatu subjek. Hipotesis, generalisasi, aksioma, postulat, teorem, dan hukum-hukum merupakan bentuk-bentuk khusus proposisi. Hipotesis terbentuk oleh satu proposisi atau lebih untuk menjelaskan suatu set kejadian. Generalisasi adalah suatu proposisi yang memperkuat atau menegaskan kedudukan suatu anggota atau beberapa anggota kolas, hal itu disimpulkan dari hasil pengamatan atas sejumlah hubungan peristiwa. Aksioma atau postulat adalah suatu proposisi yang diterima sebagai suatu kebenaran. Teorem adalah suatu proposisi yang berasal dari pemikiran atau diturunkan dari aksioma. Hukum adalah suatu proposisi yang sudah bersifat tetap, yang memberikan kondisi yang tidak berubah.
1. Apakah fungsi teori? Minimal ada tiga fungsi teori yang sudah disepakati para ilmuwan yaitu; (1) mendeskripsikan, (2) menjelaskan, dan (3) memprediksi. Untuk tiga fungsi tersebut, Brodbeck (1963, hlm. 70) menambahkan fungsi lain. "A theory nol only explains and predict, it also unifies phenomena". Khusus dalam penelitian Gawin (1963) mengemukakan fungsi teori sebagai: ... the theory help teioire,/ searcher to analyze data to make shorthand summarization or synopsis of data an relations, and to suggest new thing to try out. Dalam usaha mendeskripsikan, menjelaskan, dan membuat prediksi, para ahli terus mencari dan menemukan hukum-hukum baru dan hubungan-hubungan baru di antara hukum-hukum tersebut. Melalui proses demikian mungkin terjadi di dalam suatu "set kejadian", semua hukum dan interealasinya dapat dinyatakan dan teori itu telah berkembang menjadi hukum yang lebih tinggi. Para ahli teori mencari hubungan baru dangan menggabungkan beberapa "set kejadian" menjadi suatu "set kejadian yang baru yang lebih universal". Hal itu mendorong pencarian dan pengkajian selanjutnya, untuk menemukan hukum-hukum baru dan hubungan baru dalam suatu teori baru. Fungsi yang lebih besar dari suatu leori adalah melahirkan teori baru. Mouly (1970, hlm. 70-71) mengemukakan ciri-ciri suatu teori yang baik, yaitu:
1. A theoretical system must permit deduction which be tested empirically, 2. A theory must be compatible both with observation and with previously validated theories, 3. Theories must be stated in simple terms, that theory is best which explains the most in the simplest form, 4. Scientific theories must be based on empirical facts and relationships. Bagaimana proses pembentukan suatu teori atau bagaimana proses herteori berlangsung, melalui beberapa langkah. Pertama, pendefinisian istilah merupakan hal yang sangat penting berteori, terutama berkenaan dengan kejelasan atau ketepatan penggunaan istilah yang telah didefinisikan. Kedua, klasifikasi yaitu pengelompokan informasi-informasi yang revan dengan kategori-kategori yang sejenis. Klasifikasi juga merupakan wugelompokan fakta dan generalisasi ke dalam kelompok-kelompok yang .mogen, tetapi tidak menjelaskan interelasi antarkelompok atau interaksi fakta dengan generalisasi dalam suatu kelompok. Ketiga, mengadakan induksi dan deduksi. Induksi dan deduksi merupakan dua proses penting di dalam mengembangkan pernyataan- pernyataan teoretis setelah pendefinisian dan pengklasifikasian. Induksi merupakan proses penarikan kesimpulan yang lebih bersifat umum dari fakta-fakta atau hal-hal yang bersifat khusus. Deduksi merupakan penurunan kaidah-kaidah khusus dari kaidah yang lebih umum. Keempat adalah informasi, prediksi, dan penelitian. Pembentukkan suatu teori yang kompleks mungkin berpangkal dari inferensi-inferensi yaitu penyimpulan dari apa yang diamati. Inferensi ini mungkin ditarik melalui perumusan asumsi, hipotesis, dan generalisasi dari hasil-hasil observasi. Sesuai dengan fungsi dari teori yaitu memberikan prediksi, teori juga berkembang melalui prediksi dan juga penelitian. Ada prediksi yang dibuktikan dengan suatu penelitian, tetapi ada juga prediksi yang tetap sebagai prediksi. Kelima pembentukan model-model. Karena yang dicakup dengan teori sering menyangkut hal-hal yang sifatnya abstrak dan kompleks, maka untuk
memberikan gambaran yang lebih konkret dan sederhana dibuat model-model. Model ini menggambarkan kejadian-kejadian serta interaksi antara kejadian. Keenam, pembentukan subteori. Suatu teori yang telah mapan dan komprehensif mendorong untuk terbentuknya sub-subteori. Subteori ini cenderung memperluas lingkup dari suatu teori dan juga memberikan penyempurnaan.
B. Teori Pendidikan Pendidikan merupakan suatu ilmu terapan (applied science), yaitu terapan dari ilmu atau disiplin lain terutama filsafat, psikologi, sosiologi, dan humanitas. Sebagai ilmu terapan, perkembangan teori pendidikan berasal dari pemikiran- pemikiran filosofis-teoretis, penelitian empiris dalam praktik pendidikan. Dengan latar belakang seperti itu, beberapa ahli menyatakan bahwa ilmu pendidikan merupakan ilmu yang "belum jelas". Hal itu diperkuat oleh kenyataan bahwa cukup sulit untuk dapat merumuskan teori pendidikan. Teori-teori pendidikan yang ada lebih menggambarkan pandangan filosofis, seperti teori pendidikan Langeveld, Kohnstam, dan sebagainya, atau lebih menekankan pada pengajaran seperti teori Gagne, Skinner, dan sebagainya. Boyles (1959) menyatakan bahwa teori pendidikan di Amerika Serikat berada dalam a state of suspended animation, penggambarannya masih tertangguhkan. Masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk menampilkan dengan jelas teori pendidikan ini. Menurut Beauchamp (1975, hlm. 34), teori pendidikan akan atau dapat berkembang, tetapi perkembangannya pertama-tama dimulai pada sub-subteorinya. Yang menjadi subteori dari teori pendidikan adalah teori-teori dalam kurikulum, pengajaran, evaluasi, bimbingan-konseling, dan administrasi pendidikan. Susunan hierarki teori pendidikan dengan subteori dan teori yang memayunginya dapat dilihat pada Bagan 2.2. Telah diuraikan sebelumnya bahwa ada dua kecenderungan perkembangan ilmu pendidikan. Pertama, perkembangan yang bermilai teoretis yang merupakan pengkajian masalah-masalah pendidikan dari sudut
BAGAN 2.2 Susunan hierarki teori pendidikan dan kurikulum
pandang ilmu lain, seperti filsafat, psikologi, dan lain-lain. Kedua, perkembangan ilmu pendidikan dari praktik pendidikan. Keduanya dapat ding membantu, melengkapi, dan memperkaya. Dalam kenyataan, tidak selalu terjadi hal yang demikian. Hanya sedikit hasil-hasil pengkajian leoretis yang diterapkan para pelaksana pendidikan. Sebagai contoh, teori IT Rousseau yang menekankan pendidikan alam dengan peranan anak sebagai subjek yang penuh potensi, hampir tidak ada yang melaksanakanIlya secara penuh, kecuali beberapa prinsip utamanya, itu pun dengan keberapa modifikasi. Sebaliknya para pendidik di lapangan melaksanakan praktik pendidikan yang lebih didasarkan atas kebutuhan- kebutuhan prakt is, sekalipun tidak banyak dilandasi oleh teori-teori yang kuat. Seharusnya tidak terjadi hal yang demikian, sebab seharusnya praktik dilandasi oleh teori, tidak ada praktik yang baik tanpa teori yang mapan. Anima teori dengan praktik memang terdapat perbedaan, tetapi keduanya ingat berkaitan erat. Mengenai perbedaan antara teori dengan praktik, beauchamp menjelaskan: Theory by its nature is impractical. The world of practicality is built around clusters of specific events. The world of theory derives from generalization law a axiomes and theorems explaining specific events and the relationships among them (Beauchamp, 1975, him. 35).
Walaupun terdapat perbedaan, keduanya tidak dapat dipisahkan. Teori menjadi pedoman bagi praktik dan praktik memberi umpan balik bagi pengembangan teori. Sebagai ilmu dari segala ilmu, filsafat mempunyai hubungan yang erat dengan ilmu pendidikan dan teori pendidikan. Ada dua kategori teori yaitu teori deskriptif dan preskriptif. Teori deskriptif terdiri atas serangkaian proposisi yang berinterelasi secara logis. Dari proposisi-proposisi tersebut diturunkan secara deduktif informasi- informasi baru, juga dari proposisi- proposisi tersebut hubungan antara beberapa hal dirumuskan. Teori deskriptif terdiri atas serangkaian rencana kegiatan atau proposisi mengenai sesuatu kerangka masalah. Pengembangan teori deskriptif berhubungan dengan pendekatan ilmiah (scientific approach), sedangkan pengembangan teori preskriptif berhubungan dengan pendekatan atau teknik-teknik filosofis (techniques of philosophy). Filsafat mempunyai hubungan yang sangat erat dengan teori pendidikan. Kebanyakan teori pendidikan yang ada, kalau tidak berlandaskan psikologi maka bersumber pada filsafat. Filsafat khususnya filsafat pendidikan memberikan pedoman bagi perumusan aspek-aspek pendidikan. Mendidik atau pendidikan berkenaan dengan perbuatanperbuatan yang tidak lepas dari nilai, atau dengan kata lain perbuatan mendidik selalu menyangkut nilai. Teori pendidikan selalu menyangkut tentang teori nilai, etika, yang keduanya merupakan bahasan dari bidang filsafat. Antara keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan. John Dewey seorang ahli filsafat pendidikan progresif, umpamanya menyatakan bahwa filsafat merupakan teori umum dari pendidikan. Beberapa aliran filsafat pendidikan menggambarkan kedudukannya, juga sebagai teori pendidikan, seperti dalam filsafat pendidikan realisme dari Borudy, idealisme dari Butler, pragmatisme dari Mc. Murray. Pratte menegaskan hubungan antara filsafat dengan teori pendidikan di dalam uraiannya tentang teori pendidikan modern yaitu pendidikan progresif (eksperimentalisme), esensialisme, perenialisme, rekonstruksionalisme, dan eksistensialisme. Dalam semua aliran filsafat ini, dikemukakan pandangan filosofisnya tentang peranan sekolah (pendidikan), ten tang hakikat pengetahuan, tentang manusia, tentang nilai, dan sumber-sumber nilai.
Hugh C. Black dalam bukunya A Four fold Classification of Educational Theories (1966) mengemukakan empat teori pendidikan, yaitu teori tradisional, teori progresif, teori hasil belajar, dan teori proses belajar. Teori tradisional menekankan fungsi pendidikan sebagai pemelihara dan penerus warisan budaya, teori progresif memandang pendidikan sebagai penggali potensi anak-anak, dalam teori ini anak menempati kedudukan sentral dalam pendidikan. Teori hasil belajar sesuai dengan namanya mengutamakan hasil, sedangkan teori proses belajar mengutamakan proses belajar. Teori pendidikan bukan saja berkembang melalui pemikiran p.mikiran filosofis atau teori preskriptif, juga dikembangkan melalui ponglojfisn pengkajian ilmiah (teori deskriptif). Harry S. Broudy menyatakan perlunya suatu teori pendidikan yang utuh yang membentuk satu kesatuan. Teori pendidikan yang demikian sangat diperlukan mengingat hal-hal sebagai berikut. a. The present and projected kinds of knowledge and personality traits re- quired for citizenship, vocation, and self development. b. A unified theory must be judicious about the latest development in learn- ing theory and teaching technology. c. A unified theory has to provide for general and special education, for dif- ferences in ability and bent (Broudy, 1960, hlm. 24). Brouner mengidentifikasi enam teori pendidikan yang berkembang di merika Serikat pada tahun 1960-an. Keenam teori tersebut dapat dilihat pada Bagan 2.3. Dalam simposium di Universitas John Hopkins tahun 1961, dibahas hvherapa makalah yang menguraikan apakah pendidikan merupakan
BAGAN 2.3 Enam teori pendidikan (menurut Brouner) suatu disiplin ilmu atau bukan? Beberapa makalah mengakui pendidikan sebagai disiplin ilmu, makalah lainnya menyangkalnya. Mereka yang menyangkal, memandang pendidikan merupakan aplikasi dari berbagai disiplin. Pendidikan hanyalah suatu profesi, yang ditandai sejumlah pelayanan yang diberikannya. March Beth dalam buku Education as a Discipline (1965) menegaskan bahwa pendidikan adalah suatu disiplin. la menolak pandangan bahwa pendidikan hanyalah aplikasi dari disiplin-disiplin lain. Pendidikan adalah suatu bidang studi (suatu disiplin) dalam bidangnya. Studi tentang pendidikan merupakan suatu kajian tentang bagaimana cara atau model-model inkuiri disusun, digunakan, dikembangkan, dan disusun kembali. Lebih jauh berisi kajian tentang model- model yang cocok pada suatu tempat, saat, serta syarat-syarat yang diperlukan bagi pelaksanaan model tersebut.. Menurut Beth, studi tentang pendidikan mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Sejarah tentang teori dan model-model pendidikan 2. Prinsip-prinsip dan prosedur analisis dari model-model pendidikan. 3. Studi tentang fungsi dari model-model yang ada, sebagai bahan dan alat untuk mempelajari dan mengembangkannya. 4. Studi lebih mendalam tentang variasi model, bagaimana penerapannya dalam berbagai tingkat sekolah dan berbagai jenis mata pelajaran.
5. Pelaksanaan model sesuai dengan kondisi waktu, kemampuan para pelaksana, serta fasilitas yang ada. Terlepas dari apakah pendidikan merupakan suatu disiplin ilmu atau bukan, pendidikan tetap merupakan suatu bidang studi. Dalam bidang studi tersebut, teori-teori pendidikan dikembangkan. Beauchamp (175, hlm. 43) menyatakan bahwa Irrespective of label, evidence mounts that education is sufficiently mature to become an organized field of study. Pengembangan teori pendidikan menjadi semakin besar dan pesat dengan berkembangnya sub-subteori pendidikan, yaitu bimbingan clan konseling, kurikulum, penyuluhan, pengajaran, evaluasi, dan administrasi pendidikan.
C. Teori Kurikulum Telah diuraikan sebelumnya bahwa teori merupakan suatu perangkat pernyataan yang bertalian satu sama lain, yang disusun sedemikian rupa sehingga memberikan makna yang fungsional terhadap serangkaian kejadian. Perangkat pernyataan tersebut dirumuskan dalam bentuk definisi deskriptif atau fungsional, suatu konstruksi fungsional, asumsi-asunro hipotesis, generalisasi, hukum, atau teorem-teorem. Isi rumusan-rumusan tersebut ditentukan oleh lingkup dari rentetan kejadian yang dicakup, jumlah pengetahuan empiris yang ada, dan tingkat keluasan_ dan kedalaman teori dan penelitian di sekitar kejadian-kejadian tersebut. Kalau konsep-konsep itu diterapkan dalam kurikulum, maka dapatlah dirumuskan tentang teori kurikulum, yaitu sebagai suatu perangkat pernyataan yang rnemberikan makna terhadap kurikulum sekolah, makna tersebut Irryndi karena adanya penegasan hubungan antara unsur-unsur kurikulum, karena allanya petunjuk perkembangan, penggunaan dan evaluasi kurikulum. Bahan kajian dari teori kurikulum adalah hal-hal yang berkaitan dengan renentuan keputusan, penggunaan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kurikulum, dan lain-lain.
1. Konsep kurikulum Konsep terpenting yang perlu mendapatkan penjelasan dalam teori kurikulum adalah konsep kurikulum. Ada tiga konsep tentang kurikulum, kurikulum sebagai substansi, sebagai sistem, dan sebagai bidang studi. Konsep pertama, kurikulum sebagai suatu substansi, suatu kurikulum, dipandang orang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid di sekolah, atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar-mengajar, jadwal, dan evaluasi. Suatu kurikulum juga dapat digambarkan sebagai dokumen tertulis sebagai hasil persetujuan bersama antara para penyusun kurikulum dan pemegang kebijaksanaan pendidikan dengan masyarakat. Suatu kurikulum juga dapat mencakup lingkup tertentu, suatu sekolah, suatu kabupaten, propinsi, ataupun seluruh negara. Konsep kedua, adalah kurikulum sebagai suatu sistem, yaitu sistem kurikulum. Sistem kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan, sistem pendidikan, bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia, dan prosedur kerja bagaimana cara me- nyusun suatu kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi, dan menyem- purnakannya. Hasil dari suatu sistem kurikulum adalah tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah bagaimana memelihara kurikulum agar tetap dinamis. Konsep ketiga, kurikulum sebagai suatu bidang studi yaitu bidang studi kurikulum. Ini merupakan bidang kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran. Tujuan kurikulum sebagai bidang studi adalah mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum. Mereka yang mendalami bidang kurikulum mempelajari konsep-konsep dasar tentang kurikulum. Melalui studi kepustakaan dan berbagai kegiatan penelitian dan percobaan, mereka menemukan hal-hal baru yang dapat memperkaya dan memperkuat bidang studi kurikulum. Seperti halnya para ahli ilmu sosial lainnya, para ahli teori kurikulum juga dituntut untuk: (1) mengembangkan definisi-definisi deskriptif dan preskriptif dari istilah-istilah teknis, (2) mengadakan klasifikasi tentang pengetahuan yang telah ada dalam pengetahuan-pengetahuan baru, (3) melakukan penelitian inferensial dan prediktif, (4) mengembangkan subsubteori kurikulum, mengembangkan dan
melaksanakan model-model kurikulum. Keempat tuntutan tersebut menjadi kewajiban seorang ahli teori kurikulum. Melalui pencapaian keempat hal tersebut baik sebagai subtansi, sebagai sistem, maupun bidang studi kurikulum dapat bertahan dan dikembangkan.
2. Perkernbangan teori kurikulum Perkembangan teori kurikulum tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangannya. Perkembangan kurikulum telah dimulai pada tahun 1890 dengan tulisan Charles dan McMurry, tetapi secara definitif berawal pada hasil karya Franklin Babbit tahun 1918. Bobbit sering dipandang sebagai ahli kurikulum yang pertama, ia perintis pengembangan praktik kurikulum. Bobbit adalah orang pertama yang mengadakan analisis kecakapan atau pekerjaan sebagai cara penentuan keputusan dalam penyusunan kurikulum. Dia jugalah yang menggunakan pendekatan ilmiah dalam mengidentifikasi kecakapan pekerjaan dan kehidupan orang dewasa sebagai dasar pengembangan kurikulum. Menurut Bobbit, inti teori kurikulum itu sederhana, yaitu kehidupan manusia. Kehidupan manusia meskipun berbeda-beda pada dasarnya sama, terbentuk oleh sejumah kecakapan pekerjaan. Pendidikan berupaya mempersiapkan kecakapan-kecakapan tersebut dengan teliti dan sempurna. Kecakapan-kecakapan yang harus dikuasai untuk dapat terjun dalam kehidupan sangat bermacam-macam, bergantung pada tingkatannya maupun jenis lingkungan. Setiap tingkatan dan lingkungan kehidupan menuntut penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap, kebiasaan, apresiasi tertentu. Hal-hal itu merupakan tujuan kurikulum. Untuk mencapai hal-hal itu ada serentetan pengalaman yang harus dikuasai anak. Seluruh tujuan beserta pengalaman- pengalaman tersebut itulah yang menjadi bahan kajian teori kurikulum. Werrett W. Charlters (1923) setuju dengan konsep Bobbit tentang analisis kecakapan/pekerjaan sebagai dasar penyusunan kurikulum. Char ters lebih menekankan pada pendidikan vokasional. Ada dua hal yang sama dari teori kurikulum, teori Bobbit dan Charters. Pertama, keduanya setuju atas penggunaan teknik ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah kurikulum. Dalam hal ini mereka dipengaruhi oleh gerakan
ilmiah dalam pendidikan yang dipelopori oleh El. Thorndike, Charles Judd, dan lain-lain. Kedua, keduanya bertolak pada asumsi bahwa sekolah berfungsi mempersiapkan anak bagi kehidupan sebagai drang dewasa. Untuk mencapai hal tersebut, perlu analisis tentang tugas-tugas dan tuntutan dalam kurikulum disusun keterampilan, pengetatitian, sikap, nilai, dan lain-lain yang diperlukan untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan orang dewasa. Bertolak pada hal-hal tersebut mereka itionyusun kurikulum secara lengkap dalam bentuk yang sistematis. Mulai tahun 1920, karena pengaruh pendidikan progresif, berkembang gerakan pendidikan yang berpusat pada anak (child centered). Teori kurikulum berubah dari yang menekankan pada organisasi isi yang diarahkan pada kehidupan sebagai orang dewasa (Bobbit dan Charters) kepada kl•hidupan psikologis anak pada saat ini. Anak menjadi pusat perhatian Isi kurikulum harus didasarkan atas minat dan kebutuhan alswa. Pendidikan menekankan kepada aktivitas siswa, siswa belajar nu lalui pengalaman. Penyusunan kurikulum harus melibatkan siswa. Perkembangan teori kurikulum selanjutnya dibawakan oleh Hollis I swell. Dalam peranannya sebagai ketua divisi pengembang kurikulum beberapa negara bagian di Amerika Serikat (Tennessee, Alabama, Ida, Virginia), ia mengembangkan konsep kurikulum yang berpusat pada masyarakat atau pekerjaan (society centered) maka Caswell mengembangkan kurikulum yang bersifat interaktif. Dalam pengembangan kurikulumnya, Caswell menekankan pada partisipasi guru-guru, Ism dalam menentukan kurikulum, menentukan struktur dari penyusunan kurikulum, dalam merumuskan pengertian dalam merumuskan tujuan, memilih isi, menentukan kegiatan belajar, kurikulum, menilai hasil, dan sebagainya. Pada tahun 1947 di Univeristas Chicago berlangsung diskusi besar ri lama tentang teori kurikulum. Sebagai hasil diskusi tersebut 4.11111muskan tiga tugas utama teori kurikulum: (1) mengidentifikasi Nin~..rIah masalah penting yang muncul dalam pengembangan kurikulum tirui konsep-konsep yang mendasarinya, (2) menentukan hubungan antara Malin tersebut dengan struktur yang mendukungnya, (3) Monoirt atau meramalkan pendekatan-pendekatan pada masa yang akan dittoing untuk memecahkan masalah tersebut.
Ralph W. Tylor (1949) mengemukakan empat pertanyaan pokok yang menjadi inti kajian kurikulum: 1. Tujuan pendidikan yang manakah yang ingin dicapai oleh sekolah? 2. Pengalaman pendidikan yang bagaimanakah yang harus disediakan untuk mencapai tujuan tersebut? 3. Bagaimana mengorganisasikan pengalaman pendidikan tersebut secara efektif? 4. Bagaimana kita menentukan bahwa tujuan tersebut telah tercapai? Empat pertanyaan pokok tentang kurikulum dari Tylor ini banyak dipakai oleh para pengembangan kurikulum berikutnya. Dalam konferensi nasional perhimpunan pengembang dan pengawas kurikulum tahun 1963 dibahas dua makalah penting dari George A. Beauchamp dan Othanel Smith. Beauchamp menganalisis pendekatan ilmiah tentang tugas-tugas pengembangan teori dalam kurikulum. Menurut Beauchamp, teori kurikulum secara konseptual berhubungan erat dengan pengembangan teori dalam ilmu-ilmu lain. Hal-hal yang penting dalam pengembangan teori kurikulum adalah penggunaan istilah-istilah teknis yang tepat dan konsisten, analisis dan klasifikasi pengetahuan, penggunaan penelitianpenelitian prediktif untuk menambah konsep, generalisasi atau kaidah- kaidah, sebagai prinsip-prinsip yang menjadi pegangan dalam menjelaskan fenomena kurikulum. Dalam makalah kedua, Othanel Smith menguraikan peranan filsafat dalam pengembangan teori kurikulum yang bersifat ilmiah. Menurut Smith, ada tiga sumbangan utama filsafat terhadap teori kurikulum, yaitu dalam (1) merumuskan dan mempertimbangkan tujuan pendidikan, (2) memilih dan menyusun bahan, dan (3) perumusan bahasa khusus kurikulum. James B. MacDonald (1964) melihat teori kurikulum dari model sistem. Ada empat sistem dalam persekolahan yaitu kurikulum, pengajaran (instruction), mengajar (teaching), dan belajar. Interaksi dari empat sistem ini dapat digambarkan dengan suatu diagram Venn. Melihat kurikulum sebagai suatu sistem dalam sistem yang lebih besar yaitu persekolahan dapat memperjelas pemikiran tentang konsep kurikulum. Penggunaan model sistem juga dapat
membantu para ahli teori kurikulum rnenentukan jenis dan lingkup konseptualisasi yang diperlukan dalam teori kurikulum. Broudy, Smith, dan Burnett (1964) menjelaskan masalah persekolahan dalam suatu skema yang menggambarkan komponen-komponen dari keseluruhan proses mempengaruhi anak. Skema persekolahan dari Broudy dan kawan- kawannya dapat dilihat pada Bagan 2.4. Beauchamp merangkumkan perkembangan teori kurikulum antara tahun 1960 sampai dengan 1965. Ia mengidentifikasi adanya enam komponen kurikulum sebagai bidang studi, yaitu: landasan kurikulum, isi kurikulum, desain kurikulum, rekayasa kurikulum, evaluasi dan penelitian, dan pengembangan teori. Thomas L. Faix (1966) menggunakan analisis struktural-fungsional yang berasal dari biologi, sosiologi, dan antropologi untuk menjelaskan konsep kurikulum. Fungsi kurikulum dilukiskan sebagai proses bagaimana memelihara dan mengembangkan strukturnya. Ada sejumlah pertanyaan yang diajukan dalam analisis struktural-fungsional ini. Topik dan subtopik dari pertanyaan ini menunjukkan fenomena-fenomena kurikulum Pertanyaan-pertanyaan itu menyangkut: (1) pertanyaan umum tentang fenomena kurikulum, (2) sistem kurikulum, (3) unit analisk (Ian unsur unsurnya, (4) struktur sistem kurikulum, (5) Fungsi sistem kurikulum, (6) proses kurikulum (7) prosedur analisis structural fungsional.
BAGAN 2.4 Skema persekolahan dari Broudy, Smith, dan Bunett. CURRICULUM Content Categories of instruction Modes of Teaching Facts Symbolic studies Situational Concept Basic Sciences Modes Desriptive Developmental studies Operational Principles Testhetics studies Modes Students Learnings: Cognitive maps Evaluational maps
Attitudes and values systems Associative meanings and images Intellectual Operations Excecutive Operations Assessment system: Examinations Tests: Essay-Objective Teacher Judgements Self evaluation Self inventory"
Alizabeth S. Maccia (1965) dari hasil analisisnya menyimpulkan adanya empat teori kurikulum, yaitu: (1) teori kurikulum (curriculum theory), (2) teori kurikulum-formal (formal-curriculum theory), (3) teori kurikulum valuasional (valuational curriculum theory), dan (4) teori kurikulum praksiologi (praxiological curriculum theory). Teori kurikulum (curriculum Theory atau event theory) merupakan teori yang menguraikan pemilihan dan pemisahan kejadian/peristiwa kurikulum atau yang berhubungan dengan kurikulum dan yang bukan. Menurut Maccia, kurikulum merupakan bagian dari pengajaran, teori kurikulum merupakan subteori pengajaran. Teori kurikulum formal memusatkan perhatiannya pada struktur isi kurikulum. Teori kurikulum yaluasional mengkaji masalah-masalah pengajaran apa yang berguna/ berharga bagi keadaan sekarang. Teori kurikulum praksiologi merupakan suatu pengkajian tentang proses untuk mencapai tujuan- tujuan kurikulum. Walaupun mungkin, kita tidak setuju dengan seluruh pendapat Maccia, tetapi ia telah berhasil menunjukkan sejumlah dimensi kurikulum yang cukup berharga untuk menjelaskan teori kurikulum. Mauritz Johnson (1967) membedakan antara kurikulum dengan proses pengembangan kurikulum. Kurikulum merupakan hasil dari sistem
pengembangan kurikulum, tetapi sistem pengembangan bukan kurikulum. Menurut Johnson, kurikulum merupakan seperangkat tujuan belajar yang terstruktur. Jadi, kurikulum berkenaan dengan tujuan dan bukan dengan kegiatan. Berdasarkan rumusan kurikulum tersebut, pengalaman belajar anak menjadi bagian dari pengajaran. Johnson menganalisis enam unsur kurikulum, yaitu: 1. A curriculum is a structured series of intended learning out comes. 2. Selection is an essential aspect of curriculum formulation. 3. Structure is an essential charactistic of curriculum. 4. Curriculum guide instruction 5. Curriculum evaluation involeves validation of both selection and structure. 6. Curriculum is the criterion for instructional evaluation. Jack R. Frymier (1967) mengemukakan tiga unsur dasar kurikulum, yaitu aktor, artifak, dan pelaksanaan. Aktor adalah orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan kurikulum. Artifak adalah isi dan rancangan kurikulum. Pelaksanaan adalah proses interaksi antara aktor yang melibatkan artifak. Studi kurikulum menurut Frymier meliputi tiga langkah: perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Ada beberapa masalah atau isu substansial dalam pembahasan tentang teori kurikulum, yaitu definisi kurikulum, sumber-sumber kebijaksanaan kurikulum, desain kurikulum, rekayasa kurikulum, peranan nilai dalam pengembangan kurikulum, dan implikasi teori kurikulum. Semua rumusan teori kurikulum diawali dengan definisi. Definisi di sini bukan sekadar definisi istilah, melainkan definisi konsep, isi dan ruang lingkup, serta struktur. Beberapa pertanyaan umum tentang karakteristik kurikulum sebagai bidang studi yang perlu didefinisikan umpamanya, apakah kurikulum merupakan suatu konsep dalam sistem persekolahan? Apakah kurikulum mencakup mengajar dan pengajaran? Sampai sejauh mana kegiatan belajar siswa menjadi bagian kurikulum? Apakah ruang lingkup kurikulum sebagai bidang studi? Beberapa pertanyaan yang lebih khusus, yang lebih berkenaan dengan karakteristik desain kurikulum, umpamanya apakah kurikulum harus memiliki serangkaian tujuan khusus? Apakah kurikulum perlu memiliki sejumlah materi untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut? Apakah kurikulum perlu mengadakan rumusan yang lebih spesifik tentang rencana dan bahan pengajaran? Apakah perlu ada spesifika4i tentang makna perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kurikulum?
1. Sumber Pengembangan Kurikulum Dari kajian sejarah kurikulum, kita mengetahui beberapa hal yang menjadi sumber atau landasan inti penyusunan kurikulum. Pengembangan kurikulum pertama bertolak dari kehidupan dan pekerjaan orang dewasa. Karena sekolah mempersiapkan anak bagi kehidupan orang dewasa, kurikulum terutama isi kurikulum diambil dari kehidupan orang dewasa. Para pengembang kurikulum mendasarkan kurikulumnya atas hasil analisis pekerjaan dan kehidupan orang dewasa. Dalam pengembangan selanjutnya, sumber ini menjadi luas meliputi .sernua unsur kebudayaan. Manusia adalah makhluk yang berbudaya, hidup dalam Iingkungan budaya, dan turut menciptakan budaya. Untuk dapat hidup dalam Iingkungan budaya, ia harus mempelajari budaya, maka budaya menjadi sumber utama isi kurikulum. Budaya ini mencakup ..einua disiplin ilmu yang telah ditemukan dan dikembangkan para pakar, itilai-nilai adat-istiadat, perilaku, benda- benda, dan lain-lain. Sumber lain penyusunan kurikulum adalah anak. Dalam pendidikan *Wm pengajaran, yang belajar adalah anak. Pendidikan atau pengajaran I iiikan memberikan sesuatu pada anak, melainkan menumbuhkan potensipolensi yang telah ada pada anak. Anak menjadi sumber kegiatan pengajaran, ia menjadi sumber kurikulum. Ada tiga pendekatan terhadap anak sebagai sumber kurikulum, yaitu kebutuhan siswa, perkembangan serta minat siswa. Jadi, ada pengembangan kurikulum bertolak dari ,hutuhan-kebutuhan siswa, tingkat-tingkat perkembangan siswa, serta hal hal yang diminati siswa. Beberapa pengembang kurikulum mendasarkan penentuan kurikulum kepada pengalaman-pengalaman penyusunan kurikulum yang lalu. Pengalaman pengembangan kurikulum yang lalu menjadi sumber penyusunan kurikulum kemudian. Hal lain yang menjadi sumber penyusunan kurikulum adalah nilai- nilai. Beauchamp menegaskan bahwa nilai dapat merupakan sumber penentuan
keputusan yang dinamis. Pertanyaan pertama yang muncul dalam kurikulum yang berdasarkan nilai adalah: Apakah yang harus diajarkan di sekolah? Ini merupakan pertanyaan tentang nilai. Nilai-nilai apakah yang harus diberikan dalam pelaksanaan kurikulum? Nilai-nilai apa yang digunakan sebagai kriteria penentuan kurikulum dan pelaksanaan kurikulum. Terakhir yang menjadi sumber penentuan kurikulum adalah kekuasaan sosial-politik. Di Amerika Serikat pemegang kekuasaan sosial-politik yang menentukan kebijaksanaan dalam kurikulum adalah board of education lokal yang mewakili negara bagian. Di Indonesia, pemegang kekuasaan sosial- politik dalam penentuan kurikulum adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dalam pelaksanaannya dilimpahkan kepada Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah serta Dirjen Pendidikan Tinggi bekerja sama dengan Balitbangdikbud. Pada pendidikan dasar dan menengah, kekuasaan penyusunan kurikulum sepenuhnya ada pada pusat, sedangkan pada perguruan tinggi rektor diberi kekuasaan untuk menentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam penyusunan kurikulum.
2. Desain dan Rekayasa Kurikulum Telah diutarakan sebelumnya bahwa ada dua subteori dari teori kurikulum, yaitu desain kurikulum (curriculum design) dan rekayasa kurikulum (curriculum engineering). Desain kurikulum merupakan suatu pengorganisasian tujuan, isi, serta proses belajar yang akan diikuti siswa pada berbagai tahap perkembangan pendidikan. Dalam desain kurikulum akan tergambar unsur-unsur dari kurikulum, hubungan antara satu unsur dengan unsur lainnya, prinsipprinsip pengorganisasian, serta hal-hal yang diperlukan dalam pelaksanaannya. Dalam desain kurikulum, ada dua dimensi penting, yaitu (1) substansi, unsur-unsur serta organisasi dari dokumen tertulis kurikulum, (2) model pengorganisasian dan bagian-bagian kurikulum terutama organisasi dan proses pengajaran. Menurut Beauchamp, kurikulum mempunyai tiga karakteristik, yaitu: (1) kurikulum merupakan dokumen tertulis, (2) berisi garis-garis besar rumusan tujuan, berdasarkan garis-garis besar tujuan tersebut desain kurikulum disusun, (3) isi atau materi ajar, dengan materi tersebut tujuantujuan kurikulum dapat dicapai.
Ada dua hal yang perlu ditambahkan dalam desain kurikulum. Pertama, ketentuan-ketentuan tentang bagaimana penggunaan kurikulum, serta bagaimana mengadakan penyemprunaan-penyempurnaan berdasarkan masukan dari pengalaman. Kedua kurikulum itu dievaluasi, baik bentuk desainnya maupun sistem pelaksanaannya. Rekayasa kurikulum berkenaan dengan bagaimana proses memfungsikan kurikulum di sekolah, upaya-upaya yang perlu dilakukan para pengelola kurikuluin agar kurikulum dayat berfungsi sebaik-baiknya. Pengelola kurikulum di sekolah terdiri atas para pengawas/periilik dan kepala sekolah, sedangkan pada tingkat pusat adalah Kepala Pusat Pengembangan Kurikulum BaLitbang Dikbud dan para Kasubdit/Kepala Bagian Kurikulum di Direktorat. Dengan menerima pelimpahan wewenang dari Menteri atau Dirjen, para pejabat pusat tersebut merancang, mengembangkan, dan mengadakan penyempurnaan kurikulum. Juga mereka memberi tugas dan tanggung jawab menyusun dan mengembangkan berbagai bentuk pedoman dan petunjuk pelaksanaan kurikulum. Para pengelola di daerah dan sekolah berperan melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan kurikulum Seluruh sistem rekayasa kurikulum menurut Beauchamp mencakup lima hal, yaitu 1) arena atau lingkup tempat dilaksanakannya berbagai proses rekayasa kurikulum, (2) keterlibatan orang-orang dalam proses kurikulum, (3) tugas-tugas dan prosedur perencanaan kurikulum, (4) tugas-tugas dan prosedur implementasi kurikulum, dan (5) tugas-tugas dan prosedur evaluasi kurikulum. Dari semua uraian tentang hal-hal yang berkaitan dengan teori kurikulum, Beauchamp (hlm. 82) mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan teori kurikulum, yaitu: 1. Setiap teori kurikulum harus dimulai dengan perumusan (definisi) tentang rangkaian kejadian yang dicakupnya. 2. Setiap teori kurikulum harus mempunyai kejelasan tentang nilai-nilai dan sumber-sumber pangkal tolaknya. 3. Setiap teori kurikulum perlu menjelaskan karakteristik dari desain kurikulumnya.
4. Setiap teori kurikulum harus menggambarkan proses-proses penentuan kurikulumnya serta interaksi di antara proses tersebut. 5. Setiap teori kurikulum hendaknya menyiapkan diri bagi proses penyempurnaannya.
D. Buku Acuan Beauchamp, George A. 1975. Curriculum Theory. Wilmettee, Illinois: The KAGG Press. Sesuai dengan judulnya, yang dibahas dalam buku ini adalah suatu teori kurikulum. Buku ini merupakan edisi ketiga, dengan berpegang atas hasil-hasil penelitian. Edisi ini merupakan hasil penyempurnaan atas dua edisi sebelumnya. Seluruh isi buku ini terbagi atas tiga bagian. Bagian pertama membahas teori kurikulum yang merupakan subteori dari pendidikan: teori kurikulum sebagai masalah pendidikan, pembentukan teori, teori dalam pendidikan, teori kurikulum. Bagian selanjutnya menguraikan suatu analisis tentang isu-isu teoretis, problema dan alternatif pemecahan problema dalam pengembangan kurikulum. Bagian terakhir mengemukakan teori kurikulum hasil pengembangan/pemikiran penulis sendiri, terutama ,difokuskan pada kurikulum sebagai bidang studi dari teori kurikulum. Karena Jebih banyak menguraikan kurikulum secara teoritis maka sumbangan buku ini terutama dirasakan oleh para ahli kurikulum, ahli pendidikan, dan perencana pengajaran, begitupun para praktisi juga dapat mengambil manfaatnya. Gordon, Peter and Lawton, Denis. 1978. Curriculum Change in the Nineteenth and Twentieth Centuries. London: Hodder and Stoughton. Yang dibahas dalam buku ini adalah perubahan-perubahan besar yang terjadi dalam kurikuldm selama abad ke-19 dan ke-20, serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Perubahan kurikulum dilatarbelakangi oleh perubahan atau perkembangan teori pendidikan yang mendasarinya. Teori pendidikan mempengaruhi penentuan isi maupun proses pengajaran. Perubahan kurikulum dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat yang dilatarbelakangi oleh perkembangan ilmu dan teknologi, revolusi industri, perpaduan antara pengetahuan-humanisme-agama, clan perubahan ideologi dari elitisme pada
demokrasi. Juga yang berperanan besar terhadap perubahan kurikulum adalah pemerintah dan kelompok. Bullough Jr. Robert, et. a!. 1984. Human Interest in Curriculum. New York, London: Teachers College Press, Columbia University. Buku ini menyajikan suatu hasil studi kritis terhadap pengaruh munculnya nilai-nilai sebagai akibat perkembangan teknologi. Karena pengaruh perkembangan teknologi pendidikan tidak lebih dari suatu latihan untuk mempersiapkan pekerja, prosesnya menekankan efisiensi dan kontrol. Struktur persekolahan yang ada memperkuat hal tersebut, sehingga terbentuk sikap dan anggapan yang kurang menghargai kebebasan dan perkembangan manusia. Pendidikan harus memiliki keterbukaan, yang memungkinkan berpikir dan berbuat yang leluasa, agar memungkinkan pertumbuhan segi kognitif, etestis, maupun moral dengan sempurna. Akibat terlalu berjiwa teknologis maka mempersempit arti pendidikan dan membatasi perkembangan lingkungan pendidikan yang kreatif. Pendidikan harus memperluas emansipasi manusia, bukan membatasinya. Hal itu tercapai melalui interaksi komunikatif. Penulis menentang technocratic mindedness dan menganjurkan critical atau philosophical mindedness. Buku ini sangat berharga bagi para ahli pendidikan, ahli kurikulum, dan juga bagi guru-guru atau calon guru, baik di dalam merencanakan rnaupun melaksanakan pendidikan dan pengajaran. Olson, David R, 1970, Cognitive Development, Academic Press Publishing Co., New York. Apa yang dikemukakan dalam karangan ini adalah suatu teori tentang perkembangan intelektual anak. Buku ini membahas tiga masalah teoretis utama, yaitu peranan bahasa dalam perkembangan intelektual, hubungan antara informasi perseptual dengan tingkah laku nyata, dan pengaruh pengajaran terhadap pembentukkan dan perkembangan konsep. Ketiga hal itu didukung oleh hasil penelitian dari delapan eksperimen tentang perkembangan konsep diagonal anak usia 3 sampai dengan 6 tahun. Eksperimen menunjukkan bahwa pengaruh media gambar dan bahasa sangat besar terhadap tingginya perkembangan keterampilan konseptual. I ebih jauh dibuktikan besarnya pengaruh kebudayaan terhadap porkembangan
intelektual anak. Apa yang dibahas dalam buku ini sangat herguna bagi para peneliti di bidang pendidikan, para ahli kurikulum dan pengajaran serta ahli bimbingan dan penyuluhan sebagai pegangan atau kihan perbandingan dalam melakukan tugas-tugasnya.
BAB 3 LANDASAN FILOSOFIS DAN PSIKOLOGIS PENGEMBANGAN KURIKULUM
Pendidikan mempunyai peranan sangat penting dalam keseluruhan aspek kehidupan manusia. Hal itu disebabkan pendidikan berpengaruh langsung terhadap perkembangan manusia, perkembangan seluruh aspek kepribadian manusia. Kalau bidang-bidang lain seperti ekonomi, pertanian, arsitektur, dan sebagainya berperan menciptakan sarana dan prasarana bagi kepentingan manusia, pendidikan berkaitan langsung dengan pembentukan manusia. Pendidikan "menentukan" model manusia yang akan dihasilkannya. Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang cukup sentral dalam seluruh kegiatan pendidikan, menentukan proses pelaksanaan dan basil pendidikan. Mengingat pentingnya peranan kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangan kehidupan manusia, penyusunan kurikulum tidak dapat dikerjakan sembarangan. Penyusunan kurikulum membutuhkan landasan-landasan yang kuat, yang didasarkan atas hasil-hasil pemikiran dan penelitian yang mendalam. Kalau landasan pembuatan sebuah gedung tidak kokoh yang akan ambruk adalah gedung tersebut, tetapi kalau landasan pendidikan, khususnya kurikulum yang lemah, yang akan "ambruk" adalah manusianya. Ada beberapa landasan utama dalam pengembangan suatu kurikulum, yaitu landasan filosofis, landasan psikologis, landasan sosial budaya, serta perkembangan ilmu dan teknologi. Pada bab ini akan dibahas landasan filosofis dan landasan psikologis, sedangkan landasan sosial-budaya dan perkembangan ilmu dan teknologi akan dibahas pada bab selanjutnya.
A. Landasan Filosofis Pendidikan berintikan interaksi antarmanusia, terutama antara pendidik dan terdidik untuk mencapai tujuan pendidikan. Di dalam interaksi tersebut terlibat isi yang diinteraksikan serta proses bagaimana interaksi tersebut berlangsung. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan, siapa pendidik dan terdidik, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksi pendidikan tersebut,
merupakan pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang mendasar, yang esensial yaitu jawaban-jawaban filosofis. Secara harfiah filosofis (filsafat) berarti "cinta akan kebijakan" (love of wisdom). Orang belajar berfilsafat agar ia menjadi orang yang mengerti dan berbuat secara bijak. Untuk dapat mengerti kebijakan dan berbuat secara bijak, ia harus tahu atau berpengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses berpikir, yaitu berpikir secara sistematis, logis, dan mendalam. Pemikiran demikian dalam filsafat sering disebut sebagai pemikiran radikal, atau berpikir sampai ke akar-akarnya (radic berarti akar). Berfilsafat diartikan pula berpikir secara radikal, berpikir sampai ke akar. Secara akademik, filsafat berarti upaya untuk menggambarkan dan menyatakan suatu pandangan yang sistematis dan komprehensif tentang alam semesta dan kedudukan manusia di dalamnya. Berfilsafat berarti menangkap sinopsis peristiwa-peristiwa yang simpang siur dalam penga- laman manusia. Suatu cabang ilmu pengetahuan mengkaji satu bidang pengetahuan manusia, daerah cakupannya terbatas. Filsafat mencakup keseluruhan pengetahuan manusia, berusaha melihat segala yang ada irti sebagai satu kesatuan yang menyeluruh dan mencoba mengetahui kedudukan manusia di dalamnya. Sering dikatakan bahwa filsafat merupakan ibu dari segala ilmu. Terdapat perbedaan pendekatan antara ilmu dengan filsafat dalam mengkaji atau memahami alam semesta mi. Ilmu menggunakan pendekatan analitik, berusaha menguraikan keTeluruhan dalam bagian- bagian yang kecil dan lebih kecil. Filsafat berupaya merangkum atau mengintegrasikan bagian-bagian ke dalam satu'kesatuan yang menyeluruh dan bermakna. Ilmu berkenaan dengan fakta-fakta sebagaimana adanya (Das Sem), berusaha melihat segala sesuatu spcara objektif, menghilangkan hal-hal yang bersifat subjektif. Filsafat melihat segala sesuatu dari sudut bagaimana seharusnya (Das So/len), faktor-faktor subjektif dalam filsafat sangat berpengaruh. Filsafat dan ilmu mempunyai hubungan yang saling mengisi dan melengkapi (komplementer). Filsafat memberikan landasan- landasan dasar bagi ilmu. Keduanya dapat memberikan bahan-bahan bagi manusia untuk membantu memecahkan berbagai masalah dalam kehidupannya.
Ada tiga cabang besar filsafat, yaitti metafisika yang membahas segala yang ada dalam alam ini, epistemologi yang membahas kebenaran dan aksiologi yang membahas nilai. Aliran-aliran filsafat yang kita kenal bertolak dari pandangan yang berbeda dalam ketiga hal itu. Filsafat membahas segala permasalahan yang dihadapi oleh manusia termasuk masalah-masalah pendidikan ini yang disebut filsafat pen- didikan. Walaupun dilihat sepintas, filsafat pendidikan ini hanya merupakan aplikasi dari pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan, tetapi antara keduanya yaitu antara filsafat dan filsafat pendidikan terdapat hubungan yang sangat erat. Menurut Donald Butler, filsafat memberikan arah dan metodologi terhadap praktik pendidikan, sedangkan praktik pendidikan memberikan bahan-bahan bagi pertimbangan-pertimbangan filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat, malah menurut Butler menjadi satu. 1) Philosphy is primary and basic to an educational philosophy, 2) philosophy is the flower not root of education, 3) educational philosophy is an independent discipline which might benefit from contact with general philosophy, but this contact is not essential, 4) philosophy and the theory of education is one (Butler, 1957: 12). Pendapat para filsuf umumnya memandang filsafat umum sebagai dasar dari filsafat pendidikan, tetapi John Dewey umpamanya mempunyai pandangan yang hampir sama dengan Butler. Bagi Dewey, filsafat dan filsafat pendidikan adalah sama, sebagaimana juga pendidikan menurut Dewey sama dengan kehidupan. Seperti halnya dalam filsafat umum, dalam filsafat pendidikan pun dikenal banyak pandangan atau aliran. Setiap pandangan mempunyai landasan metafisika, epistemilogi, dan aksiologi tentang masalah pendidikan yang berbeda. Dalam tulisan ini akan dikemukakan salah satu pandangan tentang filsafat pendidikan, yaitu pandangan dari John Dewey. Hal itu tidak berarti bahwa pandangan tersebut paling sesuai untuk masyarakat kita atau paling disetujui oleh penulis.
1. Dasar-dasar filsafat Dewey Ciri utama filsafat Dewey adalah konsepsinya tentang dunia yang selalu berubah, mengalir, atau on going-ness. Prinsip ini membavva konsekuensi yang cukup jauh, bagi Dewey tidak ada yang menetap dan abadi semuanya berubah. Ciri lain filsafat Dewey adalah anti dualistik. Pandangannya tentang dunia adalah monistik dan tidak lebih dari sebuah hipotesis. Filsafat Dewey lebih berkenaan dengan epistemologi dan tekanannya kepada proses berpikir. Proses berpikir merupakan satu dengan pemecahan yang bersifat tentatif, antara ide dengan fakta, antara hipotesis dengan hasil. Proses berpikir merupakan proses pengecekan dengan kejadiankejadian nyata. Dalam filsafat Dewey kebenaran itu terletak dalam perbuatan atau truth is in the making, yaitu adanya persesuaian antara hipotesis dengan kenyataan. Dewey sangat menghargai peranan pengalaman, merupakan dasar bagi pengetahuan dan kebijakan. Experience is the only basis for knowledge and wisdom (Dewey, 1964, hlm. 101). Pengalaman itu mencakup kegiatan manusia, baik yang berbentuk aktif maupu pasif. Mengetahui tanpa mengalami adalah omong kosong. Dewey menolak sesuatu yang bersifat spekulatif. Pengertian pengalaman Dewey berbeda dengan kaum empiris lainnya, yang mengartikannya sebagai pengalaman melalui pengindraan. Instrumentalisme Dewey menganggap bahwa rohani itu adalah interelasi yang kreatif antara organisme dengan lingkungannya, dengan waktu dan tempat. Pengalaman selain merupakan sumber dari pengetahuan, juga sumber nilai. Karena pengalaman selalu berubah maka nilai pun berubah. Nilai-nilai adalah relatif, subjektif, dan hanya dirasakan oleh manusia. Sesuatu itu bernilai karena diberi nilai oleh manusia, sesuatu dibutuhkan karena manusia membutuhkannya, selalu dalam hubungannya dengan pengalaman. Nilai-nilai itu tidak dapat diukur dan tidak ada hierarki nilai. All values are thus subjective and either intrinsic or instrumental .... Values being finally intrinsic, and feeling, it is held, being immeasurable, no scale of values, and of any two things felt as intrinsically valuable it is than another. To be felt as
worthwhile in itself is thus the ultimate orientation of value. (Dewey dalam Joe Park, (Ed). 1958, hlm. 185). Tujuan perkembangan manusia adalah self realization. Pengertian self hagi Dewey adalah sesuatu yang konkret bersifat empiris tidak dapat dipisahkan dari pengalaman dan lingkungan. Self realization hanya dapat diperoleh melalui pengalaman dan interaksi dengan yang lain.
2. Teori pendidikan Dewey Apakah pendidikan menurut John Dewey? Pendidikan berarti perkem- bangan, perkembangan sejak lahir hingga menjelang kematian. Jadi, pendidikan itu juga berarti sebagai kehidupan. Bagi Dewey, Education is Ntowlh, development, life. Ini berarti bahwa proses pendidikan itu tidak niempunyai tujuan di luar dirinya, tetapi terdapat dalam pendidikan itu Itendiri. Proses pendidikan juga bersifat kontinu, merupakan reorganisasi, teknnstruksi, dan pengubahan pengalaman hidup. Jadi, pendidikan itu mei npakan organisasi pengalaman hidup, pembentukan kembali hidup, dan juga perubahan pengalaman hidup sendiri merupakan organisasi pengalaman hidup, pembentukan kembali pengalaman hidup, dan juga perubahan pengalaman hidup sendiri. Pendidikan merupakan reorganisasi dan rekonstruksi yang konstan dari pengalaman. Pada setiap saat ada tujuan, perbuatan pendidikan selalu ditujukan untuk mencapai tujuan. Setiap fase perkembangan kehidupan, masa kanak-kanak, masa pemuda, dan dewasa, semuanya merupakan fase pendidikan, semua yang dipelajari pada fase-fase tersebut mempunyai arti sebagai pengalaman;Pendidikan itu tidak berakhir, kecuali kalau seseorang sudah mati. Pengalaman sebagai suatu proses yang aktif membutuhkan waktu, waktu yang kemudian menyempurnakan waktu sebelumnya. Seluruh proses pendidikan itu membentuk pengertian-pengertian tentang benda, hubungan-hubungan, dan segala sesuatu tentang kehidupannya. Konstruksi pengalaman ini tidak hanya bersifat pribadi (individual), tetapi juga bersifat sosial. Pendidikan merupakan suatu lembaga yang konstruktif untuk memperbaiki masyarakat. Realisasi pendidikan dalam bentuk perkembangan bukan hanya perkembangan anak dan pemuda-pemuda, melainkan juga perkembangan masyarakat.
Tujuan pendidikan diarahkan untuk mencapai suatu kehidupan yang demokratis. Demokratis bukan dalam arti politik, melainkan sebagai cara hidup bersama sebagai way of life, pengalaman bersama dan komunikasi bersama. Tujuan pendidikan merupakan usaha agar individu melanjutkan pendidikannya. Tujuan pendidikan terletak pada proses pendidikan itu sendiri, yakni kemampuan dan keharusan individu meneruskan perkembangannya. John Dewey menegaskan bahwa pendidikan itu tidak mernpunyai tujuan, hanya orang tua, guru, dan masyarakat yang mempunyai tujuan. And it is well to remind ourselves that education as such has no aims. Only persons, parents, and teacher etc., have aims, not an abstarct idea like education. (John Dewey, 1964, hlm. 177). Untuk mengetahui bagaimanakah proses belajarterjadi pada anak, baiklah kita lihat bagaimana syarat-syarat untuk pertumbuhan. Pendidikan sama dengan pertumbuhan. Syarat pertumbuhan adalah adanya kebelumdewasaan (immaturity), yang berarti kemampuan untuk berkembang. Immaturity tidak berarti negatif, tetapi positif, kemampuan, kecakapan, dan kekuatan untuk tumbuh. lni menunjukkan bahwa anak adalah hidup, ia memiliki semangat untuk berbuat. Pertumbuhan bukan sesuatu yang harus kita berikan, pertumbuhan adalah sesuatu yang harus mereka lakukan sendiri. Ada dua sifat dari immaturity yakni kebergantungan dan plastisitas. Kebergantungan berarti kemampuan untuk menyatakan hubungan sosial, dan ini akan menyebabkan individu itu matang dalam hubungan sosial. Sebagai hasilnya, akan tumbuh kemampuan interpendensi atau saling kebergantungan antara anggota masyarakat yang satu dengan yang lain. Plastisitas mengandung pengertian kemampuan untuk berubah. Plastisitas juga berarti habitat yaitu kecakapan menggunakan keadaan lingkungan sebagai alat untuk mencapai tujuan, bersifat aktif mengubah lingkungan. Kapankah proses belajar itu dimulai dan kapankah berakhir? Sesuai dengan pandangan John Dewey, bahwa pendidikan itu adalah pertumbuhan itu sendiri. Karena itu, pendidikan tersebut dimulai sejak lahir dan berakhir pada saat kematian. Demikian juga proses belajar tidak dapat dilepaskan dari proses pendidikan. Pendidikan adalah pengalaman, yaitu suatu proses yang berlangsung
terus-menerus. Bagaimana hubungan antara proses belajar, pengalaman, dan berpikir? Pengalaman itu bersifat aktif dan pasif. Pengalaman yang bersifat aktif herarti berusaha, mencoba, dan mengubah, sedangkan pengalaman pasif herarti menerima dan mengikuti saja. Kalau kita mengalami sesuatu maka kita berbuat, sedangkan kalau mengikuti sesuatu kita memperoleh akibat atau hasil. Belajar dari pengalaman berarti menghubungkan kemunduran dengan kemajuan dalam perbuatan kita, yakni kita merasakan kesenangan atau penderitaan sebagai suatu akibat atau hasil. "To learn from experience is hi make a backward and forward connection between what we have do to things and what we enjoy or suffer from thing in consequence (Dewey, dalam Jo Park, 1958: 94). Belajar dari pengalaman adalah bagaimana menghubungkan pengalaman kita dengan pengalaman masa lalu dan yang akan datang. lielajar dari pengalaman berarti mempergunakan daya pikir reflektif (reflecI we thinking), dalam pengalaman kita. Pengalaman yang efektif adalah pengalaman reflektif. Ada lima langkah berpikir reflektif menurut John Dewey, yaitu: 1. merasakan adanya keraguan, kebingungan yang menimbulkan masalah, 2. mengadakan interpretasi tentatif (merumuskan hipotesis), 3. mengadakan penelitian atau pengumpulan data yang cermat, 4. memperoleh hasil dari pengujian hipotesis tentatif, 5. hasil pembuktian sebagai sesuatu yang dijadikan dasar untuk berbuat.
Langkah-langkah berpikir reflektif ini dipergunakan sebagai metode belajar dalam pendekatan pendidikan proyek dari John Dewey, yang sampai dengan tahun 50-an sangat populer. Belajar seperti halnya pendidikan adalah proses pertumbuhan, belajar, dan berpikir adalah satu. Dalam penyusunan bahan ajaran menurut Dewey hendaknya memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut: 1) Bahan ajaran hendaknya konkret, dipilih yang betul-betul berguna dan dibutuhkan, dipersiapkan secara sistematis dan mendetil, 2) Pengetahuan yang telah diperoleh sebagai hasil belajar, hendaknya ditempatkan, dalam kedudukan yang berarti, yang memungkinkan dilaksanakannya kegiatan baru, dan kegiatan yang lebih menyeluruh.
Bahan pelajaran bagi anak tidak bisa semata-rnata diambil dari buku pelajaran, yang diklasifikasikan dalam mata-mata pelajaran yang terpisah. Bahan pelajaran harus berisikan kemungkinan-kemungkinan, harus mendorong anak untuk bergiat dan berbuat. Bahan pelajaran harus memberikan rangsangan pada anak-anak untuk bereksperimen. Demikian- lah dengan bahan pelajaran ini, kita mengharapkan anak-anak yang aktif, anak-anak yang bekerja, anak-anak yang bereksperimen. Bahan pelajaran tidak diberikan dalam disiplin-disiplin ilmu yang ketat, tetapi merupakan kegiatan yang berkenaan dengan sesuatu masalah (problem). Peranan guru bukan hanya berhubungan dengan mata pelajaran, melainkan dia harus menempatkan dirinya dalam seluruh interaksinya dengan kebutuhan, kemampuan, dan kegiatan siswa. Guru juga harus dapat memilih bahan-bahan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lingkungan. Metode mengajar merupakan, penyusunan bahan pelajaran yang memungkinkan diterima oleh para siswa dengan lebih efektif. Sesuatu metode tidak pernah terlepas dari bahan pelajaran, kita dapat membedakan cara berbuat, tetapi cara ini hanya ada sebagai cara berhubungan dengan bahan atau materi tertentu. Metode mengajar harus fleksibel dan menimbulkan inisiatif kepada para siswa. Sekolah merupakan suatu lingkungan khusus, bagian dari lingkungan manusia, yang mempunyai peranan dan fungsi khusus. Fungsi-fungsi khusus dari sekolah adalah: 1. Menyediakan lingkungan yang disederhanakan. Tidak mungkin kita memasukkan seluruh peradaban manusia yang sangat kompleks itu ke sekolah. Demikian pula, para siswa tidak mungkin dapat memahami seluruh masyarakat yang sangat kompleks itu. Itulah sebabnya sekolah merupakan masyarakat atau lingkungan hidup manusia yang disederhanakan. 2. Membentuk masyarakat yang akan datang yang lebih baik. Para siswa tidak belajar dari masa lampau, tetapi belajar dari masa sekarang untuk memperbaiki masa yang akan datang.
3. Mencari keseimbangan dari bermacam-macam unsur yang ada di dalam lingkungan. Sekolah mernberi kesempatan kepada setiap individu/siswa untuk memperluas lingkungan hidupnya. Sekolah sebagai lingkungan yang khusus hendaknya memberikan pengarahan sosial, dengan cara mendorong kegiatan-kegiatan yang bersifat intrinsik, dalam suatu arah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, melalui imitasi, persaingan sehat, kerja sama, dan memperkuat kontrol. Dalam sekolah progresif, yaitu sekolah-sekolah yang menerapkan sistem Pendidikan Progresif dari John Dewey, sumber dari kontrol sosial terletak pada sifat kegiatannya yang berisikan kerja sama sosial. Di dalam kerja sama sosial ini, setiap siswa mempunyai kesempatan untuk memberikan sumbangan dan untuk memikul tanggung jawab. Sekolah dan kelas diciptakan sebagai suatu organisasi sosial. Di dalam organisasi sosial itu setiap siswa mempunyai kesempatan untuk memberikan sumbangan, melakukan kegiatan-kegiatan, berpartisipasi, semuanya itu merupakan control social. Di dalam kontrol sosial ini tidak ada peraturan umum, sebab kontrol sosial tidak datang dari luar, tetapi timbul dari kegiatannya sendiri. Tugas guru adalah memberikan bimbingan dan mengusahakan kerja sama secara individual. Para siswa dibagi dalam kelompok-kelompok, dan bekerja dalam kelompok, bahkan guru termasuk sebagai anggota kelompok. Tentu saja sebagai orang dewasa, is mempunyai tanggung jawab yang khusus, yaitu memelihara interaksi dan komunikasi, mendorong kelompok untuk melakukan kegiatan-kegiatan seperti dalam kehidupan masyarakat. Guru bukan atasan, penguasa, apalagi diktator, melainkan sebagai pemimpin dalam kegiatan kelompok.
B. Landasan Psikologis Dalam proses pendidikan terjadi interaksi antar-individu manusia, yaitu antara peserta didik dengan pendidik dan juga antara peserta didik dengan orang- orang yang lainnya. Manusia berbeda dengan makhluk lainnya, karena kondisi psikologisnya. Manusia berbeda dengan benda atau tonaman, karena benda atau tanaman tidak mempunyai aspek psikologis. Manusia juga lain dari binatang, karena kondisi psikologis manusia jauh tinggi tarafnya dan lebih kompleks
dibandingkan dengan binatang. Iterkat kemampuan-kemampuan psikologis yang lebih tinggi dan kompleks inilah sesungguhnya manusia menjadi lebih maju, lebih banyak menii liki kecakapan, pengetahuan, dan keterampilan dibandingkan dengan binatang. Apa yang dimaksud dengan kondisi psikologis itu? Kondisi psikologis merupakan karakteristik psiko-fisik seseorang sebagai individu, yang din yatakan dalani berbagai bentuk perilaku dalani interaksi den gan lingkungannya. Perilaku- perilaku tersebut merupakan manifestasi dari ciri-ciri kehidupannya, baik. yang tampak maupun yang tidak tampak, perilaku kognitif, afektif, dan psikomotor. Kondisi psikologis setiap‘individu berbeda, karena perbedaan tahap perkembangannya, latar belakang sosial-budaya, juga karena perbedaan faktor- faktor yang dibawa dari kelahirannya. Kondisi ini pun berbeda pula bergantung pada konteks, peranan, dan status individu di antara individu- individu yang lainnya. Interaksi yang tercipta dalam situasi pendidikan harus sesuai dengan kondisi psikologis para peserta didik rnaupun kondisi pendidiknya. Interaksi pendidikan di rumah berbeda dengan di sekolah, interaksi antara anak dan guru pada jenjang sekolah dasar berbeda dengan jenjang sekolah lanjutan pertarna dan sekolah lanjutan atas. Peserta didik adalah individu yang sedang berada dalam proses perkembangan. Tugas utama yang sesungguhnya dari para pendidik adalah membantu perkembangan peserta didik secara optimal. Sejak kelahiran sampai menjelang kematian, anak selalu berada dalam proses perkembangan, perkembangan seluruh aspek kehidupannya. Tanpa pendidikan di sekolah, anak tetap berkembang, tetapi dengan pendidikan di sekolah tahap perkembangannya menjadi lebih tinggi dan lebih luas. Apa yang dididikkan dan bagaimana cara mendidiknya, perlu disesuaikan dengan pola-poly perkembangan anak. Karakteristik perilaku individu pada tahap-tahap perkembangan, serta pola-pola perkembangan individu menjadi kajian Psikologi Perkembangan. Perkembangan atau kemajuan-kemajuan yang dialami anak sebagian besar terjadi karena usaha belajar, baik berlangsung melalui proses peniruan, pengingatan, pembiasaan, pemahaman, penerapan, maupun pemecahan masalah. Pendidik atau guru melakukan berbagai upaya, dan menciptakan berbagai
kegiatan dengan dukungan berbagai alat bantu pengajaran agar anak-anak belajar. Cara belajar-mengajar mana yang dapat memberikan hasil secara optimal serta bagaimana proses pelaksanaannya membutuhkan studi yang sistematik dan mendalam. Studi yang demikian merupakan bidang pengkajian dari Psikologi Belajar. Jadi, minimal ada dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum, yaitu Psikologi Perkembangan dan Psikologi Belajar. Keduanya sangat diperlukan, baik di dalam merumuskan tujuan, memilih dan menyusun bahan ajar, memilih dan menerapkan metode pembelajaran serta teknik-teknik penilaian.
1. Psikologi perkembangan Psikologi Perkembangan membahas perkembangan individu sejak masa konsepsi, yaitu masa pertemuan spermatozoid dengan sel telur sampai dengan dewasa.
a. Metode dalam psikologi perkembangan Pengetahuan tentang perkembangan individu diperoleh melalui studi yang bersifat longitudinal, cross sectional, psikoanalitik, sosiologik, atau studi kasus. Studi longitudinal menghimpun informasi tentang perkembangan individu melalui pengamatan dan pengkajian perkembangan sepanjang masa perkembangan, dari saat lahir sampai dengan dewasa, seperti yang pernah dilakukan oleh Williard C. Olson. Metode cross sectional pernah -dilakukan oleh Arnold Gessel. Ia mempelajari beribu-ribu,. anak clan berbagai tingkatan usia, mencatat ciri-ciri fisik dan mental, pola-pola perkembangan dan kemampuan, serta perilaku mereka dilakukan oleh Sigmund Freud beserta para pengikutnya. Studi ini banyak diaralikan mempelajari perkembangan anak pada masa- masa sebelumnya, terutama pada masa kanak-kanak (balita). Menurut mereka, pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa balita ini dapat mengganggu perkembangan pada masa-masa berikutnya. Metode sosiologik digunakan oleh Robert Havighurst. Ia mempelajari perkembangan anak dilihat dari tuntutan akan tugas-tugas yang harus dihadapi dan dilakukan dalam masyarakat. Tuntutan akan
tugas-tugas kehidupan masyarakat ini oleh Havighurst disebut sebagai tugas-tugas perkembangan (developmental tasks). Ada seperangkat tugas-tugas perkembangan yang harus dikuasai individu dalam setiap tahap perkembangan. Metode lain yang sering digunakan untuk mengkaji perkembangan anak adalah studi kasus. Dengan mempelajari kasus-kasus tertentu, para ahli psikologi perkembangan menarik beberapa kesimpulan tentang pola-pola perkembangan anak. Studi demikian pernah dilakukan oleh Jean Piaget tentang perkembangan kognitif anak. Individu apakah itu, anak ataupun orang dewasa merupakan kesatuan jasmani dan rohani yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan menunjukkan karakteristik-karakteristik tertentu yang khas. Individu manusia adalah mesuatu yang sangat kompleks tetapi unik. Ia memiliki banyak aspek Neperti aspek jasmani, intelektual, sosial, emosional, moral, tetapi keseluruhannya membentuk satu kesatuan yang khas. Walaupun individu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah- pisahkan, untuk mempermudah penelitian, biasanya pembahasan dilakukan per aspek perkembangan. Hal itu berarti aspek tertentulah yang mendapatkan sorotan utama, yang menjadi fokus pengkajian, tetapi tidak berarti aspek-aspek lainnya diabaikan. Perkembangan anak adalah perkembangan seluruh aspek kepribadiannya, tetapi tempo dan irama perkembangan masing-masing anak pada setiap aspek tidak selalu sama. Seorang anak mungkin lebih cepat perkembangannya pada tahap tertentu, tetapi lambat pada tahap lainnya, atau perkembangan aspek tertentu lebih cepat dibandingkan dengan aspek lainrtya. Para ahli Psikologi Perkem- bangan tidak selalu mempunyai pendapat yang sama tentang perkem- bangan, baik secara menyeluruh maupun per aspek perkembangan. Hal itu didasari oleh perbedaan asumsi yang menjadi titik tolaknya, atau perbedaan pendekatan yang mereka pakai, populasi yang digunakan, atau aspek perkembangan yang menjadi fokus. Adanya perbedaan- perbedaan tersebut sering menimbulkan kebingungan pada para guru, tetapi justru akan memperluas dan memperkaya pengetahuan para pemakai teori-teori perkembangan anak.
b. Teori perkembangan Dikenal ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan individu, yaitu pendekatan pentahapan (stage approach), pendekatan diferensial (dif- ferential approach), dan pendekatan ipsatif (ipsative approach). Menurut pendekatan pentahapan, perkembangan individu berjalan melalui tahaptahap perkembangan. Setiap tahap perkembangan mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan tahap yang lainnya. Pendekatan diferensial melihat bahwa individu memiliki persamaan dan perbedaan. Atas dasar persamaan dan perbedaan tersebut individu dikategorikan atas kelompok-kelompok yang berbeda. Kita mengenal ada kelompok individu berdasarkan jenis kelamin, ras, agama, status sosial-ekonomi, dan sebagainya. Pengelompokan individu adakalanya juga didasarkan atas kesamaan karakteristiknya. Berkenaan dengan hal itu dikenal pengelompokan yang bersifat bipolar, seperti: Introvert-- ekstravert Dominan-- submisif agresif --pasif aktivitas tinggi-- aktivitas rendah kholerik –melanholik
Kedua pendekatan tersebut berusaha untuk menarik atau membuat generalisasi yang berlaku untuk semua individu. Apakah dalam kenyataannya demikian? Dalam kenyataan seringkali ditemukan adanya sifatsifat individual, yang hanya dimiliki oleh seorang individu dan tidak dimiliki oleh yang lainnya. Pendekatan yang berusaha melihat karakteristik individu-individu inilah yang dikelompokkan sebagai pendekatan isaptif. Dari tiga pendekatan itu yang banyak dianut oleh para ahli Psikologi Perkembangan adalah pendekatan pentahapan. Pendekatan ini lebih disenangi karena lebih jelas menggambarkan proses ataupun.urutan perkembangan dan kemajuan individu. Di samping ketiga pendekatan itu, ada beberapa ahli yang mengombinasikan suatu pendekatan dengan pendekatan yang lain. Kombinasi ini sering dipandang dapat memperlengkap deskripsi tentang perkembangan individu.
Dalam pendekatan pentahapan, dikenal dua variasi. Pertama, pendekatan yang bersifat menyeluruh rnencakup segala segi perkembangan, seperti perkembangan fisik dan gerakan motorik, sosial, intelektual, moral, emosional, religi, dan sebagainya. Kedua, pendekatan yang bersifat khusus mendeskripsikan salah satu segi atau aspek perkembangan saja. Dalam pentahapan yang bersifat menyeluruh dikenal tahap-tahap perkembangan dari Jean Jacques Rousseau, G. Stanley Hall, Havighurst dan lain-lain. Rousseau membagi seluruh masa perkembangan anak a tas empat tahap perkembangan. Masa bayi (infancy), usia 0-2 tahun merupakan tahap perkembangan fisik, menurut Rousseau sebagai binatang yang sehat. Masa anak (childhood), usia 2-12 tahun, masa perkembangan sebagai manusia primitif. Masa remaja awal (pubescence), usia 12-15 tahun, masa bertualang yang ditandai dengan perkembangan intelektual dan kemampuan nalar yang pesat. Masa remaja (adolescene), usia 15-25 tahun masa hidup sebagai manusia yang beradab, masa pertumbuhan seksual, sosial, moral, dan kata hati. Stanley Hall adalah salah seorang ahli Psikologi Perkembangan penganut teori evolusi. Hall menerapkan teori rekapitulasi, salah satu konsep dalam teori evolusi, pada perkembangan anak. Menurut teori rekapitulasi, perkembangan individu merupakan rekapitulasi dari perkembangan spesiesnya (ontogeny recapitulates philogeny). Hall membagi keseluruhan masa perkembangan anak atas empat tahap. Masa kanakkanak (infancy), usia 0-4 tahun, merupakan masa kehidupan sebagai 1,matang melata dan berjalan. Masa anak (childhood), usia 4-8 tahun, masa pemburu. Masa Puer (youth), usia 8-12 tahun, masa manusia belum beradab. Masa remaja (adolescence), usia 12/13 tahun sampai dewasa, iiierupakan masa manusia beradab. Robert J. Havighurst menyusun fase-fase perkembangan atas dasar problema-problema yang harus dipecahkannya dalam setiap fase. Tuntutan akan kemampuan memecahkan problema dalam setiap fase perkembangan ini oleh Havighurst disebutnya sebagai tugas-tugas perkembangan (devel- opmental tasks). Havighurst membagi seluruh masa perkembangan anak atas lima fase, yaitu masa bayi (infancy) dari 0-1/2 tahun, masa anak awal (early childhood) 2/3- 5/7 tahun, masa anak (late chilhood) dari 5 / 7-masa pubesen, masa adolesen awal
(early adolescence) dari pubesen ke pubertas, dan masa adolesen (late adolescence) dari masa pubertas sampai dewasa. Untuk setiap fase, perkembangan Havighurst menghimpun sejumlah tugas-tugas perkembangan yang harus dikuasai anak. Dikuasai atau tidak dikuasainya tugas-tugas perkembangan pada suatu fase berpengaruh bagi penguasaan tugas pada fase-fase berikutnya. Ada sepuluh kelompok tugas perkembangan yang harus dikuasai anak pada setiap fase yang membentuk pola, yaitu pola: 1. kebergantungan-keberdirisendirian, 2. memberi-menerima kasih sayang, 3. hubungan sosial, 4. perkembangan kata hati, 5. peran bio-sosio dan psikologis, 6. penyesuaian dengan perubahan badan, 7. penguasaan perubahan badan dan motorik, 8. belajar memahami dan mengontrol lingkungan fisik, 9. pengembangan kemampuan konseptual dan sistem simbol, 10. kemampuan melihat hubungan dengan alam semesta. Dalam pendekatan pentahapan yang bersifat khusus, kita mengenal pentahapan- pentahapan dari Piaget, Kohlberg, Erikson, dan sebagainya. Jean Piaget mengemukakan tahap-tahap perkembangan dari kemam- puan kognitif anak. Dalam perkembangan kognitif menurut Piaget, yang terpenting adalah penguasaan dan kategori konsep-konsep. Melalui penguasaan konsep- konsep itu, anak mengenal lingkungan dan memecahkan berbagai problema yang dihadapi dalam kehidupannya. Ada empat tahap perkembangan kognitif anak menurut konsep Piaget, yaitu: 1. tahap Sensorimotor, usia 0-2 tahun; 2. tahap Praopersional, usia 2-4 tahun; 3. tahap Konkret Operasional, usia 7-11 tahun; 4. tahap Formal Operasional, usia 11-15 tahun. Tahap Sensorimotor disebut juga masa descriminating and labeling. Pada masa ini kemampuan anak terbatas pada gerak-gerak refleks, bahasa awal, waktu
sekarang, dan ruang yang dekat saja. Masa praoperasional atau prakonseptual disebut juga masa intuitif dengan kemampuan menerima perangsang yang terbatas. Anak mulai berkembang kemampuan bahasanya, pemikirannya masih statis dan belum dapat berpikir abstrak, persepsi waktu dan tempat masih terbatas. Masa konkret operasional disebut juga masa performing operation. Pada tahap ini anak sudah mampu menyelesaikan tugas-tugas menggabungkan, memisahkan, menyusun, menderetkan, melipat, dan membagi. Masa formal operasional disebut juga masa proportional thinking, pada masa ini anak sudah mampu berpikir tingkat tinggi. Mereka sudah mampu berpikir secara deduktif, induktif, menganalisis, menyintesis, mampu berpikir abstrak dan berpikir reflektif, serta memecahkan berbagai masalah. Lawrence Kohlberg mengembangkan suatu teori tentang perkembangan moral kognitif dengan mengacu kepada teori Piaget. Berdasarkan atas hasil-hasil penelitiannya yang cukup lama, Kohlberg menemukan ada tiga tahap perkembangan moral kognitif. Masing-masing tahap terdiri atas dua tingkatan sehingga seluruhnya meliputi enam tingkatan, yaitu: Tahap I Preconventional moral reasoning Tingkat 1. Obedience and punishment orientations Tingkat 2. Naively egoistic orientation Tahap II Conventional moral reasoning Tingkat 3. Good boy orientation Tingkat 4. Authority and social order maintenance orientation Tahap III Postconventional moral reasoning Tingkat 5. Contractual legalistic orientation Tingkat 6. Conscience or principle orientation Pada tahap prakonvensional, pertimbangan moral seseorang mengacu ke luar, kepada objek-objek dan peristiwa yang konkret dan bersifat fisik. Mereka belum mampu memberi pertimbangan moral atas standar sosial. Tingkat keputusan dan hukuman (obedience and punishment orientation) diwarnai oleh kecenderungan berbuat baik atau tidak berbuat salah karena takut akan hukuman. Acuan perbuatan adalah kekuasaan dan kekuatan. Mereka patuh karena takut dihukum, segala perbuatannya dikontrol oleh kekuatan-kekuasaan yang datang
dari luar. Tingkat kebaikan sebagai alat (naively egoitistic orientation) suatu perbuatan dipandang baik apabila menguntungkan atau memberi kesenangan kepada dirinya atau orang-orang yang dekat dengan dirinya. Tahap kedua adalah pertimbangan moral konvensional. Pada tahap ini perilaku dinilai atas harapan orang lain atau orang banyak. Suatu perbuatan dipandang baik apabila sesuai dengan harapan orang banyak atau masyarakat. Tahap ini meliputi dua tingkat, yaitu tingkat sebagai anak baik dan tingkat memelihara ketertiban dan peraturan masyarakat. Tingkat anak/orang baik, perilaku baik, atau jahat dilihat dari penilaian orang lain. Kalau seseorang berbuat untuk kepentingan orang lain atau orang banyak, dinilai sebagai perbuatan baik. Tingkat keempat memelihara ketertiban dan peraturan masyarakat, suatu perbuatan dipandang baik bila perbuatan lersebut sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang ada dalam masyarakat, atau sejalan dengan tuntutan dan kebiasaan masyarakat. Tahap ketiga, pertimbangan moral pascakonvensi. Pada tahap ini pertimbangan moral didasarkan atas pandangan yang bersifat relatif, unsur-unsur subjektif dari aturan sosial. Pranata dan aturan-aturan sosial bukan sesuatu yang absolut, bukan satu-satunya yang benar, tetapi juga ada kebenaran-kebenaran lain. Tahap pascakonvensi mempunyai dua Inigkatan, yaitu tingkat pertimbangan legalistik kontraktual, dan tingkat pertimbangan kata hati. Pada tingkat legalistik kontraktual, pertimbangan perbuatan baik atau jahat didasarkan atas persetujuan tidak tertulis antara pribadi dan masyarakat. Seseorang tidak mencuri karena perbuatan mencuri akan merugikan orang lain. Pada tingkat pertimbangan kata hati, baik tidak baik didasarkan atas nilai-nilai yang bersifat universal, prinsip- prinsip yang mendasar. Seseorang menghargai orang lain betul-betul sebagai manusia, tanpa mehhat atribut-atribut yang disandangnya, apakah karena gelar, pangkat, status ilmu, ekonomi, sosial, dan sebagainya. Seseorang berbuat baik karena dia yakin bahwa perbuatan tersebut baik. Erick Homburger Erikson merupakan salah seorang tokoh psiko- analisis pengikut Sigmund Freud. Ia memusatkan studinya terhadap perkembangan psikososial. Ada delapan tahap perkembangan psikososial menurut Erikson, dan
tahap-tahap tersebut paralel dengan tahap perkembangan psikososial dari Freud, seperti dapat dilihat pada Bagan 3.1
BAGAN 3. Perkembangan psikososial (Diadaptasi dari Erikson, 1959, hlm. 166) PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL
2. Psikologi belajar Psikologi belajar merupakan suatu studi tentang bagaimana individu belajar. Banyak sekali definisi tentang belajar. Secara sederhana, belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku yang terjadi melalui pengalaman. Segala perubahan tingkah laku balk yang berbentuk kognitif, afektif, maupun psikomotor dan terjadi karena proses pengalaman dapat dikategorikan sebagai perilaku belajar. Peruhahan-perubahan perilaku yang terjadi karena instink atau karena kematangan serta pengaruh hal-hal yang bersifat kimiawi tidak termasuk belajar. Menurut Gagne (1965, hlm. 5) perubahan tersebut berkenaan dengan disposisi atau kapabilitas individu, "Learning is a change in human disposition or capability, which can be retained, and which is not simply ascribable to the pro- cess of growth. Hilgard dan Bower menambahkan bahwa peruhahan itu terjadi
karena individu berinteraksi dengan lingkungannya, sebagai reaksi terhadap situasi yang diliadapinya. Menurut mereka belajar adalah : The process by which an activity originates or is changed throught reacting to an encountered situation, provided that the characteristics of the change in activity cannot be explaned on the basis of native response tendecies, maturation, or temporary states of the organism (e.g. fatigue, drug etc.) (Iiilgard dan Bower, 1966, hlm. 2). Masih banyak definisi tentang belajar dan definisi-definisi tersebut bersumber pada teori-teori belajar tententu. Menurut Morris L. Bigge dan Maurice P. Hunt (1980, hlm. 226-227) ada tiga keluarga atau rumpun teori belajar, yaitu teori disiplin mental, behaviorisme, dan Cognitive Gestalt Field. Menurut rumpun teori disiplin mental dari kelahirannya atau secara herediter, anak telah memiliki potensi-potensi tertentu. Belajar merupakan upaya untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut. Ada beberapa teori yang termasuk rumpun disiplin mental yaitu: disiplin mental theistik, disiplin mental humanistik, naturalisme, dan apersepsi. Teori disiplin mental theistik berasal dari Psikologi Daya. Menurut teori ini individu atau anak mempunyai sejumlah daya mental seperti daya untuk mengamati, menanggap, mengingat, berpikir, memecahkan masalah, clan sebagainya. Belajar merupakan proses melatih daya-daya tersebut. Kalau daya- daya tersebut terlatih maka dengan mudah dapat digunakan untuk menghadapi atau memecahkan berbagai masalah. Teori disiplin mental humanistik bersumber pada psikologi humanisme klasik dari Plato dan Aristoteles. Teori ini hampir sama dengan teori pertama bahwa anak memiliki potensi-potensi. Potentsi-potensi perlu d ilatih agar berkembang. Perbedaannya dengan teori disiplin mental IIu teori tersebut menekankan bagian-bagian, latihan bagian, atau aspek tertentu. Teori disiplin mental humanistik lebih menekankan keseluruhan, keutuhan. Pendidikannya menekankan pendidikan umum (Neneml education). Kalau seseorang menguasai hal-hal yang bersifat umum okan mudah ditransfer atau diaplikasikan kepada hal- hal lain yang bersifat khusus.
Teori naturalisme atau natural unfoldment atau self actualization. Teori ini berpangkal dari Psikologi Naturalisme Romantik dengan tokoh utamanya Jean Jacques Rousseau. Sama dengan kedua teori sebelumnya bahwa anak mempunyai sejumlah potensi atau kemampuan. Kelebihan dari teori ini adalah mereka berasumsi bahwa individu bukan saja mempunyai potensi atau kemampuan untuk berbuat atau melakukan berbagai tugas, tetapi juga memiliki kemauan dan kemampuan untuk belajar dan berkembang sendiri. Agar anak dapat berkembang dan mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya pendidik atau guru perlu menciptakan situasi yang permisif yang jelas. Melalui situasi demikian, ia dapat belajar sendiri dan mencapai perkembangan secara optimal. Teori belajar yang keempat adalah teori apersepsi, disebut juga Herbartisme, bersumber pada Psikologi Strukturalisme dengan tokoh utamanya Herbart. Menurut aliran ini belajar adalah membentuk massa apersepsi. Anak mempunyai kemampuan untuk mempelajari sesuatu. Hasil dari suatu perbuatan belajar disimpan dan membentuk suatu massa apersepsi, dan massa apersepsi ini digunakan untuk mempelajari atau menguasai pengetahuan selanjutnya. Demikian seterusnya semakin tinggi perkembangan anak, semakin tinggi pula massa apersepsinya. Rumpun atau kelompok teori belajar yang kedua adalah Behaviorisme yang biasa juga disebut S-R Stimulus-Respons. Kelompok ini mencakup tiga teori yaitu S-R Bond, Conditioning, dan Reinforcement. Kelompok teori ini berangkat dari asumsi bahwa anak atau individu tidak memiliki/ membawa potensi apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan. Lingkunganlah, apakah lingkungan keluarga, sekolah, atau masyarakat; lingkungan manusia, alam, budaya, religi yang membentuknya. Kelompok teori ini tidak mengakui sesuatu yang bersifat mental. Perkembangan anak menyangkut nyata yang dapat dilihat, diamati. Teori S-R Bond (Stimulus-Responce) bersumber dari Psikologi Koneksio- nisme atau teori asosiasi dan merupakan teori pertama dari rumpun Behaviorisme. Menurut konsep mereka, kehidupan ini tunduk kepada hukum stimulus-respons atau aksi-reaksi. Setangkai bunga dapat merupakan suatu stimulus dan direspons oleh mata dengan cara meliriknya. Kesan indah yang diterima individu dapat
merupakan stimulus yang mengakibatkan terespons memetik bunga tersebut. Demikian halnya dengan belajar, terdiri atas rentetan hubungan stimulus respons. Belajar adalah upaya untuk membentuk hubungan stimulus respons sebanyak- banyaknya. Tokoh utama teori ini adalah Edward L. Thorndike. Ada tiga hukum belajar yang sangat terkenal dari Thorndike, yaitu Law of readness, law of exercise or repetition dan law of effect (Bigge dan Thurst, 1980, hlm. 273). Menurut hukum kesiapan, hubungan antara stimulus dan respons akan terbentuk atau mudah terbentuk apabila telah ada kesiapan pada sistem syaraf individu. Selanjutnya, hukum latihan atau pengulangan, hubungan antara stimulus dan respons akan terbentuk apabila sering dilatih atau diulang-ulang. Menurut hukum akibat (law of effect), hubungan stimulus dan respons akan terjadi apabila ada akibat yang menyenangkan. Teori kedua dari rumpun behaviorisme adalah conditioning atau stimulus- responce with conditioning. Tokoh utama teori ini adalah Watson, terkenal dengan percobaan conditioning pada anjing. Belajar atau pembentukan hubungan antara stimulus dan respons perlu dibantu dengan kondisi tertentu. Sebelum anak- anak masuk kelas dibunyikan bel, demikian terjadi setiap hari dan setiap saat pertukaran jam pelajaran. Bunyi bel menjadi kondisi bagi anak sebagai tanda memulai pelajaran di sekolah. demikian juga dengan waktu makan pagi, siang, dan makan malam. Teori ketiga adalah reinforcement dengan tokoh utamanya C.L. Hull. Teori ini berkembang dari teori psikologi, reinforcement, merupakan perkembangan lebih lanjut dari teori S-R Bond dan conditioning. Kalau pada teori conditioning, kondisi diberikan pada stimulus, maka pada reinforcement kondisi diberikan pada respons. Karena anak belajar sungguh-sungguh (stimulus) selain is menguasai apa yang dipelajarinya (respons) maka guru memberi angka tinggi, pujian, mungkin juga hadiah. Angka tinggi, pujian dan hadiah merupakan reinforcement, supaya pada kegiatan belajarnya akan Iebih giat dan sungguh-sungguh. Di dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali contoh reinforcement kita temukan seperti pemberian pujian, hadiah, bonus, insentif, piala, medali, piagam penghargaan, kalpataru, adipura, serta lencana sampai dengan parasamya, dan bintang mahaputra. Di samping reinforcement positif seperti itu dikenal pula
reinforcement negatif untuk mencegah atau menghilangkan suatu perbuatan yang kurang baik atau tidak disetujui masyarakat. Contoh reinforcement negatif adalah: peringatan, teguran, ancaman, sanksi, litikuman, pemotongan gaji, penundaan kenaikan pangkat, dan sebagainya. Rumpun ketiga adalah Cognitive Gestalt Field. Teori belajar pertama dari rumpun ini adalah teori insight. Aliran ini bersumber dari Psikologi Gestalt Held. Menurut mereka belajar adalah proses mengembangkan insight atau pemahaman baru atau mengubah pemahaman lama. Pemahaman terjadi .ipabila individu menemukan cara baru dalam menggunakan unsur-unsur .1ng ada dalam lingkungan, termasuk struktur tubuhnya sendiri. Gestalt Field melihat bahwa belajar itu merupakan perbuatan yang bertujuan, riksploratif, imajinatif, dan kreatif. Pemahaman atau insight merupakan citra 11.1ri atau perasaan tentang pola-pola atau hubungan. To state it differently, insight is the sensed way through or solution of a prob- lematic situation.... We might say that an insight is a kind of intelligent feel we get about a situation that permits us to continue to strive actively to serve our purposes. (Bigge dan Hunt, 1980, hlm. 293). Teori belajar Goal Insight berkembang dari psikologi configurationlism. Menurut mereka, individu selalu berinteraksi dengan lingkungan. Perbuatan individu selalu bertujuan, diarahkan kepada pembentukan hubungan dengan lingkungan. Belajar merupakan usaha untuk mengembangkan pemahaman tingkat tinggi. Pemahaman yang bermutu tinggi (tingkat tinggi) adalah pemahaman yang telah teruji, yang berisi kecakapan menggunakan suatu objek, fakta, proses, ataupun ide dalam berbagai situasi. Pemahaman tingkat tinggi memungkinkan seseorang bertindak inteligen, berwawasan luas, mampu memecahkan berbagai masalah. Teori belajar cognitive field bersumber pada psikologi lapangan (field psikology), dengan tokoh utamanya Kurt Lewin. Individu selalu berada dalam suatu lapangan psikologis yang oleh Lewin disebut life space. Dalam lapangan ini selalu ada tujuan yang ingin dicapai, ada motif yang ilit•iidorong pencapaian tujuan dan ada hambatan-hambatan yang harus diatasi. Perbuatan individu selalu terarah kepada pencapaian sesuatu tujuan, oleh karena itu sering dikatakan
perbuatan individu adalah purposive. Apabila ia telah berhasil mencapai sesuatu tujuan maka timbul tujuan lain yang ingin dicapai dan berada dalam life space baru. Setiap orang berusaha mencapai tingkat perkembangan dan pemahaman yang terbaik, di dalam lapangan psikologisnya masing-masing. Lapangan psikologis terbentuk oleh interelasi yang simultan dari orang-orang dan lingkungan psikologisnya di dalam suatu situasi. Tingkah laku seseorang pada suatu saat merupakan fungsi dari semua faktor yang ada yang saling bergantung pada yang lain. Istilah congnitive berasal dari bahasa Latin "cognoscre" yang berarti 'mengetahui (to know)'. Aspek ini dalam teori belajar cognitive field berkenaan dengan bagaimana individu memahami dirinya dan lingkungannya, bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan pengenalannya serta berbuat terhadap lingkungannya. Bagi penganut cognitive field, belajar merupakan suatu proses interaksi, dalam proses interaksi tersebut ia mendapatkan pemahaman baru atau menemukan struktur kognitif lama. Dalam membimbing proses belajar, guru harus mengerti akan dirinya dan orang lain, sebab dirinya dan orang lain serta lingkungannya merupakan suatu kesatuan.
C. Buku Acuan Have, Micahel J.A. (1972). Understanding School Learning, New York: Harper & Row Pub. Buku ini menguraikan dasar-dasar pemahaman tentang belajar dan bagaimana memperbaiki proses belajar. Pada bagian pertama buku ini diuraikan tentang konsep dan kebutuhan untuk memahami proses belajar, macam-macam belajar dan peranan siswa dalam belajar. Pada bagian berikutnya dijelaskan struktur dan transfer dalam belajar clan perkembangan, fungsi inteligensi dan bahasa dalam perkembangan belajal Selanjutnya diuraikan pula hal-hal yang harus diperhatikan dalam belajar seperti motivasi belajar, relevansi apa yang dipelajari dengan kebutuhaii siswa, cara bertanya dan menjawab serta cara-cara meningkatkan ingatan Pada bagian akhir buku ini, dijelaskan pengajaran berprogram, peranali teknologi dalam belajar serta berbagai upaya guru untuk meningkatkol, hasil belajar.
Hodgkin, R.A. (1976). Bom Curious, New Perspectives in Educational Psychol- ogy. New York, London: John Wiley & Sons.
Yang dibahas dalam tulisan ini adalah suatu pendekatan dari exploration theory, yang bertolak dari pandangan bahwa siswa atau anak adalah aktif dan suka bertanya. Pendekatan ini menolak pandangan pendidikan bahwa anak pasif dan statis. Teori pendidikan menurut pengarang tersumbat dalam tiga disiplin ilmu: filsafat, sosiologi, dan psikologi. Tiga hal tersebut harus disatukan dan kombinasikan menjadi satu. Buku ini berusaha untuk menyatukan ketiganya. Problem dalam pengetahuan inanusia selalu ingin tahu, tetapi teori bersifat statis. Menurut penulis, ada heberapa komponen dari suatu teori yaitu: play, toys, tools, skill, dan simbol. Play merupakan fenomena kehidupan yang sering ditafsirkan sebagai 1,etiadaan daripada keberadaan. Toys merupakan bagian dari kebudayaan ‘ang tetap berada pada taraf play. Play berkembang menjadi skill dan toys I,vrkembang menjadi tools, melalui penggunaan simbol yang konkret dapat iliabstraksi. Ada 4 model yang dapat melancarkan kegiatan belajar, yaitu: interpersonal, enactive, iconic, dan semiotic. Klausmeyer , Herbert J. (1980). Learning and Teaching Concept, a Strategy for Testing Applications of Theory. New York: Academic Press.
Buku ini membahas teori belajar dan perkembangan kognitif, serta bagaimana menyusun suatu model pengajaran yang disesuaikan dengan livrkembangan dan perbedaan individual siswa. Pada bagian pertama hiiku ini diuraikan teori belajar dan perkembangan konsep, meliputi iiuktur kognitif, proses kegiatan mental dalam belajar konsep, transfer thin perluasan konsep, serta motivasi dalam perkembangan belajar konsep. lingian selanjutnya menguraikan penyusunan model pengajaran yang atas perbedaan individual, yang meliputi analisis isi, analisis prilaku, analisis pengajaran, penyusunan pengajaran dan tes. Pada bagian akhir diuraikan cara-cara pelaksanaan dan pengelolaannya.
BAB 4 LANDASAN SOSIAL-BUDAYA, PERKEMBANGAN ILMU DAN TEKNOLOGI DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita ketahui bahwa pendidikan mempersiapkan generasi muda untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat. Anak-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan bagi kehidupan dalam masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya, menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan. Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusiamanusia yang lain dan asing terhadap masyarakatnya, tetapi manusia yang lebih bermutu, mengerti, dan mampu membangun masyarakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi, karakteristik, kekayaan, dan perkembangan masyarakat tersebut.
A. Pendidikan dan Masyarakat Ada tiga sifat penting pendidikan. Pertama, pendidikan mengandung nilai dan memberikan pertimbangan nilai. Hal itu disebabkan karena pendidikan diarahkan pada pengembangan pribadi anak agar sesuai dengan nilai-nilai yang ada dan diharapkan masyarakat. Karena tujuan pendidikan mengandung nilai, maka isi pendidikan harus memuat nilai. Proses pendidikannya juga harus bersifat membina dan mengembangkan nilai. Kedua, pendidikan diarahkan pada kehidupan dalam masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan, tetapi rnenyiapkan anak untuk kehidupan dalam masyarakat. Generasi muda perlu mengenal dan memahami apa yang ada dalam masyarakat, memiliki kecakapan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, baik sebagai warga maupun sebagai
karyawan. Ketiga, pelaksanaan pendidikan dipengaruhi dan didukung oleh lingkungan masyarakat tempat pendidikan itu berlangsung. Kehidupan masyarakat berpengaruh terhadap proses pendidikan, karena pendidikan sangat melekat dengan kehidupan masyarakat. Proses pendidikan merupakan bagian dari proses kehidupan masyarakat. Pelaksanaan pendidikan membutuhkan dukungan dari lingkungan masyarakat, penyediaan fasilitas, personalia, sistem sosial budaya, politik, keamanan, dan lain-lain. Tujuan umum pendidikan sering dirumuskan untuk menyiapkan generasi muda menjadi orang dewasa anggota masyarakat yang mandiri dan produktif. Hal itu merefleksikan konsep adanya tuntutan individual (pribadi) dan sosial dari orang dewasa kepada generasi muda. Tuntutan individual merupakan harapan orang dewasa agar generasi muda dapat mengembangkan pribadinya sendiri, mengembangkan segala potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Tuntutan sosial adalah harapan orang dewasa agar anak mampu bertingkah laku, berbuat dan hidup dengan baik dalam berbagai situasi dan lingkungan masyarakat. Konsep pendidikan bersifat universal, tetapi pelaksanaan pendidikan bersifat lokal, disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Pendidikan dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu berbeda dengan lingkungan masyarakat lain, karena adanya perbedaan sistem sosialbudaya, lingkungan alam, serta sarana dan prasarana yang ada. Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem sosial- budaya yang berbeda. Sistem sosial-budaya ini mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar-anggota masyarakat, antara anggota dan lembaga, serta antara lembaga dan lembaga. Sistem sosial-budaya di daerah perkotaan berbeda dengan di pedesaan, di daerah pesisir berbeda dengan di pegunungan, di pusat perindustrian berbeda dengan di daerah pertanian. Sistem sosial-budaya pada suatu daerah juga berbeda dari suatu periode waktu dengan waktu yang lainnya, karena masyarakatnya berkembang. Salah satu aspek yang cukup penting dalam sistem sosial-budaya adalah tatanan nilai-nilai. Tatanan nilai merupakan seperangkat ketentuan, peraturan, hukum, moral yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut bersumber dari agama, budaya, kehidupan politik,
maupun dari segi-segi kehidupan lainnya. Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga selalu berkembang, dan mungkin pada suatu saat perkembangan begitu drastis, sehingga tidak jarang menimbulkan perbedaan bahkan konflik nilai. Konflik nilai bisa juga diakibatkan adanya perbedaan sudut pandang karena adanya variasi sumber-sumber nilai tersebut. Perbedaan ataupun konflik nilai tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan tatanan yang berakar pada perbedaan pola-pola kebudayaan Menurut Tylor (1871), kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat-istiadat, serta kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Pendidikan merupakan bagian dari kebudayaan. Dalam arti yang lebih mendasar, pendidikan merupakan suatu proses kebudayaan. Setiap generasi manusia menempatkan dirinya dalam urutan sejarah kebudayaan. Menurut Israel Scheffler (1958), melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban masa sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang. Proses pembudayaan tidak dapat berlangsung secara sendirian, melainkan harus dalam interaksi dengan orang lain, interaksi dengan lingkungan. Status dan peranan manusia dalam kelompok, apakah kelompok usia, jenis kelamin, sekolah, pekerjaan, kemasyarakatan, dan lain-lain, menentukan jenis interaksi dan tingkat partisipasinya dalam proses pembudayaan. Kehidupan masyarakat tidak dapat terlepas dari tempat masyarakat itu berada. Masalah tempat menyangkut lingkungan alam dan keadaan geografis. Lingkungan alam dan keadaan geografis mempengaruhi perilaku dan pola hidup para anggota masyarakat. Masyarakat yang hidup di daerah tropis berbeda pola hidupnya dengan di daerah subtropis atau daerah dingin. Demikian juga masyarakat di daerah kepulauan berbeda dengan di daerah daratan, di daerah gurun pasir berbeda dengan di daerah padang rumput atau rawa. Kondisi alam dan geografis mempengaruhi cara hidup, cara berpikir, cara bekerja, cara mempertahankan diri, cara bermasyarakat, dan lain-lain.
Kehidupan masyarakat juga dipengaruhi oleh tingkat kemajuan yang telah dicapainya. Masyarakat yang telah mencapai tingkat kemajuan yang tinggi dalam segi ilmu, teknologi, ekonomi, sosial-budaya, dan segi-segi kehidupan yang lainnya, akan memiliki sistem dan fasilitas yang lebih mapan dibandingkan dengan masyarakat yang kemajuannya rendah. Sistem dan fasilitas yang tersedia akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat.
B. Perkembangan Masyarakat Salah satu ciri dari masyarakat adalah selalu berkembang. Mungkin pada masyarakat tertentu perkembangannya sangat cepat, tetapi pada masyarakat lainnya agak lambat bahkan lambat sekali. Karena adanya pengaruh dari perkembangan teknologi, terutama teknologi industri transportasi, komunikasi, telekomunikasi dan elektronika, masyarakat kita dewasa ini berkembang sangat cepat menuju masyarakat terbuka, masyarakat informasi dan global. Dalam kondisi masyarakat demikian, perubahan-perubahan terjadi dengan cepat, mobilitas manusia dan barang sangat tinggi, komunikasi cepat, lancar, dan akurat. Perubahan yang cepat hampir terjadi dalam semua aspek kehidupan, sosial-budaya, ekonomi, politik, ideologi, nilainilai etik dan estetik. Perubahan- perubahan masyarakat ini akan mempengaruhi perkembangan setiap individu warga masyarakat, mempengaruhi pengetahuan, kecakapan, sikap, aspirasi, minat, semangat, kebiasaan bahkan pola-pola hidup mereka. Mobilitas yang tinggi mempercepat pertemuan antarsuku dan antarbangsa, membuka daerah-daerah yang terisolasi, meningkatkan pemerataan pembangunan. Komunikasi sangat cepat, lancar, dan akurat memudahkan perolehan informasi, yang sangat berharga baik bagi kepentingan bisnis, pemerintahan, penelitian, rekreasi, maupun hobi. Pertemuan antarsuku bangsa, antarbangsa, dan antarras dengan berbagai kebudayaan, kemampuan masyarakat makin sering terjadi. Maka it'rjadilah proses pembauran budaya, tradisi, nilai-nilai, pengetahuan, dan lain-lain malah terjadi pembauran suku, bangsa, atau ras. Di samping pembauran, pertentangan atau konflik antarsektor sosial-budaya adakalanya juga terjadi. Melalui proses alkulturalisasi, pertentangan atau konflik-konflik ini berangsur- angsur berkurang.
1. Perubahan pola pekerjaan Karena pengaruh perkembangan teknologi maka terjadi perubahan yang cukup drastis dalam pola pekerjaan. Masyarakat secara berangsur-angsur, terutama di perkotaan sering terjadi loncatan, berubah dari kehidupan yang berpola agraris ke pola kehidupan industri. Pola kehidupan agraris memiliki kesamaan, hidup yang lebih santai, cara kerja yang teratur, rasa kerja sama yang tinggi, perubahan yang lamban, dan sebagainya. Dalam pola kehidupan masyarakat industri, sifat-sifat yang dimiliki masyarakatnya jauh berbeda. Diversifikasi pekerjaan dan tugas-tugas dalam satu pekerjaan melahirkan spesialisasi yang menuntut profesio- nalisme dalam setiap spesialisasi tersebut. Hal itu mengakibatkan adanya keragaman tugas dan pekerjaan. Tugas-tugas dalam suatu spesialisasi sering tidak dipahami oleh spesialisasi lain. Penerapan teknologi di bidang industri relatif lebih maju dibandingkan di bidang pertanian, dan menuntut profesionalisme yang lebih tinggi pula. Bekerja di bidang industri tidak lagi bergantung pada musim (hujan atau kemarau, panas, atau dingin), bisa bekerja sepanjang masa, malah bisa bekerja siang dan malam. Oleh karena itu, hidup santai telah ditinggalkan, diganti dengan pola kerja keras mengejar target meningkatkan produksi. Dalam bekerja di sektor industri telah ada pembagian tugas masingmasing, menghadapi mesin dan peralatan lain yang berbeda, yang menuntut konsentrasi perhatian dan kegiatan. Oleh karena itu, sifat gotong royong mulai menipis, diganti dengan kerja sama sesuai dengan alur kerja. Penggunaan peralatan berteknologi tinggi tidak menuntut banyak orang, tetapi sedikit orang dengan kemampuan tinggi. Pola padat karya yang dikerjakan secara gotong royong dalam kehidupan agraris telah beralih pada padat teknologi yang dikerjakan secara profesional. Sifat kompetitif, baik dengan sesama karyawan maupun dengan waktu atau prestasi sebelumnya, lebih mewarnai kehidupan dalam masyarakat industri. Dalam pola kehidupan industri perubahan sangat cepat terjadi. Perubahan ini bukan saja karena adanya peralatan baru atau jenis pekerjaan yang baru, tetapi karena dunia industri berorientasi pada pasar. Dengan demikian, strategi, taktik, kebijakan baru yang melahirkan produk dan layanan baru selalu muncul.
2. Perubahan peranan wanita Dewasa ini jumlah wanita yang berpendidikan relatif seimbang dengan dengan pria, sebagai akibat ernansipasi yang membuka kesempatan kepada kaum wanita untuk memperoleh pendidikan. Diperkuat dengan perubahan pandangan tentang kedudukan wanita, wanita tidak lagi hanya bekerja di rumah, mengurus anak dan keluarga seperti pada pola kehidupan lama. Wanita memiliki peluang yang sama dengan pria, bekerja hampir pada seluruh sektor pekerjaan. Keadaan ini membawa beberapa implikasi, baik bagi kehidupan sosial-pribadi para wanita, kehidupan keluarga, maupun dalam situasi kerja. Dengan bekerja di luar rumah, wanita lebih bebas bergerak, berkarya, dan berkreasi dibandingkan apabila hanya bekerja di rumah tangga. Wawasan dan pengetahuan mereka menjadi lebih luas, potensi-potensi yang dimilikinya dapat diwujudkan dan disalurkan. Memang banyak pekerjaan-pekerjaan tertentu yang lebih berhasil bila dikerjakan oleh wanita. Wanita yang bekerja juga dapat menambah penghasilan keluarga, sehingga kesejahteraan ekonomi keluarga menjadi lebih baik. Kehadiran wanita dalam lingkungan kerja juga dapat menimbulkan suasana lain dibandingkan apabila semua karyawannya pria. Di samping sejumlah kebaikan dari para wanita yang bekerja, sejumlah masalah dan kesulitan juga muncul. Masalah pertama berkenaan dengan kehidupan sosial-pribadi wanita. Wanita yang bekerja apabila telah menikah mempunyai tugas ganda, menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan dan tugas-tugas keluarga. Penyelesaian kedua tugas tersebut bukan masalah ringan, membutuhkan pemikiran dan tenaga yang dengan sedikit ketidakmampuan membagi tugas dapat membengkalaikan salah satu tugas, bahkan kedua- duanya. Masalah kedua berkenaan dengan kehidupan keluarga. Wanita betapapun tinggi tingkat pendidikan dan jabatan yang dipegangnya, tidak bisa dilepaskan dari kodratnya sebagai wanita, sebagai istri dan ibu. Sampai batas tertentu masih tetap harus melayani suami, mendidik anak, dan mengatur rumah tangga. Tugas yang banyak menyita waktu, tenaga, dan perhatian dalam pekerjaan atau karier, bagaimanapun akan menelantarkan pelaksanaan tugas-tugasnya dalam rumah tangga. Hal itu bisa mengakibatkan keluarga tidak harmonis, pendidikan anak terbengkalai, kesejahteraan rumah tangga terabaikan, dan mungkin terjadi
perpecahan keluarga (brooken home). Perpecahan keluarga ada dua macam, pecah secara struktur yaitu cerai antara suami dan istri, atau pecah secara lungsi tidak bercerai tetapi masing-masing pihak tidak melaksanakan lungsi yang semestinya. Rumah hanya berfungsi sebagai tempat parkir .1tau lebih parah sebagai tempat bertengkar. Masalah ketiga berkenaan dengan situasi pekerjaan. Pekerjaan atau karier bukan tempat beristirahat, tetapi tempat berkarya, berkreasi, berprestasi, dan berkompetisi. Situasi demikian menuntut sikap, penampilan, pemikiran, dan unjuk kerja yang optimal. Kalau karyawati itu belum berkeluarga atau melepaskan din i dari tugas-tugas rumah tangga, mungkin tuntutan pekerjaan tersebut dapat dipenuhi secara optimal. Bila tidak maka hambatan karier yang akan terjadi. Situasi ini dapat menimbulkan konflik berkepanjangan. Masalah tersebut akan bertambah lagi apabila terjadi situasi-situasi yang tidak sehat atau menyimpang. Bagaimanapun dalam situasi kerja akan terjadi konkurensi, tidak semua pria menerima kedudukan di bawah wanita, apalagi bila latar belakang pendidikan dan kemampuan terasa sama. Dalam lingkungan kerja yang ada wanita dan pria, bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diharapkan, mulai dari pelecehan sampai dengan skandal. Hal ini tentu menimbulkan masalah, baik bagi wanita yang bersangkutan, keluarga, maupun unit kerja.
3. Perubahan kehidupan keluarga Perkembangan kehidupan keluarga sejalan dengan perkembangan masyarakat. Pola kerja masyarakat modern (industri) menuntut waktu kerja yang tidak teratur, melebihi waktu biasa. Dalam masyarakat modern, orang tidak lagi bekerja dari pukul 7.00 sampai pukul 14.00. Walaupun ketentuan sampai pukul 16.00, kenyataannya jam kerja kadang-kadang sampai pukul 22.00 bahkan lebih. Bekerja bukan lagi dari Senin sampai Jumat dan pulang tiap hari, melainkan dari Senin sampai Minggu dan pulang seminggu sekali, bahkan beberapa minggu tidak pulang. Hal seperti itu mungkin hanya dialami oleh para bapak/suami, tetapi mungkin juga dialami oleh para ibu/istri, bahkan oleh kedua-duanya. Dalam keluarga, anak juga mempunyai masalah sendiri. Anak-anak yang belum bersekolah tinggal di rumah bersama pembantu. Mereka lebih banyak
hidup dan bergaul dengan pembantu daripada dengan orang tuanya. Anak yang bersekolah sebagian waktunya digunakan di sekolah, tetapi sebagian besar digunakan di rumah atau di luar rumah dengan teman-temannya. Kesempatan anak remaja di rumah lebih sedikit, umumnya berada di luar rumah untuk menyelesaikan tugas sekolah atau bergaul dengan teman.\ Banyaknya waktu yang digunakan untuk bekerja akan seimbang dengan penghasilan yang diperoleh. Apalagi bila suami dan istri bekerja, penghasilan mereka jauh lebih banyak. Penghasilan tinggi akan meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraan keluarga. Fasilitas keluarga lebih lengkap dan lebih baik, semua kebutuhan hidup terpenuhi, bahkan bisa menabung dan berlibur ke luar kota secara berkala. Di samping memperoleh nilai lebih dari pola kerja pada masyarakat modern, beberapa masalah juga dihadapi dalam kehidupan keluarga. Kesibukan kerja/karier dalam batas-batas wajar memungkinkan anggota keluarga melaksanakan tugasnya dengan baik. Kesibukan di luar batas kewajaran bisa mengorbankan pelaksanaan fungsi-fungsi keluarga. Bapak tidak lagi melaksanakan tugas sebagai kepala keluarga, demikian juga ibu dan anak. Hubungan harmonis antara suami dan istri, komunikasi pedagogis antara orang tua dan anak bisa sangat terbatas, bahkan mungkin hilang. Karena sangat sibuknya setiap anggota keluarga, bisa terjadi rumah hanya berfungsi sebagai tempat parkin Dalam situasi demikian, berbagai masalah keluarga bisa timbul.
C. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Sejak abad pertengahan ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat. Masa setelah abad pertengahan sering disebut zaman modern. Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa ini banyak didasari oleh penemuan dan basil pemikiran para filsuf purba, seperti Thales, Phythagoras, Leucipos, Demokritos, Socrates, Plato, Aristoteles, Euclid, Archimides, Aristarhus yang hidup sebelum Masehi, sampai kepada A1-Khawarizmi yang hidup pada abad ke-9. Perkembangan ilmu pengetahuan modern tidak dapat dilepaskan dari peranan ilmuwan Muslim, seperti dikemukakan Briffault dalam Making of Humanity (dalam C.A. Qodir, 1995 : 2).
Orang Yunani mengadakan sistematisasi, generalisasi, dan menyusun teori, namun ketekunan melakukan pengamatan dan penyelidikan eksperimental yang saksama dan lama bukanlah watak mereka … apa yang kita sebut ilmu pengetahuan muncul sebagai akibat metode eksperimen baru, yang diperkenalkan ke Eropa oleh orang Arab .... Ilmu pengetahuan modern merupakan sumbangan paling penting bagi peradaban Islam. Selama beberapa abad, sampai dengan abad ke-13, pengembangan ilmu pengetahuan didominasi oleh ilmuwan muslim. Dalam bidang geografi dikenal nama Al-Kindi sampai dengan Musa Al-Khawarizmi dan Al-Beruni sebagai penemu geodesi. Ilmu pengetahuan alam dikembangkan oleh Al-Beruni, Al- Kindi, Jabin Ibn Hayan, Ibn Bajjah. Al-Bagdadi adalah ahli botani terkenal. Dalam matematika dikenal Jamshid Al-Kashmi (ahli matematika), A1- Khawarizmi dan Omar Khayyam (Aljabar). Bidang astronomi juga banyak dikembangan ilmuwan muslim di berbagai negara. Salah satu pusat penelitian astronomi terkenal, Observatorium Maragah, didirikan oleh Al-Tusi tahun 1259. Teleskop ditemukan oleh Ibn Yunus jauh sebelum Galileo. Dalam bidang kedokteran, Ibn Sina dan Al-Rani adalah dua tokoh yang sangat terkenal. Dalam bidang anatomi, nama Al-Baydawi tidak dapat dilupakan. Dalam ilmu kimia, Imam Jaffar dan Al-Razi adalah para ilmuwan pengembang pertama ilmu Kimia. Mulai akhir abad ke-13 ada kemunduran dalam mengembangkan ilmu pengetahuan di negara-negara Islam. Setelah perang antara negara-negara Islam dengan negara-negara Eropa, terjadi pergeseran perkembangan ilmu pengetahuan dari Timur Tengah ke Eropa. Sejak awal abad ke-14 sampai dengan akhir abad ke-19 terdapat perkembangan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahuan murni yang begitu pesat. Pada abad ke-20, perkembangan yang sangat pesat terjadi pada ilmu pengetahuan terapan dan teknologi. Perang antara negara Arab dan Eropa pada awal abad ke-14 banyak menimbulkan percampuran dan pertukaran kebudayaan dan ilmu pengetahuan antara Barat dan Timur. Berikut ini adalah beberapa perkembangan besar ilmu pengetahuan pada zaman mi. Copernicus 1473-1543 M, seorang ahli astronomi, mengembangkan lebih jauh prinsip heliocentrisme. Semua planet dan bumi berputar mengelilingi
matahari. Teori Copernicus ini bukan hanya menyangkal teori geocentrisme, juga membalikkan prinsip hornocentrisme dari ajaran agama. Homocentrisme merupakan padangan yang me- nganggap bahwa matahari, bulan, dan bintang- bintang berputar mengelilingi manusia sebagai tanda kasih Tuhan. Semua itu disediakan untuk manusia. Teori Copernicus ini mendapatkan banyak tantangan dari golongan gereja. Tycho Brache (1546-1601), Johannes Keppler (1571-1630), dan Galileo (1546-1642) adalah para ahli astronomi. Mereka banyak dipengaruhi gagasan Copernicus dan melanjutkan gagasan itu. Tycho Brache dalam me- ngamati jalannya bintang-bin tang menggunakan teropong yang besar- besar. la juga membangun observatorium yang dilengkapi alat, perpustakaan, serta pendukung lainnya. Usaha Tycho Brache itu diteruskan oleh Keppler. Dari dua sarjana tersebut banyak temuan baru tentang orbit planet. Galileo menemukan planet, hukum pergerakan, serta tata bulan planet Jupiter. Ia juga berhasil membuat teropong bintang yang lebih sempurna. Selain ahli astronomi, Galileo juga mendalami fisika. Ia banyak mempelajari tentang pergerakan. Temuannya tentang lintasan lengkung diterapkan dalam menentukan lintasan peluru. Dengan demikian, teori lintasan tersebut menjadi bagian ilmu peperangan. Galileo juga banyak mengadakan pengamatan langsung. Fermat (1601-1665) dan Pascal (16234662) adalah ahli matematika dan fisika. Fermat mengembangkan teori Aljabar mengenai bilangan-bilangan, kini terkenal dengan perhitungan diferensial integral (kalkulus). Fermat dan Pascal mengembangkan dasar-dasar statistika (teori kemungkinan). Newton (1643-1727) adalah seorang pujangga besar, ahli matematika, astronomi, dan fisika. Newton banyak menyumbangkan ilmunya bagi per- kembangan ilmu pengetahuan yang hingga sekarang banyak digunakan. Sumbangan terbesarnya adalah teori gravitasi, perhitungan kalkulus (diferensial integral), serta teori cahaya atau optika. Lavoisier (1743-1794) adalah ahli fisika, yang mendasari ilmu kimia. Lavoisier berbeda dengan para ahli lainnya, ia melakukan percobaan dengan cara kuantitatif. Percobaan-percobaan Lavoisier mendasari perkembangan kimia analitik dan kimia organik.
Perkembangan ilmu pengetahuan terus berlangsung, apakah menghasilkan suatu teori/ hukum baru atau menggugurkan teori/hukum yang ada. Einstein (1905-1911) menemukan teori kenisbian, teori relativitas. Dalton (1766-1844) menemukan dasar ilmu kimia yang ditekankan pada teori atom. Henry Becquerel (1852-1908), Curie (1859-1906), dan Thomson 1897 menemukan radium, logam yang dapat berubah menjadi logam lain. Thomson menemukan elektron, yang menggugurkan teori atom sebagai bagian terkecil yang tak dapat dibagi lagi. Dengan penemuanpenemuan tersebut berkembanglah ilmu baru dalam bidang kimia-fisika, yaitu ilmu fisika nuklir. Perkembangan selanjutnya menghasilkan teoriteori baru dalam kenisbian, elektron, dan energi.
D. Perkembangan Teknologi Dari para ahli, kita sering mendengar pernyataan bahwa ilmu bukan hanya untuk ilmu. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa pengembangan suatu ilmu pengetahuan tidak hanya ditujukan kepada perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan juga diharapkan dapai mem herikan sumbangan kepada bidang-bidang kehidupan atau ilmu yang lainnya. Sumbangan yang berupa penggunaan atau penerapan suatu bidang ilmu pengetahuan terhadap bidang- bidang lain disebut teknologi, seperti dinyatakan Kast dan Rosenweig (1962, hlm. 11) Technology is the art of utilizing scientific knowledge, sedangkan menurut Charles Susskind (1973: 1) ... how we do things is technology. Iskandar Alisyahbana (1980, hlm. 1) merumuskan lebih jelas dan lengkap tentang teknologi, Teknologi ialah cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan alat dan akal (hardware dan software) sehingga seakan- akan memperpanjang, memperkuat, atau membuat lebih ampuh anggota tubuh, pancaindera, dan otak manusia. Sebenarnya sejak dahulu, teknologi sudah ada atau manusia sudah menggunakan teknologi. Kalau manusia zaman dulu memecahkan kemiri dengan batu atau memetik buah dengan galah, sesungguhnya mereka sudah menggunakan teknologi yaitu teknologi sederhana. Mengapa manusia menggunakan teknologi,
karena manusia berakal. Dengan akalnya itu ia ingin hidup lebih baik, lebih mudah, lebih aman, lebih sejahtera. Penemuan teknologi pertama yang cukup penting adalah teknologi api. Dengan teknologi ini manusia mendapatkan penerangan pada malam hari, bisa menghangatkan badan, dan mengolah berbagai bahan makanan. Ilerkat api, makanan menjadi lebih lunak, lebih lezat, dan lebih sehat. Ienemuan teknologi api mendasari pengembangan teknologi lain pada masa-masa berikutnya, umpamanya teknologi penerangan, teknologi pemadam kebakaran, teknologi pembuangan asap, dan yang paling penting dan banyak mendasari pengembangan teknologi lebih lanjut adalah teknologi logam. Dengan teknologi api, bijih timah, besi, mangan, lembaga, perak, mas, dan lain-lain, dapat diolah menjadi batangan kemudian diolah lebih lanjut menjadi berbagai alat kebutuhan manusia. pengembangan suatu teknologi sering berdampak negatif, karena itu perlu Iemuan teknologi lain untuk mengatasinya, seperti teknologi untuk mengatasi kebakaran, mengurangi polusi, dan sebagainya. Teknologi penting lain yang ditemukan selanjutnya adalah teknologi pertanian. Dengan teknologi ini, manusia membudidayakan bermacam- macam tanaman dan binatang yang sebelumnya tumbuh liar di alam bebas. Teknologi ini memberikan kesejahteraan kepada manusia karena hasil pertanian lebih banyak dan mudah didapat. Teknologi budidaya ini mampu mengubah pola hidup berpindah-pindah menjadi menetap. Karena manusia hidup menetap, mereka berkumpul, kemudian berkembang tambah banyak, maka terbentuklah masyarakat dengan berbagai aturan dan sistem kehidupan sosial. Perkembangan teknologi lain yang sangat penting dan banyak membawa perkembangan pada teknologi lain adalah teknologi industri. Mulanya teknologi ini berkembang secara individual dalam lingkungan kecil dan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, kemudian berkembang menjadi kongsi ditujukan untuk memenuhi lingkungan yang makin meluas sampai bersekala ekspor. Penemuan-penemuan di bidang ilmu pengetahuan mempercepat pertumbuhan teknologi industri. Perkembangan yang begitu cepat pada beberapa dekade terakhir adalah perkembangan teknologi transportasi, teknologi komunikasi dan informatika, serta
teknologi media cetak. Perkembangan teknologi industri transportasi berkembang pesat, baik transportasi darat, laut, maupun udara. Berbagai jenis alat transportasi yang bermutu tinggi dengan perlengkapan mutakhir telah tersedia, memungkinkan orang dan barang bisa berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dengan mudah dan cepat. Jarak geografis tidak menjadi hambatan lagi untuk hubungan antarorang, antarkelompok, dan antarbangsa. Perkembangan alat transportasi bukan hanya ditujukan untuk mobilitas orang dan barang, melainkan untuk kepentingan penelitian dan penemuan-penemuan teknologi lebih lanjut. Alat transportasi yang banyak mendapat perhatian dari negara-negara maju adalah pesawat angkasa luar. Pengembangan teknologi angkasa luar ini, bukan saja membuktikan bahwa manusia bisa ke luar dari orbit bumi, menuju planet lain, tetapi juga bisa menempatkan berbagai satelit untuk memantau apa yang terjadi di bumi dan memperlancar komunikasi antardaerah di bumi. Perkembangan teknologi terbesar dalam pertengahan abad ke-20 berkenaan dengan penjelajahan angkasa luar. Peluncuran Sputnik I tahun 1958 oleh Uni Soviet (sebelum bubar - red) menarik banyak masyarakat dunia, dan merupakan awal babak baru dalam bidang angkasa luar. Program penerbangan angkasa luar Amerika Serikat yang dimulai dengan Mercury 1962, Gemini 1963- 1965, Apollo yang dimulai tahun 1964 berhasil mendaratkan para astronot di bulan. Uni Soviet dengan program Soyus-nya selalu berlomba dengan Amerika Serikat dalam menjelajahi angkasa luar. Eropa Barat juga tak mau kalah dalam pengembangan teknologi angkasa luar, dengan program Arian-nya yang dimotori oleh Perancis. Arian berhasil menempatkan sejumlah satelit negara-negara Eropa dan beberapa negara lain, termasuk Indonesia yang berhasil mengorbitkan Palapa C2 pada tahun 1996 pada posisi yang direncanakan. Setelah berhasil dengan Apollo, Amerika Serikat melaksanakan program Voyager. Voyager mengangkasa sejauh 680 juta kilometer dari bumi dan berhasil mendapatkan data gambar dan bentuk lain dari planet Yupiter. Voyager II yang akan menyusul Voyager I akan meneruskan penerbangan ke Saturnus dan ken-Indian keluar dari tata surya kita. Pada tahun- tahun terakhir, Amerika Serikat mengembangkan program Challenger kemudian Discovery dengan pesawat clang-aliknya walupun pernah mengalami kegagalan,
tetapi basil hasil van); dieapainya luar biasa. Dengan kemajuan teknologi angkasa luar ini, manusia berhasil meneliti planet- planet yang paling jauh bukan dengan renungan atau spekulasi atau peneropongan, melainkan dengan pesawatpesawat yang berawak manusia. Penerbangan angkasa luar bukan hanya ditujukan untuk meneliti planet-planet luar, juga digunakan untuk meneliti dan membuat beberapa peralatan bagi kepentingan bumi. Melalui penggunaan berbagai satelit, diadakan berbagai pengamatan dan penelitiaan tentang bumi. Umpamanya pengamatan dan penelitian daerahdaerah yang mengandung minyak atau bahan-bahan mineral, masalah arus laut, cuaca, dan iklim. Satelit merupakan sarana komunikasi massa, telekomunikasi, dan internet. Temuan-temuan di bidang fisika, kimia, dan matematika mengembangkan teknologi ruang angkasa dan kemiliteran. Perkembangan teknologi di bidang kemiliteran bukan hanya menghasilkan teknologi senjatasenjata biasa, juga teknologi senjata mutakhir, peluru kendali antarbenua, misil, born hidrogen, born nuklir, dan lain-lain, merupakan perkembangan teknologi yang banyak menimbulkan ancaman dan kekhawatiran manusia. Teknologi lain yang perkembangannya sangat cepat pada beberapa dekade terakhir adalah teknologi komunikasi dan informatika. Teknologi ini berkembang sangat pesat berkat temuan-temuan di bidang eletronika. Perkembangan radio dan televisi telah membuka bagian-bagian dunia yang terbelakang menjadi daerah terbuka karena arus informasi. Apa yang terjadi di suatu daerah atau negara, dalam waktu beberapa menit, sudah dapat diketahui oleh orang-orang di bagian dunia lainnya. Selain kemajuan di bidang komuniksi massa, kemajuan bidang telekomunikasi pun mengalami kemajuan yang begitu pesat. Kemajuan di bidang telepon, faksimil, yang dikombinasikan dengan kemajuan di bidang komputer, menghasilkan sistem komunisikasi gaya baru, internet. Dengan komunikasi massa, kita hanya bisa memperoleh informasi yang disiarkan, artinya sangat bergantung pada jam siar. Tetapi dengan internet, jam siar ini hilang. Orang bisa memperoleh hampir semua informasi dari setiap negara tanpa dibatasi waktu. Oleh karena itu, dewasa ini dunia disebut dunia global, sebab dengan perantaraan komunikasi massa dan komunikasi batas-batas pemisah antarnegara dan antar
daerah menjadi hilang. Melalui internet, setiap saat orang bisa masuk, tanpa permisi, ke Library of Congres Amerika Serikat, ke Gedung Putih, bahkan ke Pentagon. Teknologi media cetak, walaupun jangkauan dan kecepatan sebarannya tidak seluas dan secepat komunikasi massa dan telekomunikasi, mempunyai keunggulan sendiri. Penemuan alat-alat cetak modern, dengan kemampuan cetak yang sangat cepat, telah menghasilkan barang cetakan, seperti buku, majalah, dan surat kabar, yang bermutu tinggi. Barang- barang cetakan ini bisa didokumentasikan untuk waktu yang lama, kalau bahannya cukup baik, tahan sampai ratusan tahun. Untuk dokumentasi- dokumentasi yang menggunakan tempat terlalu besar, sekarang ada teknologi microfilm dan microfiche untuk mengecilkannya. Dalam bahasan tentang perkembangan teknologi pada awal bagian ini, banyak dikemukakan contoh-contoh perkembangan teknologi yang berbentuk material. Sesungguhnya teknologi tidak hanya menyangkut halhal material, tetapi juga yang immaterial, konsep, kaidah, pendekatan, sistem kerja, dan pola hubungan. Santoso S. Hamijoyo (1975, hlm. 2) membedakan teknologi tersebut menjadi teknologi jenis hardware, software, dan hubungan antarorang.
1. Transformasi teknologi Pengembangan ilmu dan teknologi tidak berarti harus mencari dan menemukan sendiri serta harus mulai dari awal. Apabila cara itu ditempuh, akan banyak waktu terbuang dan kita akan semakin jauh tertinggal. Cara yang lebih tepat dan memungkinkan untuk mengejar ketinggalan adalah dengan transformasi teknologi. Transformasi teknologi merupakan suatu proses pengalihan, penerapan, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara teratur (B.J. Habibie, 1983). Proses pengalihan tidak berarti mengambil dan menerapkan teknologi, seperti keadaan aslinya di negara yang mengembangkannya, tetapi mencakup juga penyesuaian, modifikasi, dan pengembangannya lebih lanjut. Menurut B.J. Habibie (1983), ada lima prinsip yang menjadi pegangan dalam transformasi teknologi (industri): 1) perlu diselenggarakan pendidikan dan
pelatihan di dalam dan luar negeri untuk menyiapkan para pelaku transformasi; 2) perlu dikembangkan konsep yang jelas dan realistic tentang masyarakat yang akan dibangun serta teknologi-teknologi yang diperlukan untuk mewujudkannya; 3) teknologi hanya dapat dialihkan, diterapkan, dan dikembangkan lebih lanjut jika benar-benar diterapkan; 4) bangsa yang ingin mengembangkan diri secara teknologis harus berusaha sendiri memecahkan setiap masalahnya; 5) pada tahap- tahap awal transformasi, setiap negara harus melindungi perkembangan kemampuan nasionalnya, hingga saat tercapainya kemampuan bersaing secara internasional. Transformasi teknologi tidak bisa dilakukan secara serempak dan langsung pada tahap akhir, disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, dan kemampuan. Ada tiga tahap penting transformasi teknologi menurut B.J. Habibie (1983). Tahap pertama, penggunaan teknologi yang ada digunakan untuk proses nilai tambah produksi barang di pasaran. Teknologi produksi dan manajemen digunakan untuk mengubah bahan baku atau barang setengah jadi menjadi barang-barang yang bernilai jual lebih tinggi. Proses ini disebut proses nilai tambah. Tahap kedua, tahap integrasi teknologi digunakan untuk desain dan produksi barang baru. Pada tahap ini dikembangkan desain dan cetak biru sehingga ada elemen baru, elemen penciptaan. Tahap ketiga, adalah tahap pengembangan teknologi itu sendiri. Dalam tahap ini teknologi-teknologi yang ada dikembangkan lebih lanjut, begitupun teknologi baru. Tahap ini merupakan tahap dilaksanakannya inovasi-inovasi, diciptakannya teknologi untuk komponen produk-produk teknologi terbaik dalam bidang masing-masing. Tahap keempat, adalah tahap pelaksanaan penelitian dasar secara besar- besaran. Tahap ini penting bagi negara-negara berkembang yang menghadapi kendala keuangan, sumber daya manusia, serta sarana dan prasarana. Oleh karena itu, banyak negara berkembang melakukan penelitian dasar melalui perjanjian kerja sama dengan negara-negara maju di bidang ilmu dan teknologi.
2. Perkembangan teknologi di Indonesia Perkembangan teknologi terjadi di mana-mana, asal manusia meng- gunakan alat dan akalnya untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi. Sejak lama teknologi di Indonesia berkembang, tetapi yang dikembangkannya adalah teknologi sederhana. Dalam beberapa hal mungkin dikembangkan teknologi madya, namun jumlahnya masih terbatas. Perkembangan teknologi tinggi yang cukup pesat terjadi pada masa pembangunan, sejak dilaksanakannya Pelita I. Perkembangan teknologi ini diawali dengan diluncurkannya Sistem Komunikasi Satelit Domestik Palapa Al, yang sekarang sudah mencapai generasi C2. Pada mulanya, pemanfaatan satelit ini terbatas pada bidang komunikasi massa dan jangkauannya terbatas pada beberapa wilayah saja. Dewasa ini pemanfaatan satelit tersebut semakin luas, misalnya untuk kepentingan telekomunikasi dan jaringan internet, dengan jangkauan bukan hanya negara-negara ASEAN dan negara-negara di sekitar Indonesia. Perkembangan teknologi yang lebih terencana dan terarah tampaknya dimulai setelah B.J. Habibie menjabat sebagai menteri sekaligus pemikiran pemimpin pengembangan teknologi di Indonesia. Di bawah pimpinan Habibie pengembangan teknologi benar-benar bertolak dari kondisi dan karakteristik wilayah dan kebutuhan pembangunan Indonesia. Pengemkmgan teknologi diarahkan bukan hanya pada kepentingan kemajuan ekonomi, melainkan juga pada kepentingan politik (integritas bangsa), social budaya, serta aspek-aspek lain. Menurut B.J. Habibie (1983), ada delapan wahana transformasi yang menjadi prioritas pengembangan teknologi terutama teknologi industri, yaitu: 1) industri pesavvat terbang, 2) industri maritim dan perkapalan, 3) industri alat-alat transportasi darat, laut, dan udara, 4) industri elektronika dan telekomunikasi, 5) industri energi, 6) industri rekayasa, 7) industri alat- alat dan mesin-mesin pertanian, dan 8) industri pertahanan dan keamanan. Indonesia juga telah memiliki pusat-pusat pengembangan ilmu dan teknologi. Pusat pengembangan terbesar adalah Pusat Pengembangan Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) di Tanggerang, Jawa Barat. Pusat pengembangan ini memiliki bidang dan fasilitas yang sangat lengkap. Ada sejumlah laboratorium yang dimiliki Puspitek, antara lain: laboratorium uji
konstruksi; laboratorium aerodinamika, gas dinamika, dan getaran; laboratorium termodinamika elan propulsi; laboratorium teknologi proses; laboratorium fisika; laboratorium kimia; laboratorium kalibrasi dan instrumentasi; laboratorium energi; laboratorium metalurgi; serta reaktor penelitian serba guna dengan beberapa laboratorium penunjangnya. Untuk pengkajian dan penerapan teknologi, Indonesia mempunyai badan khusus, yaitu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang kepemimpinannya dirangkap oleh Menteri Riset dan Teknologi. Lembaga lain yang juga mengadakan pengkajian tentang ilmu pengetahuan adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jauh sebelum didirikan Puspitek dan BPPT, Indonesia juga memiliki pusat penelitian astronomi di Lembang, Bandung, lebih dikenal dengan nama Peneropong Bintang. Di bidang tenaga atom, Indonesia memiliki dua pusat reaktor atom, yaitu Pusat Reaktor Atom Bandung dan Pusat Reaktor Atom Kartini di Yogyakarta. Perguruan tinggi juga berperan dalam pengkajian dan pengembangan ilmu dan teknologi sebagai realisasi dari salah satu tridharmanya, yaitu dharma penelitian. Walaupun tahap pengembangannya belum sama, fungsi penelitian dan pengembangan pada perguruan tinggi telah berjalan. Ada beberapa perguruan tinggi yang terkemuka dan ada pula perguruan tinggi yang masih miskin dengan penelitian dan pengembangan yang berarti. Beberapa perguruan tinggi yang cukup maju dalam penelitian dan pengembangan adalah Universitas Indonesia untuk bidang kedokteran dan ekonomi; Institut Pertanian Bogor untuk bidang pertanian, kehutanan, dan peternakan; Institut Teknologi Bandung untuk bidang rekayasa dan teknologi; Universitas Padjadjaran, Universitas Gajah Mada, dan Universitas Airlangga untuk bidang ekonomi.
E. Pengaruh Perkembangan Ilmu dan Teknologi Pengaruh perkembangan ilmu dan teknologi cukup luas, meliputi semua aspek kehidupan, politik, ekonomi, sosial, budaya, keagamaan, etika, dan estetika, bahkan keamanan dan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pada bagi.in ini pembahasan dibatasi pada pengaruh perkembangan ilmu pengetalimm din teknologi terhadap kehidupan masyarakat dan pendidikan.
Ada beberapa bidang ilmu dan teknologi yang mempunyai pengaruh yang baik secara langsung maupun tidak langsung, terhadap kehidupan masyarakat. Bidang-bidang tersebut adalah komunikasi, transportasi, mekanisasi industri dan pertanian, serta persenjataan. Komunikasi cukup berkembang pesat di Indonesia dan berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat. Dewasa ini di Indonesia terdapat sejumlah media komunikasi massa yang perkembangannya sudah cukup maju dan dapat menjangkau hampir seluruh pelosok tanah air. Media komunikasi massa tersebut adalah surat kabar, majalah, radio, dan televisi. Di antara keempat media komunikasi massa tersebut yang paling luas jangkauannya adalah radio. Dengan adanya teknologi transistor yang diproduksi secara massal dengan harga yang relatif murah, maka radio transistor telah dapat dimiliki oleh rakyat kecil yang tinggal di daerah terpencil sekalipun. Urutan kedua yang juga cukup luas jangkauannya adalah televisi. Setelah diluncurkannya SKSD Palapa, seluruh kota di Nusantara dapat dijangkau oleh televisi. Sebagian besar ibu kota propinsi telah mempunyai stasiun siaran TV sendiri. Tempat ketiga dan keempat diduduki oleh surat kabar dan majalah. Surat kabar dan majalah belum dapat terserap oleh seluruh lapisan masyarakat di seluruh pelosok tanah air. Hal itu disebabkan karena kemampuan ekonomi serta motif membaca yang masih kurang, di samping masih kurangnya kemampuan membaca serta adanya kendala geografis karena banyak pulau-pulau terpencil. Komunikasi massa terutama melalui radio dan teleyisi mempunyai peranan dan pengaruh yang sangat besar terhadap masyarakat. Hal itu karena kedua media tersebut bukan hanya berfungsi memberikan informasi tetapi juga memberikan hiburan. Melalui situasi hiburan tersebut secara tidak disadari banyak informasi, program dan kegiatan pem- bangunan, mungkin juga konsep-konsep, gagasan- gagasan, nilai-nilai yang terserap oleh masyarakat. Melalui media tersebut, budaya, tradisi, kegiatan, kemajuan dart sebagainya yang telah dicapai oleh suatu golongan masyarakat atau daerah tertentu dapat diketahui oleh masyarakat atau daerah lain. Dengan demikian komunikasi massa dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat, bahkan sampai batas tertentu dapat mengubah sikap masyarakat. Sudah tentu di samping nilai-nilai yang positif, media massa dapat
pula menimbulkan efek negatif. Tentang efek negatif acara TV beberapa ahli dan hasil penelitian menyatakan: banyak orang yang membuang waktunya antara 4-6 jam tiap hari untuk mengikuti semua acara TV; film-film banyak yang mempertunjukkan kejahatan, pembunuhan, perampokan, dan sebagainya, iklan TV dapat menimbulkan penyakit the gimmees terutama pada anak (penyakit merengek ingin dibelikan). Perkembangan teknologi transportasi meningkatkan mutu dan kecepa tan lalu lintas orang dan barang, mempermudah perhubungan baik lokal, antara kota, antara pulau maupun antara negara, menyebabkan terbukanya perhubungan dengan daerah-daerah yang asalnya terpencil. Pembukaan perhubungan tersebut dapat memperlancar arus perdagangan dan meningkatkan mobilitas penduduk. Kelancaran arus perdagangan berarti barang-barang hasil bumi dari desa dapat dengan segera dikirimkan dan dijual ke kota, dan sebaliknya penduduk desa juga dapat dengan mudah mendapatkan barang-barang hasil industri. Mobilitas penduduk memungkinkan terjadinya akulturasi, terutama penduduk desa dengan cara-cara dan kehidupan orang-orang kota. Mobilitas penduduk atau masyarakat bukan hanya dari desa ke kota tetapi juga dari kota atau daerah yang satu ke kota atau daerah yang lain atau dari pulau yang satu ke pulau yang lain. Hal itu, juga akan memberikan sumbangan dalam pembentukan persatuan nasional, menghilangkan kesukuan, kedaerahan ataupun sikap eksklusivisme. Perkembangan transportasi juga dapat memberi beberapa efek sampingan di antaranya: daerah-daerah pedesaan lebih konsumtif terhadap barang-barang hasil industri, memperbesar terjadinya urbanisasi, masuknya kebiasaan, cara-cara hidup, norma-norma kota yang belum tentu sesuai dengan kehidupan di desa (menggeser kebiasaan desa yang baik), naiknya harga-harga produksi desa di desanya. Perkembangan teknologi di bidang pertanian belum sepesat bidang industri, namun dampaknya terhadap peningkatan produksi dan kesejahteraan para petani telah dirasakan. Ada beberapa hambatan yang dihadapi dalam penerapan teknologi di bidang pertanian antara lain: terutama di Pulau Jawa tidak banyak lahan pertanian yang luas, pemilikan lahan pertanian yang sempit yang kurang menguntungkan bila diolah secara mekanis, keadaan alam yang banyak
bergunung-gunung atau berawa-rawa, kemampuan permodalan dan pengelolaan, pemasaran hasil pertanian dan sebagainya. Meskipun demikian, pemerintah telah berusaha mengembangkan teknologi tepat guna di bidang pertanian, untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Beberapa pertanian besar seperti rice estate di Palembang dan lain-lain yang merupakan joint venture sudah menggunakan teknologi maju yang serba mekanik. Penggunaan teknologi maju yang paling banyak adalah di bidang industri, baik industry maupun hilir, industri besar, menengah bahkan industri kecil. Dalam pengembangan teknologi industri ini, kebijaksanaan yang diambil pemerintah tidak hanya diarahkan pada pengembangan teknologi maju, tetapi juga teknologi tepat guna, yang mungkin dapat diterapkan pada industri-industri menengah dan kecil. Walaupun dalam beberapa kasus tidak dapat dihindari terjadinya ketersisihan industri kecil oleh industri besar. Mengenai ketersisihan industri-industri kecil yang menggunakan teknologi tradisional oleh industri-industri besar yang mengginiakan teknologi modern, Filino Harapah (1975, hlm. 8) mengemukakan pandangannya sebagai berikut: Dalam Pelita I kita telah melihat.terjadinya suatu eksperimentasi yang m cukup berani, di mana teknologi modern yang belum kita miliki berada berdampingan dengan teknologi tradisional yang masih terbelakang. Teknologi modern tersebut masih sangat bergantung kepada unsurunsur non-Indonesia. Dalam proses sudah berlangsung, kelihatan bahwa teknologi tradisional bukannya kian meningkat, malahan sebaliknya; seolah-olah terdesak. Bukti-bukti yang memperkuat pengamatan ini adalah terdesaknya pabrik-pabrik rokok gulung (linting), usaha tenun bukan mesin dan perusahaan minuman yang mempergunakan teknologi tradisional sederhana, akibat saingan pabrik yang lebih modern dan unggul teknologinya. Penggunaan teknologi maju dalam industri mempunyai beberapa pengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Sebagai konsumen, masyarakat mempunyai beberapa keuntungan dari industri besar tersebut, yaitu barang-barang cukup banyak tersedia, kualitas barang cukup baik, harga kemungkinan juga sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan produksi pabrik kecil. Masyarakat sebagai sumber tenaga kerja banyak menderita kesulitan dengan adanya industri-industri
teknologi maju tersebut. Suatu pekerjaan yang sebelum menggunakan teknologi maju mungkin membutuhkan 15-20 orang pegawai/buruh maka setelah menggunakan teknologi maju dapat dikerjakan oleh 1 atau 2 orang saja. Dengan demikian dapat memperbesar angka pengangguran. Bagi orang-orang yang secara kebetulan dapat bekerja dengan teknologi maju tersebut dapat menikmati keberuntungannya, tetapi sejumlah besar anggota masyarakat yang lain menderita karena tidak mendapat pekerjaan. Mengenai pengangguran atau kesempatan kerja tersebut, M. Ziemek mengemukakan pendapat sebagai berikut: Melihat angka-angka terakhir mengenai kesempatan kerja di Indonesia yang menunjukkan bahwa 30% dari jumlah 44 juta angkatan kerja yang benar- benar, memperoleh kesempatan kerja penuh, jelas bahwa untuk mengurangi jumlah ini secara cukup berarti akan hampir tidak mungkin dicapai dengan jalan mengadakan industrialisasi perekonomian menurut pola di Barat. Pendidikan, juga menda pat pen garuh yang cukup besar dari ilmu dan teknologi. Pendidikan sangat erat hubungan dengan kehidupan sosial, sebab, pendidikan merupakan salah satu aspek sosial. Pendidikan tidak terbatas pada pendidikan formal saja, melainkan juga pendidikan nonformal, sebab pendidikan meliputi segala usaha sendiri atau usaha pihak luar untuk meningkatkan pengetahuan dan kecakapan, memperoleh keterampilan dan membentuk sikap- sikap tertentu. Pada bagian sebelum ini telah diungkapkan bahwa kemajuan di bidang komunikasi massa sangat berpengaruh terhadap pendidikan. Sebab media massa juga merupakan juga media pendidikan. Dengan kata lain, melalui media massa dapat berlangsung proses pendidikan. Baik tayangantayangan yang berbentuk informasi ataupun tayangan yang bersifat hiburan juga mempunyai nilai-nilai pendidikan. Kami kira tidak ada seorang penulis skenario film, sinetron, atau sandiwara TV, ataupun penulis berita atau cerita yang sengaja menulis suatu tema cerita atau tulisan dengan tujuan merusak masyarakat. Meskipun penulis membuat ceritera tentang kejahatan atau kekejaman, namun tujuannya justru menyadarkan masyarakat bahwa perbuatan seperti itu tidak baik, yang jahat pasti dihukum dan sebagainya. Dengan demikian semua acara tersebut sebenarnya mempunyai maksud dan pesan yang positif, namun yang diterima oleh pemirsa tidak selalu
seperti maksud dan pesan tersebut (tidak komunikatif). Sebagai penyebabnya mungkin saja karena adeganadegan yang kurang terpuji tersebut lebih mendominasi dibandingkan degnan adegan-adegan yang mengandung maksud dan pesan luhur. Dari pihak pemirsa kebanyakan lebih memperhatikan adegan- adegan yang ramai daripada mencari makna pesan luhur yang dibawa dengan keramaian tersebut. Bagaimanapun media massa mempunyai fungsi pendidikan. Tiap acara TV atau radio, tiap berita atau tulisan dalam surat kabar atau majalah dapat menambah pengetahuan pendengar, penonton, atau pembacanya, memberikan kecakapan atau keterampilan serta membina sikap tertentu. Dalam hal ini media massa mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan belajar dalam kelas, sebab dalam kelas, belajar berlangsung secara disadari, diperintah dan diuji tetapi melalui media massa belajar terjadi secara tidak sadar, tanpa paksaan atau perintah orang lain dan tidak ada tekanan untuk ulangan atau ujian. Mar'at seorang psikolog dari Unpad mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: "TV mampu mengubah sikap, pandangan, dan perasaan seseorang. Dan yang penting adalah fungsi TV-nya sendiri yang disesuaikan dengan kemampuan masyarakat, sebagai media komunikasi visual dalam meningkatkan pengetahuan, cara berpikir, dan cara menyelesaikan masalah". Segi negatif yang lain dari media TV untuk pendidikan anak selain yang telah diungkapkan terdahulu adalah kecenderungan anak untuk mengadakan peniruan dan identifikasi. Kita mengetahui bahwa anak suka tneniru; dan pada masa tertentu terutama pada awal masa pubertas ada masa anak untuk beridentifikasi dengan tokoh-tokoh pujaan tertentu. Mudah kita pahami bahwa yang menjadi idola anak adalah tokoh-tokoh terkenal atau jagoan-jagoan tertentu. Sering terjadi kalau anak sudah menntio seorang tokoh, apa saja yang dilakukan oleh tokoh tersebut selalu baik. Padahal mungkin saja tidak semua tingkah laku tokoh tersebut baik, apalagi idolanya itu adalah tokoh dalam film-film Barat yang mungkin tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Perkembangan teknologi di bidang industri mempunyai hubungan timbal balik dengan pendidikan. Industri dengan teknologi maju memproduksi berbagai macam alat-alat dan bahan yang secara langsung atau tidak langsung dibutuhkan
dalam pendidikan. Kegiatan pendidikan membutuhkan dukungan dari penggunaan alat-alat hasil industri seperti komputer, televisi, radio, cassete tape recorder, video tape, buku-buku, gambar-gambar, peta, berbagai bentuk alat peraga, alat- alat permainan, alat tulis menulis, alat-alat berhitung, dan sebagainya. Peningkatan pendidikan sangat membutuhkan bantuan hasil-hasil teknologi industri tidak hanya yang bersifat hardware, tetapi juga membutuhkan bantuan penggunaan hasil pengembangan teknologi yang bersifat software. Sudah tentu penggunaan alat-alat hasil industri maju dalam bidang pendidikan, menuntut pengetahuan dan kecakapan gurugurunya. Hal itu berkenaan dengan segi software sebagai hasil pengembangan teknologi. Penggunaan alat-alat belajar yang modern dalam pendidikan akan mempengaruhi proses belajar. Dengan menggunakan alat- alat belajar yang modern anak akan lebih aktif belajar. Aktivitas belajar anak akan bergantung pada metode belajar-mengajar yang digunakan, anak akan lebih aktif dibandingkan dengan kalau hanya menggunakan kapur dan papan tulis saja. Ada segi lain mengenai hubungan antara pendidikan dengan perkembangan teknologi dalam industri. Perkembangan teknologi industri menuntut peningkatan penguasaan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan sumber daya manusianya. Hal itu berarti membuka pekerjaan baru dan juga menuntut keahlian baru yang harus dipersiapkan dalam pendidikan. Untuk menyelenggarakan suatu sekolah kejuruan tertentu dituntut banyak hal. Sekolah kejuruan yang baru menuntut penyediaan guru-guru dalam kejuruan tersebut, menuntut peralatan pendidikan atau latihan yang baru yang mungkin tidak sama dengan peralatan bagi pendidikan atau kejuruan yang telah ada. Sekolah kejuruan yang baru juga mungkin menuntut sistem atau program yang baru, metode mengajar yang baru, sistem penilaian yang baru, dan sebagainya. Dengan perkataan lain perkembangan teknologi dalam industri dapat memberikan tuntutan pembaharuan dalam pendidikan. Telah dibicarakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa beberapa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Beberapa masyarakat terpencil, yang tertutup dengan adanya transportasi dan komunikasi yang luas, berubah menjadi masyarakat yang terbuka dan cukup berkomunikasi dengan daerah-daerah lain. Masyarakat yang pada mulanya hanya konsumtif
terhadap hasil-hasil pertanian telah berubah menjadi masyarakat yang lebih konsumtif terhadap produksi industri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga telah menimbulkan banyak perubahan dalam nilai-nilai, baik nilai sosial, budaya, spiritual, intelektual, maupun material. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga menimbulkan kebutuhan barn, aspirasi baru, sikap hidup baru. Hal-hal di atas menuntut perubahan pada sistem dan isi pendidikan. pendidikan bukan hanya mewariskan nilai-nilai dan hasil kebudayaan lama, tetapi juga mempersiapkan generasi muda agar mampu hidup pada masa kini dan yang akan datang. Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi meyebabkan perkembangan pula pada dunia pendidikan. Pengaruh perkembangan ilmu dan teknologi terhadap pendidikan selain yang bersifat tidak langsung seperti yang telah dikemukakan terdahulu, juga yang bersifat langsung. Perkembangan ilmu dan teknologi bukan hanya yang bentuk hardware tetapi juga software dan hubungan antarmanusia. Sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan lainnya, merupakan tempat pemindahan teknologi yang bersifat software dan hubungan antarmanusia. Di sekolah, perguruan tinggi atau lembaga pendidikan lainnya, dipelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip, kaidah-kaidah, cara-cara dan pendekatanpendekatan baru, untuk memahami dan memecahkan berbagai persoalan dalam kehidupan di rumah dan di masyarakat, dalam pekerjaan serta dalam hubungan-hubungan yang lebih luas. Hal-hal tersebut juga menuntut selalu adanya perkembangan dari pendidikan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung, maupun tidak langsung menuntut perkembangan pendidikan. Pengaruh langsung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah memberikan isi/materi atau bahan yang akan disampaikan dalam pendidikan. Pengaruh tak langsung adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyebabkan perkembangan masyarakat, dan perkembangan masyarakat menimbulkan problema-problema baru yang menuntut pemecahan dengan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan barn yang dikembangkan dalam pendidikan.
F. Buku Acuan Percipal, Fred & Ellington, Henry. (1984). Handbook of Educational Technology. London: Kogan Page Ltd, dan New York: Nichols Publishing Co. Buku ini merupakan buku dasar tentang teknologi pendidikan, menguraikan aspek-aspek utama teknologi pendidikan dan peranannya dalam tisaha meningkatkan efisiensi dan efektivitas pendid4 Ali Pada liawan 1)1.1.taina blikil ini ditiraikan tentang pengerarahan pendidikan, pendekatan sistem dan sekilas sejarah teknologi pendidikan. Bagian selanjutnya menjelaskan dua pendekatan pendidikan, yaitu yang berpusat pada guru atau institusi dan yang berpusat pada siswa. Peranan dan perumusan tujuan sebagai pusat dan titik tolak dalam penyusunan desain pengajaran yang didasarkan atas pendekatan sistem. juga dikemukakan macam-macam metode mengajar, baik yang bersifat kolas, kelompok ataupun individual. Pada bagian akhir diuraikan evaluasi hasil belajar, media dan sumber-sumber pengajaran, serta kecenderungan perkembangan teknologi pendidikan pada tahun 2000. Unruh, Glenys G. and Alexander, William M. (1970). Innovations in Secondary Education. New York: Holt, Rinerhart and Winston, Inc. Sekolah disadari atau tidak, mempunyai andil di dalam perubahan sosial. Perubahan sosial merupakan suatu keharusan dan sekolah tidak dapat absen dalam proses perubahan tersebut. Agar tanggap dan dapat selalu mengikuti perubahan- perubahan sosial, maka sekolah pun harus mengadakan inovasi. Inovasi itu bermacam-macam. Yang menjadi inti pembahasan dalam buku ini adalah inovasi dalam pendidikan di sekolah yang diarahkan pada peningkatan efektivitas pendidikan. Secara sistematis dalam buku ini dibahas; faktor-faktor yang mendorong inovasi bagi perkembangan pendidikan. Selanjutnya kegiatan inovasi berkenaan dengan komponen siswa, kurikulum, organisasi, staf pengajar, sarana, media serta bangunan. Pada bagian terakhir diuraikan proses inovasi dan perkembangannya serta berbagai pendekatan dalam inovasi pendidikan. Buku ini sangat bermanfaat bagi para perencana pendidikan, ahli kurikulum serta pelaksana pendidikan terutama kepala sekolah dan guru, sebab dalam tugasnya mereka harus selalu mengadakan inovasi.
Gerlach, Vernon S. et al. (1980). Teaching and Media, A Systematic Approach. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc. Buku ini menguraikan masalah pengajaran dan media dengan pendekatan sistem. Pengajaran harus disusun berdasarkan pada apa yang akan dikerjakan dan pada apa yang akan dihasilkan pada siswa, mau jadi apa siswa. Media merupakan aspek penting dalam pengajaran, akan memperlancar jalannya pengajaran. Dalam buku tersebut sangat ditekankan, bahwa media bukan sekadar alat bantu, tetapi merupakan bagian integral dari pengajaran. Konsep-konsep yang dipaparkan dalam buku ini cukup modern, sebab menempatkan anak pada tempat yang sentral. Selanjutnya dijelaskan dalam buku ini, bahwa pengajaran harus menyatukan ilmu dengan seni mengajar, dan harus dipusatkan pada kebutuhan dan aktivitas siswa. Atas dasar itu pengajaran harus mempunyai tujuan yang spesifik, disusun dengan desain pengajaran yang baik, dan diadakan pemilihan media yang tepat. Guru memegang peranan yang besar dalam pengajaran, is adalah perencana pengajaran dan koordinator sumber-sumber belajar. Buku ini sangat berharga bagi para ahli kurikulum, media pengajaran, dan guru-guru serta para mahasiswa calon guru, memberikan pegangan baik dalam pengembangan kurikulum, penyusunan desain pengajaran maupun dalam pemilihan media pengajaran. Bloom, Benyamin S. (1981). All Our Children Learning. New York: Mc Graw Hill Book Co, Inc. Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan makalah yang disampaikan dalam berbagai pertemuan ilmiah. Makalah-makalah tersebut merupakan makalah terbaik atau terpilih yang sengaja dipilih penulis dan disediakan bagi para pendidik, baik orang tua, maupun guru dan para instruktur. Isinya telah tersusun sedemikian rupa sehingga membentuk satu kesatuan pemikiran yang utuh. Dalam buku ini dijelaskan bagaimana pengaruh pendekatan-pendekatan dalam pendidikan terhadap pandangan para ahli pendidikan terhadap sekolah, guru, siswa, belajar, dan pengajaran. Rumah dan sekolah sebagai lembaga pendidikan mempunyai peranan sendirisendiri, tetapi saling mempengaruhi. Anak menjadi fokus pendidikan, semua kegiatan pendidikan harus bertolak dari perkembangan anak.
BAB 5 MACAM-MACAM MODEL KONSEP KURIKULUM
Pada Bab 1 telah ungkapkan empat aliran pendidikan yaitu pendidikan klasik, pribadi, teknologi, dan interaksionis. Empat aliran itu bertolak dari asumsi yang berbeda dan mempunyai pandangan yang berbeda pula lentang kedudukan dan peranan pendidik, peserta didik, isi, maupun proses pendidikan. Empat aliran atau teori pendidikan tersebut memiliki model konsep kurikulum dan praktik pendidikan yang berbeda. Model konsep kurikulum dari teori pendidikan klasik disebut kurikulum subjek akademis, pendidikan pribadi disebut kurikulum humanistik, teknologi pendidikan disebut kurikulum teknologis dan dari pendidikan interaksionis, disebut kurikulum rekonstruksi sosial.
A. Kurikulum Subjek Akademis Model konsep kurikulum ini adalah model yang tertua, sejak sekolah yang pertama berdiri, kurikulumnya mirip dengan tipe ini. Sampai sekarang, %valaupun telah berkembang tipe-tipe lain, umumnya sekolah tidak dapat welepaskan tipe ini. Mengapa demikian? Kurikulum ini sangat praktis, imidah disusun, mudah digabungkan dengan tipe lainnya. Kurikulum subjek akademis bersumber dari pendidikan klasik (perenialisme dan esensialisme) yang berorientasi pada masa lalu. Semua Woo pengetahuan dan nilai-nilai telah ditemukan oleh para pemikir masa lalu. Fungsi pendidikan memelihara dan mewariskan hasil-hasil budaya ilia.,a lalu tersebut. Kurikulum ini lebih mengutamakan isi pendidikan. liciajar adalah berusaha menguasai ilmu sebanyak-banyaknya. Orang yang berhasil dalam belajar adalah orang yang menguasai seluruh atau sebagian besar isi pendidikan yang diberikan atau disiapkan oleh guru. Isi pendidikan diambil dari setiap disiplin ilmu. Sesuai dengan bidang disiplinnya para ahli, masing-masing telah mengembangkan ilmu secara sistematis, logis, dan solid. Para pengembang kurikulum tidak perlu susah- susah menyusun dan mengembangkan bahan sendiri. Mereka tinggal memilih bahan
materi ilmu yang telah dikembangkan para ahli disiplin ilmu, kemudian mereorganisasinya secara sistematis, sesuai dengan tujuan pendidikan dan tahap perkembangan siswa yang akan mempelajarinya. Guru sebagai penyampai bahan ajar memegang peranan penting. Mereka harus menguasai semua pengetahuan yang ada dalam kurikulum. Ia harus menjadi ahli dalam bidang-bidang studi yang diajarkannya. Lebih jauh guru dituntut bukan hanya menguasai materi pendidikan, tetapi ia juga menjadi model bagi para siswanya. Apa yang disampaikan dan cara penyampaiannya harus menjadi bagian dari pribadi guru. Guru adalah yang "digugu dan "ditiru (diikuti dan dicontoh). Karena kurikulum sangat mengutamakan pengetahuan maka pendidikannya lebih bersifat intelektual. Nama-nama mata pelajaran yang menjadi isi kurikulum hampir sama dengan nama disiplin ilmu, seperti bahasa dan sastra, geografi, matematika, ilmu kealaman, sejarah, dan sebagainya. Kurikulum subjek akademis tidak berarti hanya menekankan pada materi yang disampaikan, dalam perkembangannya secara berangsur memperhatikan proses belajar yang dilakukan siswa. Proses belajar yang dipilih sangat bergantung pada segi apa yang dipentingkan dalam materi pelajaran tersebut. Jerome Bruner dalam The Process of Education menyarankan bahwa desain kurikulum hendaknya didasarkan atas struktur disiplin ilmu. Selanjutnya, ia menegaskan bahwa kurikulum suatu mata pelajaran harus didasarkan atas pemahaman yang mendasar yang dapat diperoleh dari prinsip-prinsip yang mendasarinya dan yang memberi struktur kepada suatu disiplin ilmu. Beberapa kegiatan belajar memungkinkan untuk mengadakan generalisasi, suatu pengetahuan dapat digunakan dalam konteks lain daripada sekadar yang dipelajarinya, dapat merangsang ingatan apabila siswa diminta untuk menghubungkannya dengan masalah lain. Seorang siswa yang belajar fisika, umpamanya, harus melakukan kegiatan belajar sebagaimana seorang ahli fisika melakukannya. Hal seperti itu akan mempermudah proses belajar fisika bagi siswa. Penekanan pada segi intelektual ini dianut oleh hampir seluruh proyek pengembangan kurikulum pada tahun 1960-an di sekolah-sekolah negara bagian Amerika Serikat. Para pengembang kurikulum pada masa adalah para ahli mata
pelajaran yang menyusun bahan ajar di sekitar unsur-unsur struktural mendasar dari disiplin ilmunya, menyangkiii problema, konsep-konsep inti, prinsip-prinsip, dan cara-cara bagaimana berinkuiri. Salah satu contoh kurikulum yang berdasarkan atas struktur pengetahuan adalah Man: A Course of Study (MACOS) Macos adalah kurikulum untuk sekolah dasar, terdiri atas buku-buku, film, poster, rekaman, permainan, dan perlengkapan kelas lainnya. Kurikulum ini ditujukan untuk mengadakan penyempurnaan tentang pengajaran ilmu sosial dan humanitas, dengan pengarahan dan bimbingan Bruner. Para pengembang kurikulum mengharapkan anak-anak dapat menggali faktor-faktor penting yang akan menjadikan manusia sebagai manusia. Melalui perbandingan dengan binatang, anak mengetahui keadaan biologis manusia. Dengan membandingkan manusia dari suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya, anak-anak akan mempelajari aspek-aspek universal dari kebudayaan manusia. Sasaran utama kurikulum model MACOS adalah perkembangan kemampuan intelektual, yaitu membangkitkan penghargaan dan keyakinan akan kemampuan sendiri dan memberikan serangkaian cara kerja yang memungkinkan anak walaupun dengan cara sederhana mampu menganalisis kehidupan sosial. Melalui serangkaian kegiatan ilmiah seperti observasi, percobaan, penyusunan, dan pengujian hipotesis, pemahaman disiplin ilmu-ilmu sosial, kegiatan diskaveri dan sebagainya, diharapkan anak dapat mengambil banyak manfaat. Pada tahun 1970-an pendekatan struktur pengetahuan dalam pengembangan kurikulum ini mengalami kemunduran, sebab para ahli lebih tertarik pada pemecahan masalah kemanusiaan. Sekurang-kurangnya ada tiga pendekatan dalam perkembangan Kurikulum Subjek Akademis. Pendekatan pertama, melanjutkan penih struktur pengetahuan. Murid-murid belajar ba.gaimana memperoleh dan menguji fakta-fakta dan bukan sekadar mengingat-ingatnya. Pendekatan kedua, adalah studi yang bersifat integratif. Pendekatan ini merupakan respons terhaclap perkembangan masyarakat yang menuntut model- model pengetahuan yang lebih komprehensif-terpadu. Pelajaran tersusun atas
satuan-satuan pelajaran, dalam satuan-satuan pelajaran tersebut batas-batas ilmu menjadi hilang. Pengorganisasian tema-tema pengajaran didasarkan atas fenomena-fenomena alam, proses kerja ilmiah dan problema-problema yang ada. Mereka mengembangkan suatu model kurikulum yang terintegrasi (integrated curriculum). Ada beberapa ciri model kurikulum yang dikembangkan. 1. Menentukan tema-tema yang membentuk satu kesatuan (unifying theme), yang dapat terdiri atas ide atau konsep besar yang dapat mencakup semua ilmu atau suatu proses kerja ilmu, fenomena alam, atau masalah sosial yang membutuhkan pemecahan secara ilmiah. 2. Menyatukan kegiatan belajar dari beberapa disiplin ilmu. Kegiatan belajar melibatkan isi dan proses dari satu atau beberapa ilmu sosial atau perilaku yang mempunyai hubungan dengan tema yang dipilih/ dikerjakan. 3. Menyatukan berbagai cara/metode belajar. Kegiatan belajar ditekankan pada pengalaman konkret yang bertolak dari minat dan kebutuhan murid serta disesuaikan dengan keadaan setempat. Pendekatan ketiga, adalah pendekatan yang dilaksanakan pada sekolah- sekolah fundamentalis. Mereka tetap mengajar berdasarkan matamata pelajaran dengan menekankan membaca, menulis, dan memecahkan masalah-masalah matematis. Pelajaran-pelajaran lain seperti ilmu kealaman, ilmu sosial, dan lain- lain dipelajari tanpa dihubungkan dengan kebutuhan praktis pemecahan masalah dalam kehidupan. 1. Ciri-ciri kurikulum subjek akademis Kurikulum subjek akademis mempunyai beberapa ciri berkenaan dengan tujuan, metode, organisasi isi, dan evaluasi. Tujuan kurikulum subjek akademis adalah pemberian pengetahuan yang solid serta melatih para siswa menggunakan ide-ide dan proses "penelitian". Dengan berpengetahuan dalam berbagai disiplin ilmu, para siswa diharapkan memiliki konsep-konsep dan cara-cara yang dapat terus dikembangkan dalam masyarakat yang lebih luas. Para siswa harus belajar menggunakan pemikiran dan dapat mengontrol dorongan-dorongannya. Sekolah harus memberikan kesempatan kepada para siswa untuk merealisasikan kemampuan mereka menguasai warisan budaya dan jika mungkin memperkayanya.
Metode yang paling banyak digunakan dalam kurikulum subjek akademis adalah metode ekspositori dan inkuiri. Ide-ide diberikan guru kemudian dielaborasi (dilaksanakan) siswa sampai mereka kuasai. Konsep utama disusun secara sistematis, dengan ilustrasi yang jelas untuk selanjutnya dikaji. Dalam materi disiplin ilmu yang diperoleh, dicari berbagai masalah penting, kemudian dirumuskan dan dicari cara pemecahannya. Melalui proses tersebut para siswa akan menemukan, bahwa kemampuan berpikir dan mengamati digunakan dalam ilmu kealaman, logika digunakan dalam matematika, bentuk dan perasaan digunakan dalam seni dan koherensi dalam sejarah. Mereka mempelajari buku-buku standar untuk memperkaya pengetahuan, dan untuk memahami budaya masa lalu dan mengerti keadaan masa kini. Ada beberapa pola organisasi isi (materi pelajaran) kurikulum subjek akademis. Pola-pola organisasi yang terpenting di antaranya: 1. Correlated curriculum adalah pola organisasi materi atau konsep yang dipelajari dalam suatu pelajaran dikorelasikan dengan pelajaran lainnya. 2. Unified atau Concentrated curriculum adalah pola organisasi bahan pelajaran tersusun dalam tema-tema pelajaran tertentu, yang mencakup materi dari berbagai pelajaran disiplin ilmu. 3. Integrated curriculum. Kalau dalam unified masih tampak warna iliciplin ilmunya, maka dalam pola yang integrated warna disiplin ilmu tersebut sudah tidak kelihatan lagi. Bahan ajar diintegrasikan dalam suatu persoalan, kegiatan atau segi kehidupan tertentu. 4. Problem Solving curriculum adalah pola organisasi isi yang berisi topik pemecahan masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupan dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari berbagai mata pelajaran atau disiplin ilmu. Tentang kegiatan evaluasi, kurikulum subjek akademis menggunakan bentuk evaluasi yang bervariasi disesuaikan dengan tujuan dan sifat mata pelajaran. Dalam bidang studi humaniora lebih banyak digunakan bentuk uraian (essay test) daripada tes objektif. Bidang studi tersebut membutuhkan jawaban yang merefleksikan logika, koherensi, dan integrasi secara menyeluruh. Bidang studi seni yang sifatnya ekspresi membutuhkan penilaian subjektif yang jujur, di
samping standar keindahan dan cita rasa. Lain halnya dengan matematika, nilai tertinggi diberikan bila siswa menguasai landasan aksioma serta cara penghitungannya benar. Dalam ilmu kealaman penghargaan tertinggi bukan hanya diberikan kepada jawaban yang benar tetapi juga pada proses berpikir yang digunakan siswa. Para ahli disiplin ilmu sering memiliki sifat ainbivalen terhadap evaluasi. Satu pihak melihatnya sebagai suatu kegiatan yang sangat berharga, yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan. Pada pihak lain mereka mengkhawatirkan kegiatan evaluasi dapat mempengaruhi hubungan antara guru dan siswa. Evaluasi yang dilakukan dalam waktu singkat tidak akan memberikan gambaran yang benar tentang perkemhangan dan penguasaan siswa. Kekhawatiran mereka dapat sedikit dikurangi dengan dikembangkannya model evaluasi formatif dan sumatif.
2. Pemilihan disiplin ilmu Masalah besar yang dihadapi oleh para pengembang kurikulum subjek akademis adalah bagaimana memilih materi pelajaran dari sekian banyak disiplin ilmu yang ada. Apabila ingin memiliki penguasaan yang cukup mendalam maka jumlah disiplin ilmunya harus sedikit. Apabila hanya mempelajari sedikit disiplin ilmu maka penguasaan para siswa akan sangat Ierbatas, sukar menerapkannya dalam kehidupan masyarakat secara luas. apabila disiplin ilmunya cukup banyak, maka tahap penguasaannya akan mendangkal. Anak-anak akan tahu banyak tetapi pengetahuannya hanya sedikit- dikit (tidak mendalam). Ada beberapa saran untuk mengatasi masa lah tersebut, yaitu: 1. Mengusahakan adanya penguasaan yang menyeluruh (comprehensive- ness) dengan menekankan pada bagaimana cara menguji kebenaran atau mendapatkan pengetahuan. 2. Mengutamakan kebutuhan masyarakat (social utility), memilih dan menentukan aspek-aspek dari dari disiplin ilmu yang sangat diperlukan dalam kehidupan masyarakat.
3. Menekankan pengetahuan dasar, yaitu pengetahuan-pengetahuan yang menjadi dasar (prerequisite) bagi penguasaan disiplin-disiplin ilmu yang lainnya.
3. Penyesuaian mata pelajaran dengan perkembangan anak Para pengembang kurikulum subjek akademis, lebih mengutamakan penyusunan bahan secara logis dan sistematis daripada menyelaraskan urutan bahan dengan kemampuan berpikir anak. Mereka umumnya kurang memperhatikan bagaimana siswa belajar dan lebih mengutamakan susunan isi, yaitu apa yang akan diajarkan. Proses belajar yang ditempuh oleh siswa sama pentingnya dengan penguasaan konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi. Para ahli kurikulum subjek akademis juga memandang materi yang akan diajarkan bersifat universal, mereka mengabaikan karakteristik siswa dan kebutuhan masyarakat setempat. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan di atas dalam perkembangan selanjutnya dilakukan beberapa penyempurnaan. Pertama, untuk mengimbangi penekanannya pada proses berpikir, mereka mulai mendorong penggunaan intuisi dan tebakan-tebakan. Kedua adanya upaya-upaya untuk menyesuaikan pelajaran dengan perbedaan individu dan kebutuhan setempat. Ketiga, pemanfaatan fasilitas dan sumber yang ada pada masyarakat.
B. Kurikulum Humanistik 1. Konsep dasar Kurikulum humanistik dikembangkan oleh para ahli pendidikan humanistik. Kurikulum ini berdasarkan konsep aliran pendidikan pribadi (personalized education) yaitu John Dewey (Progressive Education) dan J.J. Rousseau (Romantic Education). Aliran ini lebih memberikan tempat utama kepada siswa. Mereka bertolak dari asumsi bahwa anak atau siswa adalah yang pertama dan utama dalam pendidikan. la adalah subjek yang menjadi pusat kegiatan pendidikan. Mereka percaya bahwa siswa mempunyai potensi, punya kemampuan, dan kekuatan untuk berkembang. Para pendidik humanis juga berpegang pada konsep Gestalt, bahwa individu atau anak merupakan satu
kesatuan yang menyeluruh. Pendidikan diarahkan kepada membina manusia yang utuh bukan saja segi fisik dan intelektual tetapi juga segi sosial dan afektif (emosi, sikap, perasaan, nilai, dan lain-lain). Pandangan mereka berkembang sebagai reaksi terhadap pendidikan yang lebih menekankan segi intelektual dengan peran utama dipegang oleh guru. Pendidikan humanistik menekankan peranan siswa. Pendidikan merupakan suatu upaya untuk menciptakan situasi yang permisif, rileks, akrab. Berkat situasi tersebut anak mengembangkan segala potensi yang dimilikinya. Menurut Mc Neil "The nezv humanists are self actualizers who see curriculum as a liberating process that can meet the need for growth and personal integrity (John D. Mc Neil, 1977, hlrn. 1). Tugas guru adalah menciptakan situasi yang permisif dan mendorong siswa untuk mencari dan mengembangkan pemecahan sendiri. Pendidikan mereka lebih menekankan bagaimana mengajar siswa (mendorong siswa), dan bagaimana merasakan atau bersikap terhadap sesuatu. Tujuan pengajaran adalah memperluas kesadaran diri sendiri dan mengurangi kerenggangan dan keterasingan dari lingkungan. Ada beberapa aliran yang termasuk dalam pendidikan humanistik yaitu pendidikan: Konfluen, Kritikisme Radika I, dan Mistikisme modern. Pendidikan konfluen menekankan keutuhan pribadi, individu harus merespons secara utuh (baik segi pikiran, perasaan, maupun tindakan), terhadap kesatuan yang menyeluruh dari lingkungan. Kritikisme radikal bersumber dari aliran naturalisme atau romantisme Rousseau. Mereka memandang pendidikan sebagai upaya untuk membantu anak menemukan dan mengembangkan sendiri segala potensi yang dimilikinya. Pendidikan merupakan upaya untuk menciptakan situasi yang memungkinkan anak berkembang optimal. Pendidik adalah ibarat petani yang berusaha menciptakan tanah yang gembur, air dan udara yang •ukup, terhindar dari berbagai hama, untuk tumbuhnya tanaman yang penuh dengan berbagai potensi. Dalam pendidikan tidak ada pemaksaan, yang ada adalah dorongan dan rangsangan untuk berkembang
Mistikisme modern adalah aliran yang menekankan latihan dan pengembangan kepekaan perasaan, kehalusan budi pekerti, melalui sensitivity training, yoga, meditasi, dan sebagainya.
2. Kurikulurn konfluen Kurikulum konfluen dikembangkan oleh para ahli pendidikan konfluen, yang ingin menyatukan segi-segi afektif (sikap, perasaan, nilai) dengan segi-segi kognitif (kemampuan intelektual). Pendidikan konfluen kurang menekankan pengetahuan yang mengandung segi afektif). Menurut mereka kurikulum tidak menyiapkan pendidikan tentang sikap, perasaan, dan nilai yang harus dimiliki murid-murid. Kurikulum hendaknya mempersiapkan berbagai alternatif yang dapat dipilih murid-murid dalam proses bersikap, berperasaan dan memberi pertimbangan nilai. Murid-murid hendaknya diajak untuk menyatakan pilihan dan mempertanggungjawabkan sikap-sikap, perasaan-perasaan, dan pertimbangan- pertimbangan nilai yang telah dipilihnya.
3. Beberapa ciri kurikulum konfluen Kurikulum konfluen mempunyai beberapa ciri utama yaitu: a. Partisipasi. Kurikulum ini menekankan partisipasi murid dalam belajar. Kegiatan belajar adalah belajar bersama, melalui berbagai bentuk aktivitas kelompok. Melalui partisipasi dalam kegiatan bersama, murid-murid dapat mengadakan perundingan, persetujuan, pertukaran kemampuan, bertanggung jawab bersama, dan lain-lain. Ini menunjukkan ciri yang non- otoriter dari pendidikan konfluen. b. Integrasi. Melalui partisipasi dalam berbagai kegiatan kelompok terjadi interaksi, interpenetrasi, dan integrasi dari pemikiran, perasaan dan juga tindakan. c. Relevansi. Isi pendidikan relevan dengan kebutuhan, mina t dan kehidupan murid karena diambil dari dunia murid oleh murid sendiri. Hal demikian sudah tentu akan lebih berarti bagi murid baik secara intelektual maupun emosioanal.
d. Pribadi anak. Pendidikan ini memberi tempat utama pada pribadi anak. Pendidikan adalah pengembangan pribadi, pengaktualisasian segala potensi pribadi anak secara utuh. e. Tujuan. Pendidikan ini bertujuan mengembangkan pribadi yang utuh, yang serasi baik di dalam dirinya maupun dengan lingkungan secara menyeluruh. Dasar dari kurikulum konfluen adalah Psikologi Gestalt yang menekankan keutuhan, kesatuan, keseluruhan. Teori yang mendukung pandangan ini adalah Eksistensialisme yang memusatkan perhatiannya pada apa yang terjadi sekarang di tempat ini. Apa yang menjadi isi kurikulum diukur oleh apakah hal itu bermanfaat bagi kita sekarang? Apakah hal itu akan memperbaiki kehidupan kita sekarang. Prinsip pengajarannya menerapkan prinsip terapi Gestalt, yang menekankan keterbukaan, kesadaran, keunikan, dan tanggung jawab pribadi. Hal- hal di atas sangat esensial dalam perkembangan individu yang sehat, yang matang. Pengajaran lebih menekankan kepada tanggung jawab pribadi daripada kompetisi. Tidak ada jawaban yang salah atau benar dalam pengajaran konfluen. Melalui latihan kesadaran/kepekaan perkembangan yang sehat akan tercapai, karena dengan cara itu ia lebih sadar akan eksistensinya dan kemungkinannya untuk berkembang. Kurikulum konfluen menyatukan pengetahuan objektif dan subjektif, berhubungan dengan kehidupan siswa dan bermanfaat baik bagi individu maupun masyarakat. Hal itu sesuai dengan konsep Gestalt bahwa sesuatu itu dikatakan berarti (penting - red) apabila bermanfaat bagi keseluruhan. Pendidikan konfluen sangat mengutamakan kesatuan dari keseluruhan.
4. Metode-metode belajar konfluen Para pengembang kurikulum konfluen telah menyusun kurikulum untuk berbagai bidang pengajaran. Kurikulum tersebut mencakup tujuan, topic- topik yang akan dipelajari, alat-alat pelajaran, dan buku teks. Pengajaran konfluen juga telah tersusun dalam bentuk rencana-rencana pelajaran, unit- unit pelajaran yang telah diujicobakan. Kebanyakan bahan tersebut diajarkan dengan teknik afektif.
George Issac Brown telah memberikan sekitar 40 macam teknik pengajaran konfluen, di antaranya: dyads yang merupakan latihan komunikasi afektif antara dua orang, fantasy body trips merupakan pemahaman tentang badan dan diri individu, rituals yaitu suatu kegiatan untuk menciptakan kebiasaan, kegiatan atau ritual baru. Berbeda dengan pengembang kurikulum yang lain, para penyusun kurikulum konfluen tidak menuntut para guru melaksanakan pengajaran seperti yang mereka kerjakan. Mereka mengharapkan setiap guru mengembangkan kreasi sendiri. Dalam menciptakan kreasi ini, yang terpenting mereka memahami tujuan dan kegunaan kegiatan yang mereka ciptakan. Dalam memilih kegiatan belajar beberapa cara dapat ditempuh. Pertama, mengidentifikasi tema-tema atau topik-topik yang mengandung self judgment. Untuk setiap tema atau topik hendaknya dipilih prosedur atau bentuk-bentuk kegiatan atau teknik yang sesuai. Kedua, materi disajikan dalam bentuk yang belum selesai (open ended), tema atau issue-iswre diharapkan muncul secara spontan dari prosedur serta perlengkapan pengajaran yang ada. Cara yang kedua ini menuntut keterbukaan dari peristiwa tetapi juga guru perlu mengusahakan kerahasiaan. Pengajaran humanistik memfokuskan proses aktualisasi din i (self actual- ization). Setiap orang mempunyai self (aku = din) yang tidak selalu disadari, tersembunyi atau tertutup. Aku atau diri ini perlu dibuka, atau diba- ngunkan melalui pendidikan. Kurikulum perlu merencanakan program untuk membantu para siswa menemukan dan menampakan dirinya. Kurikulum humanistik dapat membantu mereka memperlancar proses aktualisasi diri ini. Melalui berbagai kegiatan pengajaran model humanistik para siswa dapat menyatakan din, berekspresi, bereksperimen, berbuat, memperoleh umpan balik dan menemukan dirinya. Menurut Abraham Maslow (1968, him. 685- 686) kita dapat belajar lebih banyak tentang diri kita melalui pengujian respons-respons menuju puncak pengalaman (peak experiences). Puncak pengalaman adalah pengalaman-pengalaman yang membangkitkan rasa sayang, benci, cemas, duka, senang dsb. Menurut Maslow puncak pengalaman ini merupakan awal dan juga akhir dari pendidikan.
Menurut Philip H. Phenix (1971, him. 271-283) kurikulum harus dapat mengembangkan kesadaran dan mendorong kreativitas murid-murid. Bagi Phenix kesadaran merupakan kunci perkembangan diri dalam membina hubungan dan penycsuaian diri dengan orang lain, kelompok, budaya, dan lain-lain.
5. Karakteristik kurikulum humanistik Kurikulum humanistik mempunyai beberapa karakteristik, berkenaan dengan tujuan, metode, organisasi isi, dan evaluasi. Menurut para humanis, kurikulum befungsi menyediakan pengalaman (pengetahuanred) berharga untuk membantu memperlancar perkembangan pribadi mu- rid. Bagi mereka tujuan pendidikan adalah proses perkembangan pribadi yang dinamis yang diarahkan pada pertumbuhan, integritas, dan otonomi kepribadian, sikap yang sehat terhadap diri sendiri, orang lain, dan belajar. Semua itu merupakan bagian dari cita-cita perkembangan manusia yang teraktualisasi (self actualizing person). Seseorang yang telah mampu mengakutalisasikan diri adalah orang yang telah mencapai keseimbangan (harmoni) perkembangan seluruh aspek pribadinya baik aspek kognitif, estetika, maupun moral. Seorang dapat bekerja dengan baik bila memiliki karakter yang baik pula. Kurikulum humanistik menuntut hubungan emosional yang baik antara guru dan murid. Guru selain harus mampu menciptakan hubungan yang hangat dengan murid, juga mampu menjadi sumber. Ia harus mampu memberikan materi yang menarik dan mampu menciptakan situasi yang memperlancar proses belajar. Guru harus memberikan dorongan kepada murid atas dasar saling percaya. Peran mengajar bukan saja dilakukan oleh guru tetapi juga oleh murid. Guru tidak memaksakan sesuatu yang tidak disengani murid. Sesuai dengan prinsip yang dianut, kurikulum humanistik menekan- kan integrasi, yaitu kesatuan perilaku bukan saja yang bersifat intelektual tetapi juga emosional dan tindakan. Kurikulum humanistik juga menekankan keseluruhan. Kurikulurn harus mampu memberikan penga- laman yang menyeluruh, bukan pengalaman yang terpenggal-penggal. Kurikulum ini kurang menekankan sekuens, karena dengan sekuens mu- rid-murid kurang mempunyai kesempatan untuk memperluas dan memperdalam aspek-aspek perkembangannya.
Penyusunan sekuens dalam pengajaran yang sifatnya afektif, dilakukan oleh Shiflett (1975, hlm. 121- 139) dengan langkah-langkah sebagai berikut. a. Menyusun kegiatan yang dapat memunculkan sikap, minat atau perhatian tertentu. b. Memperkenalkan bahan-bahan yang akan dibahas dalam setiap kegiatan. Di dalamnya tercakup topik-topik, bahan ajar serta kegiatan belajar yang akan membantu siswa dalam merumuskan apa yang ingin mereka pelajari. Kegiatan yang diutamakan adalah yang akan membangkitkan rasa ingin tahu dari pemahaman. c. Pelaksanaan kegiatan, para siswa diberi pengalaman yang menyenangkan baik yang berupa gerakan-gerakan maupun penghayatan. d. Penyempurnaan, pembahasan hasil-hasil yang telah dicapai, penyempurnaan hasil serta upaya tindak lanjutnya. Dalam evaluasi, kurikulum humanistik berbeda dengan yang biasa. Model lebih mengutamakan proses daripada hasil. Kalau kurikulum yang hiasa terutama subjek akademis mempunyai kriteria pencapaian, maka dalam kurikulum humanistik tidak ada kriteria. Sasaran mereka adalah perkembangan anak supaya menjadi manusia yang lebih terbuka, lebih berdiri sendiri. Kegiatan yang mereka lakukan hendaknya bermanfaat bagi siswa. Kegiatan belajar yang baik adalah yang memberikan pengalaman yang akan membantu para siswa memperluas kesadaran akan dirinya dan orang lain dan dapat mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya. l'onilaiannya bersifat subjektif baik dari guru maupun para siswa.
C. Kurikulum Rekonstruksi Sosial Kurikulum rekonstruksi sosial berbeda dengan model-model kurikulum lainnya. Kurikulum ini lebih memusatkan perhatian pada problema- problema yang dihadapinya dalam masyarakat. Kurikulum ini bersumber pada aliran pendidikan interaksional. Menurut mereka pendidikan bukan upaya sendiri, melainkan kegiatan bersama, interaksi, kerja sama. Kerja sama atau interaksi bukan hanya terjadi antara sisvva dengan guru, tetapi juga antara siswa dengan siswa, siswa dengan orang-orang di lingkungan- nya, dan dengan sumber belajar
lainnya. Melalui interaksi dan kerja sama ini siswa berusaha memecahkan problema-problema yang dihadapinya dalam masyarakat menuju pembentukan masyarakat yang lebih baik. Pandangan rekonstruksi sosial di dalam kurikulum dimulai sekitar tahun 1920-an. Harold Rug mulai melihat dan menyadarkan kawan- kawannya bahvva selama ini terjadi kesenjangan antara kurikulum dengan masyarakat. Ia menginginkan para siswa dengan pengetahuan dan konsep- konsep baru yang diperolehnya dapat mengidentifikasi dan memcahkan masalah-masalah sosial. Setelah diharapkan dapat menciptakan masya- rakat baru yang lebih stabil. Theodore Brameld, pada awal tahun 1950-an menyampaikan gagasannya tentang rekonstruksi sosial. Dalam masyarakat demokratis, seluruh warga masyarakat harus turut serta dalam perkembangan dana pembaharuan masyarakat. Untuk melaksanakan hal itu sekolah mempunyai posisi yang cukup penting. Sekolah bukan saja dapat membantu individu memperkembangkan kemampuan sosialnya, tetapi juga dapat membantu bagaimana berpartisipasi sebaik-baiknya dalam kegiatan sosial. Para rekonstruksionis sosial tidak mau terlalu menekankan kebebasan individu. Mereka ingin meyakinkan murid-murid bagaimana masyarakat membuat warganya seperti yang ada sekarang dan bagaimana masyarakat metnenuhi kebutuhan pribadi warganya melalui konsensus sosial. Brameld juga ingin memberikan keyakinan tentang pentingnya perubahan sosial. Perubahan sosial tersebut harus dicapai melalui prosedur demokrasi. Para rekonstruksionis sosial menentang intimidasi, menakut-nakuti dan kompromi semu. Mereka mendorong agar para siswa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang masalah-masalah sosial yang mendesak (crucial) dan kerja sama atau bergotong royong untuk memecahkannya.
1. Desain kurikulum rekonstruksi sosial Ada beberapa ciri dari desain kurikulum ini. a. Asumsi. Tujuan utama kurikulum rekonstruksi sosial adalah menghadapkan para siswa pada tantangan, ancaman, hambatan-hambatan atau gangguan- gangguan yang dihadapi manusia. Tantangan-tantangan tersebut merupakan
bidang garapan studi sosial, yang perlu didekati dari bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosiologi psikologi, estetika, bahkan pengetahuan alam, dan matematika. Masalah-masalah masyarakat bersifat universal dan hal ini dapat dikaji dalam kurikulum. b. Masalah-masalah sosial yang mendesak. Kegiatan belajar dipusatkan pada masalah-masalah sosial yang mendesak. Masalah-masalah tersebut dirumuskan dalam pertanyaan, seperti: Dapatkah kehidupan seperti sekarang ini memberikan kekuatan untuk menghadapi ancaman ancaman yang akan mengganggu integritas kemanusiaan? Dapatkah tata ekonomi dan politik yang ada dibangun kembali agar setiap orang dapat memanfaatkan sumber- sumber daya alam dan cumber daya manusia seadil mungkin. Pertanyaan- pertanyaan tersebut mengundang pengungkapan lebih mendalam, bukan saja dari buku-buku dan kegiatan laboratorium tetapi juga dari kehidupan nyata dalanl masyarakat. c. Pola-pola organ isasi. Pada tingkat sekolah menengah, pola organisasi kurikulum disusun seperti sebuah roda. Di tengah-tengahnya sebagai poros dipilih sesuatu masalah yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno. Dan tema utama dijabarkan sejumlah topik yang dibahas dalam diskusi- diskusi kelompok, latihan-latihan, kunjungan dan lain- lain. Topik-topik dengan berbagai kegiatan kelompok ini merupakan jar-jar. Semua kegiatan jar-jari tersebut dirangkum menjadi satu kesatuan sebagai bingkai atau velk. BAGAN 5. Pola desain kurikulum rekonstruksi sosial
1. Komponen-komponen kurikulum Kurikulum rekonstruksi sosial memiliki komponen-komponen yang sama dengan model kurikulum lain tetapi isi dan bentuk-bentuknya berbeda. a) Tujuan dan isi kurikulum. Tujuan program pendidikan setiap tahun berubah. Dalam program pendidikan ekonomi-politik, umpamanya untuk tahun pertama tujuannya membangun kembali dunia ekonomipolitik. Kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut adalah ( I) mengadakan survai secara kritis terhadap masyarakat (2) mengadakan studi tentang hubungan antara keadaan ekonomi lokal dan ekonomi nasional serta dunia, (3) mengadakan studi tentang latar belakang nkloris dan kecenderungan- kecenderungan perkembangan ekonomi, Illihungannya dengan ekonomi lokal, (4) mengkaji praktik politik dalam Ind,mT.Innyo dengan faktor ekonomi, (5) memantapkan rencana perubahan praktik politik, (6) mengevaluasi semua rencana dengan criteria, apakah telah mempengaruhi kepentingan sebagian besar orang. b) Metode. Dalam pengajaran rekonstruksi social para pengembang kurikulum berusaha mencari keselarasan antara tujuan- tujuan nasional dengan tujuan siswa. Guru-guru berusaha membantu para siswa menemukan minat dan kebutuhannya. Sesuai dengan minat masingmasing siswa, baik dalam kegiatan pleno maupun kelompok-kelompok berusaha memecahkan masalah sosial yang dihadapinya. Kerja sama baik antara individu dalam kegiatan kelompok, maupun antarkelompok dalam kegiatan pleno sangat mewarnai metode rekonstruksi sosial. Kerja sama ini juga terjadi antara para siswa dengan manusia sumber dari masyarakat. Bagi rekonstruksi sosial, belajar merupakan kegiatan bersama, ada kebergantungan antara seorang dengan yang lainnya. Dalam kegiatan belajar tidak ada kompetisi yang ada adalah kooperasi atau kerja sama, saling pengertian dan konsensus. Anakanak sejak sekolah dasar pun diharuskan turut serta dalam survai kemasyarakatan serta kegiatan- kegiatan sosial lainnya. Untuk kelaskelas tinggi selain mereka dihadapkan kepada situasi nyata juga mereka diperkenalkan dengan situasi-situasi ideal. Dengan hal itu diharapkan para siswa dapat menciptakan model-model kasar dari situasi yang akan datang.
c) Evaluasi. Dalam kegiatan evaluasi para siswa juga libatkan. Keterlibatan mereka terutama dalam memilih, menyusun, dan menilai bahan yang akan diujikan. Soal-soal yang akan diujikan dinilai lebih dulu baik ketepatan maupun keluasan isinya, juga keampuhan menilai pencapaian tujuan-tujuan pembangunan masyarakat yang sifatnya kualitatif. Evaluasi tidak hanya menilai apa yang telah dikuasai siswa, tetapi juga menilai pengaruh kegiatan sekolah terhadap masyarakat. Pengaruh tersebut terutama menyangkut perkembangan masyarakat dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat.
2. Pelaksanaan pengajaran rekonstruksi sosial Pengajaran rekonstruksi sosial banyak dilaksanakan di daerah-daerah yang tergolong belum maju dan tingkat ekonominya juga belum tinggi. Pelaksanaan pengajaran ini diarahkan untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Sesuai dengan potensi yang ada dalam masyarakat, sekolah mempelajari potensi-potensi tersebut, dengan bantuan biaya dari pemerintah sekolah berusaha mengembangkan poterisi tersebut. Di daerah pertanian umpamanya sekolah mengembangkan bidang pertanian dan peternakan, di daerah industri mengembangkan bidang-bidang industri. Salah satu badan yang banyak mengembangkan baik teori maupun praktik pengajaran rekonstruksi sosial adalah Paulo Freize. Mereka banyak membantu pengembangan daerah-daerah di Amerika Latin. Untuk memerangi kebodohan dan keterbelakangan mereka menggalakkan gerakan budaya akal budi (conscientization). Conscientization merupakan suatu proses pendidikan atau pengajaran di mana siswa tidak diperlakukan sebagai penerima tetapi sebagai pelajar yang aktif. Mereka berusaha membuka diri, memperluas kesadaran tentang realitas sosial budaya dan dengan segala kemampuannya berupaya mengubah dan meningkatkannya. Sekolah berusaha memberikan penerangan dan melatih kemampuan untuk melihat dan mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi, meningkatkan kemampuan memecahkan masalah-masalah yang dihadapi. Dengan gerakan conscientization mereka membantu masyarakat memahami fakta-fakta dan masalah-masalah yang dihadapinya dalam konteks kondisi masyarakat mereka.
Keterbatasan dan potensi yang mereka miliki. Bertolak dari kenyataan-kenyataan tersebut mereka membina diri dan membangun masyarakat. Harold G. Shane seorang profesor dari Universitas Indiana Amerika Serikat, mewakili teman-temannya para Futurolog menggunakan perencanaan masa yang akan datang (future planning) sebagai dasar penyusunan kurikulum. Ia menggalakkan perencanaan masa akan datang, dari bukan perencanaan untuk masa yang akan datang. Shane menegaskan peranan individu dalam menemukan masa depannya sendiri, mereka tidak dapat melepaskan din dari perkembangan tetapi harus menyesuaikannya. Shane menyarankan para pengembang kurikulum, agar mempelajari kecenderungan (trends) perkembangan. Kecenderungan utama adalah perkembangan teknologi dengan berbagai dampaknya terhadap kondisi dan perkembangan masyarakat. Kecenderungan lain adalah perkembangan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Dalam perkembangan sosial yang perlu mendapatkan perhatian utama adalah perkembangan manusia, baik bagai individu maupun dalam interaksinya dengan yang lain. Untuk iiiengidentifikasi dan menganalisis kecenderungan-kecenderungan tersebut diperlukan bantuan dari para ahli disiplin ilmu. Dalam pemecahan problema sosial dan membuat kebijaksanaan sosial diperlukan musyawarah tiengan warga masyarakat. Para ahli kurikulum yang berorientasi ke masa depan menyarankan agar isi kurikulum difokuskan pada: penggalian sumber-sumber alam dan htikan alam, populasi, kesejahteraan masyarakat, masalah air, akibat pertambahan penduduk, ketidakseragaman pemanfaatan sumber-sumber dan lain-lain. Pandangan rekonstruksi sosial berkembang karena keyakinannya pada kemampuan manusia untuk membangun dunia yang lebih baik. Juga penekanannya tentang peranan ilmu dalam memecahkan masalah-masalah sosial. Beberapa kritikus pendidikan menilai pandangan ini sukar diterapkan langsung dalam kurikulum (pendidikan). Penyebabnya adalah interpretasi para ahli tentang perkembangan dan masalah-masalah sosial berbeda. Kemampuan warga untuk ikut serta dalam pemecahan masalah juga bervariasi.
D. Teknologi dan Kurikulum Abad dua puluh ditandai dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Perkembangan teknologi mempengaruhi setiap bidang dan aspek kehidupan, termasuk bidang pendidikan. Sejak dahulu teknologi telah diterapkan dalam pendidikan, tetapi yang digunakan adalah teknologi sederhana seperti penggunaan papan tulis dan kapur, pena dan tinta, sabak dan grip, dan lain-lain. Dewasa ini sesuai dengan tahap perkembangannya yang digunakan adalah teknologi maju, seperti audio dan video casssette, overhead projector, film slide, dan motion film, mesin pengajaran, komputer, CD-rom dan internet. Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, di bidang pendidikan berkembang pula teknologi pendidikan. Aliran ini ada persamaannya dengan pendidikan klasik, yaitu menekankan isi kurikulum, tetapi diarahkan bukan pada pemeliharaan dan pengawetan ilmu tersebut tetapi pada penguasaan kompetensi. Suatu kompetensi yang besar diuraikan menjadi kompetensi yang lebih sempit/khusus dan akhirnya menjadi perilaku-perilaku yang dapat diamati atau diukur. Penerapan teknologi dalam bidang pendidikan khususnya kurikulum adalah dalam dua bentuk, yaitu bentuk perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware). Penerapan teknologi perangkat keras dalam pendidikan dikenal sebagai teknologi alat (tools technology), sedangkan penerapan teknologi perangkat lunak disebut juga teknologi sistem (system technology). Teknologi pendidikan dalam arti teknologi alat, lebih menekankan kepada penggunaan alat-alat teknologis untuk menunjang efisiensi dan efektivitas pendidikan. Kurikulumnya berisi rencana-rencana penggunaan berbagai alat dan media, juga model-model pengajaran yang banyak melibatkan penggunaan alat. Contoh-contoh model pengajaran tersebut adalah: pengajaran dengan bantuan film dan video, pengajaran berprogram, mesin pengajaran, pengajaran modul. Pengajaran dengan bantuan komputer, dan lain-lain. Dalam arti teknologi sistem, teknologi pendidikan menekankan kepada penyusunan program pengajaran atau rencana pelajaran dengan menggunakan pendekatan sistem. Program pengajaran ini bisa semata-mata program sistem, bisa
program sistem yang ditunjang dengan alat dan media, dan bisa juga program sistem yang dipadukan dengan alat dan media pengajaran. Pada bentuk pertama, pengajaran tidak membutuhkan alat dan med id yang canggih, tetapi bahan ajar dan proses pembelajaran disusun secai sistem. Alat dan media digunakan sesuai dengan kondisi tetapi tidal terlalu dipentingkan. Pada bentuk kedua, pengajaran disusun secara system. Alat dan media digunakan sesuai dengan kondisi tetapi tidak terlalu dipentingkan. Pada bentuk kedua, pengajaran disusun secara system dan ditunjang dengan penggunaan alat dan media pembelajaran. Penggunaan alat dan media belum terintegrasi dengan program pembelajaran, bersifat "on-off', yaitu bila digunakan alat dan media akan lebih baik, tetapi bila tidak menggunakan alat pun pengajaran masih tetap berjalan. Pada bentuk ketiga program pengajaran telah disusun secara terpadu antara bahan dan kegiatan pembelajaran dengan alat dan media. Bahan ajar telah disusun dalam kaset audio, video atau film, atau diprogramkan dalam komputer. Pembelajaran tidak bisa berjalan tanpa melibatkan penggunaan alat-alat dan program tersebut.
1. Beberapa ciri kurikulum teknologis Kurikulum yang dikembangkan dari konsep teknologi pendidikan, memiliki beberapa ciri khusus, yaitu: a. Tujuan. Tujuan diarahkan pada penguasaan kompetensi, yang dirumuskan dalam bentuk perilaku. Tujuan-tujuan yang bersifat umum yaitu kompetensi dirinci menjadi tujuan-tujuan khusus, yang disebut objektif atau tujuan instruksional. Objektif ini menggambarkan perilaku, perbuatan atau kecakapan-keterampilan yang dapat diamati atau diukur. b. Metode. Metode yang merupakan kegiatan pembelajaran sering dipandang sebagai proses mereaksi terhadap perangsang-perangsang yang diberikan dan apabila terjadi respons yang diharapkan maka respons tersebut diperkuat. Tujuan-tujuan pengajaran telah ditentukan sebelumnya. Pengajaran bersifat individual, tiap siswa menghadapi serentetan tugas yang harus dikerjakannya, dan maju sesuai dengan kecepatan masing-masing. Pada saat tertentu ada tugas-tugas yang harus dikerjakan secara kelompok. Setiap
siswa harus menguasai secara tuntas tujuan-tujuan program pengajaran. Pelaksanaan pengajaran mengikuti langkah-langkah sebagai berikut. 1) Penegasan tujuan. Para siswa diberi penjelasan tentang pentingnya bahan yang harus dipelajari. Sebagai tanda menguasai bahan mereka harus menguasai seara tuntas tujuan-tujuan dari suatu program. 2) Pelaksanaan pengajaran. Para siswa belajar secara individual melalui media buku-buku ataupun media elektronik. Dalam kegiatan belajarnya mereka dapat menguasai keterampilan-keterampilan dasar ataupun perilaku-perilaku yang dinyatakan dalam tujuan program. Mereka belajar dengan cara memberikan respons secara cepat terhadap persoalan-persoalan yang diberikan. 3) Pengetahuan tentang hasil. Kemajuan siswa dapat segera diketahui oleh siswa sendiri, sebab dalam model kurikulum ini umpan balik selalu diberikan. Para siswa dapat segera mengetahui apa yang telah mereka kuasai dan apa yang masih harus dipelajari lebih serius.
c. Organisasi Indian ajar. Bahan ajar atau isi kurikulum banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa sehingga mendukung penguasaan sesuatu kompetensi. Bahan ajar atau kompetensi yang luas/besar dirinci menjadi bagian-bagian atau subkompetensi yang lebih kecil, yang rnenggambarkan objektif. Urutan dari objektifobjektif ini pada dasarnya menjadi inti organisasi bahan. d. Evaluasi. Kegiatan evaluasi dilakukan pada setiap saat, pada akhir suatu pelajaran, suatu unit ataupun semester. Fungsi evaluasi ini bermacam- macam, sebagai umpan balik bagi siswa dalam penyempurnaan penguasaan suatu satuan pelajaran (evaluasi formatif), umpan balik bagi siswa pada akhir suatu program atau semester (evaluasi sumatif). Juga dapat menjadi umpan balik bagi guru dan pengembang kurikulum untuk penyempurnaan kurikulum. Evaluasi yang mereka gunakan umumnya berbentuk tes objektif. Sesuai dengan landasan pemikiran mereka, bahwa model pengajarannya menekankan sifat ilmiah, bentuk ini tes dipandang yang paling cocok.
Program pengajaran teknologis sangat menekankan efisiensi dan efektivitas. Program dikembangkan melalui beberapa kegiatan uji coba dengan sampel-sampel dari suatu populasi yang sesuai, direvisi beberapa kali sampai standar yang diharapkan dapat dicapai. Dengan model pengajaran ini tingkat penguasaan siswa dalam standar konvensional jauh lebih tinggi dibandingkan dengan model-model lain. Apalagi kalau digunakan program-program yang lebih berstruktur seperti pengajaran berprogram, pengajaran modul atau pengajaran dengan bantuan video dan komputer, yang dilengkapi dengan sistem umpan balik dan bimbingan yang teratur dari dapat mempercepat dan meningkatkan penguasaan siswa. Meskipun memiliki kelebihan-kelebihan, kurikulum teknologis tidak terlepas dari beberapa keterbatasan atau kelemahan. Model ini terbatas kemampuannya untuk mengajarkan bahan ajar yang kompleks atau membutuhkan penguasaan tingkat tinggi (analisis, sintetis, evaluasi) juga bahan-bahan ajar yang bersifat afektif. Beberapa percobaan menunjukkan kemampuan siswa untuk mentransfer hasil belajar cukup rendah. Pengajaran teknologis sukar untuk dapat melayani bakat-bakat siswa belajar dengan metode-metode khusus. Metode mengajar mereka cenderung seragam. Keberhasilan belajar siswa juga sangat dipengaruhi oleh sikap mereka, bila sikapnya positif maka siswa akan berhasil, tetapi bila sikapnya negatif, tingkat penguasaannya pun relatif rendah. Masalah kebosanan juga berpengaruh terhadap proses belajar.
2. Pengembangan kurikulum Dalam pengembangan kurikulum model lama, menurut para ahli teknologi pendidikan, penyusunan kurikulum, penyusunan buku-buku serta perangkat kurikulum lainnya lebih bersifat seni dan didasarkan atas kepentingan politik daripada landasan-landasan ilmiah dan teknologis. Pengembangan kurikulum diarahkan pada pencapaian nilai-nilai umum, konsep-konsep, masalah dan keterampilan yang akan menjadi isi kurikulum disusun dengan fokus pada nilai- nilai tadi. Pengembangan kurikulum teknologis berpegang pada beberapa kriteria, yaitu: 1) Prosedur pengembangan kurikulum dinilai dan disempurnakan oleh
pengembang kurikulum yang lain, 2) Hasil pengembangan terutama yang berbentuk model adalah yang bisa diuji coba ulang, dan hendaknya memberikan hasil yang sama. Inti dari pengembangan kurikulum teknologis adalah penekanan pada kompetensi. Pengembangan dan penggunaan alat dan media pengajaran bukan hanya sebagai alat bantu tetapi bersatu dengan program pengajaran dan ditujukan pada penguasaan kompetensi tertentu. Pengembangan kurikulum ini membutuhkan kerjasama dengan para penyusun program dan penerbit media elektronik dan media cetak. Di pihak lain harus dicegah jangan sampai pengembangan kurikulum ini menjadi objek bisnis. Pengembangan pengajaran yang betul-betul berstruktur dan bersatu dengan alat dan media membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Inilah hambatan utama pengembangan kurikulum ini, terutama bagi sekolah atau daerah-daerah yang kemampuan finansialnya masih rendah. Pemecahan masih dapat dilakukan dengan menerapkan model kurikulum teknologis yang lebih menekankan pada teknologi sistem dan kurang menekankan pada teknologi alat. Dengan pendekatan ini biaya dapat lebih ditekan, di samping memberi kesempatan kepada pelaksana pengajaran, terutama guru-guru untuk mengembangkan sendiri program pengajarannya. Model ini di Indonesia dikenal dengan nama Satuan Pelajaran dalam lingkungan Pendidikan Dasar dan Menengah atau Satuan Acara Perkuliahan pada Perguruan Tinggi, sebagai bagman dari. Sistem Instruksional atau Desain Instruksional. Pengembangan kurikulum teknologis terutama yang menekankan teknologi alat, perlu mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, formulasi perlu dirumuskan terlebih dahulu apakah pengembangan alat atau media tersebut benar- benar diperlukan. Hal ini menyangkut pasaran. Kedua spesifikasi, diperlukan adanya spesifikasi dari alat atau media yang akan dikembangkan, baik dilihat dari segi kegunaannya maupun ketepatan penggunaannya. Spesifikasi juga meliputi spesifikasi situasi lingkungan tempat belajar, standar perilaku belajar, serta keterampilan-keterampilan untuk mencapai tujuan. Ketiga prototipe, sekuens-sekuens pengajaran perlu diujicobakan dalam bentuk prototipe-prototipe, demikian juga format-format media, dan organisasi. Keempat
percobaan pertama, unit-unit pengajaran diujicobakan pada sejumlah sampel siswa untuk mengetahui keberhasilan dan kelemahannya. Data tentang kebaikan dan kekurangan-kekurangan sangat diperlukan bagi penyempurnaan. Kelima mencoba hasil, hasil dari pengembangan dicoba diterapkan di dalam sistem pengajaran yang berlaku. Proses pelaksanaan, hasil dan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dicatat sebagai umpan balik bagi penyempurnaan selanjutnya.
E. Buku Acuan Brown, George Isaac (ed). (1975). The Live Classroom. New York: The Viking Press. Buku ini menguraikan pendidikan dan pengajaran yang didasarkan atas teori Gestalt, yang disebut Confluent Education. Dengan pendekatan ini mereka ingin memperbaiki pelaksanaan yang mereka sebut sebagai kelas yang mati. Suasana kelas dapat dihidupkan melalui pelaksanaan Confluent Education, sebab dalam pendekatan ini faktor afektif mendapatkan tempat yang sama dengan faktor kognitif. Dalam buku ini para penulis tidak hanya menguraikan segi-segi teoretis, tetapi juga dilengkapi dengan ilustrasi dalam praktik. Dengan Confluent Education bukan saja kelas menjadi lebih hidup, tetapi perkembangan yang menyeluruh dari pribadi anak dapat tercapai, sehingga perkembangannya lebih optimal. Buku ini sangat berfaidah bagi para pendidik, ahli kurikulum dan pengajaran, serta para guru di sekolah. Pokok-pokok yang diuraikan dalam buku ini meliputi, dasar-dasar teori Gestalt, konsep-konsep Confluent Education, contoh-contoh rencana serta pelaksanaan pelajarannya. Gilchrist, Robert S. & Roberts, Bernice B. (1974). Curriculum Development: A Humanized System Approach. Belmont California: A Phi Delta Kappa Book.
Apa yang dikupas dalam buku ini, merupakan reaksi dan sekaligus ingin memperbaiki sistem pendidikan yang ada. Sistem pendidikan yang ada umumnya kurang memperhatikan kebutuhan siswa dan kurang melibatkan partisipasi guru dan siswa. Sistem pendidikan, kurikulum, buku, alat pelajaran dan lain-lain, umumnya ditentukan oleh pihak lain, pemegang kebijaksanaan pendidikan, suatu komisi dan sebagainya, tanpa melibatkan siswa dan guru. Pengajaran bersifat
mekanis dan satu komponen terlepas dari komponen lainnya. Melihat kelemahan- kelemahan di atas para penulis melalui buku ini ingin memperbaikinya. Perbaikan tersebut bertolak dari pendekatan humanisme, suatu pandangan pendidikan yang menekankan kebutuhan perkembangan pribadi siswa seutuhnya. Segi afektif berjalan sejajar dengan segi kognitif dan psikomotor. Dalam buku ini secara sistematis dikemukakan; hakikat manusia, nilai dan tujuan perkembangan manusia; bagaimana mengorganisasi pendidikan sehingga tercipta kegia tan belajar yang efektif, bagaimana mempersiapkan dan melaksanakan pengajaran yang efektif dan terakhir bagaimana mengembangkan sistem sekolah yang bersifat humanistik. Buku ini sangat berguna bagi perencana dan pelaksana kurikulum dan pengajaran.
BAB 6 ANATOMI DAN DESAIN KURIKULUM
Pada bab-bab sebelum ini telah dikemukakan bahwa terdapat variasi dalam mendepinisikan kurikulum. Ada yang memandangnya secara sempit, yaitu kurikulum sebagai kumpulan mata pelajaran atau bahan ajar. Ada yang mengartikannya secara luas, meliputi semua pengalaman yang diperoleh siswa karena pengarahan-bimbingan dan tanggung jawab sekolah. Kurikulum juga diartikan sebagai dokumen tertulis dari suatu rencana atau program pendidikan (written curriculum), dan juga sebagai pelaksanaan dari rencana di atas (actual curriculum). Tidak semua yang ada dalam kurikulum tertulis, kemungkinan dilaksanakan di kelas. Kurikulum dapat mencakup lingkup yang sangat luas, yaitu sebagai program pengajaran pada suatu jenjang pendidikan, dan dapat pula menyangkut lingkup yang sangat sempit, seperti program pengajaran suatu mata pelajaran untuk beberapa jam pelajaran. Apakah dalam lingkup yang luas ataupun sempit, kurikulum membentuk desain yang menggambarkan pola organisasi dari komponen-komponen kurikulum dengan perlengkapan penunjangnya.
A. Komponen-Komponen Kurikulum Kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu organisme manusia ataupun binatang, yang memiliki susunan anatomi tertentu. Unsur atau komponen- komponen dari anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah: tujuan, isi atau materi, proses atau sistem penyampaian dan media, serta evaluasi. Keempat komponen tersebut berkaitan erat satu sama lain. Suatu kurikulum harus memiliki kesesuaian atau relevansi. Kesesuaian ini meliputi dua hal. Pertama kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi, dan perkembangan masyarakat. Kedua kesesuaian antarkomponen-komponen kurikulum, yaitu isi sesuai dengan tujuan, proses sesuai dengan isi dan tujuan, demikian juga evaluasi sesuai dengan proses, isi dan tujuan kurikulum.
Telah dikemukakan bahwa, dalam kurikulum atau pengajaran, tujuan memegang peranan penting, akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan mewarnai komponen-komponen kurikulum lainnya. Tujuan kurikulum dirumuskan berdasarkan dua hal. Pertama perkembangan tuntutan, kebutuhan dan kondisi masyarakat. Kedua, didasari oleh pemikiran-pemikiran dan terarah pada pencapaian nilai-nilai filosofis, terutama falsafah negara. Kita mengenal beberapa kategori tujuan pendidikan, yaitu tujuan umum dan khusus, jangka panjang, menengah, dan jangka pendek. Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah 1975/1976 dikenal kategori tujuan sebagai berikut. Tujuan pendidikan nasional merupakan tujuan jangka panjang, tujuan ideal pendidikan bangsa Indonesia. Tujuan institusional, merupakan sasaran pendidikan sesuatu lembaga pendidikan. Tujuan kurikuler, adalah tujuan yang ingin dicapai oleh sesuatu program studi. Tujuan instruksional yang merupakan target yang harus dicapai oleh sesuatu mata pelajaran. Yang terakhir ini, masih dirinci lagi menjadi tujuan instruksional umum dan khusus atau disebut juga objektif, yang merupakan tujuan pokok bahasan. Tujuan pendidikan nasional yang berjangka panjang merupakan suatu tujuan pendidikan umum, sedangkan tujuan isntruksional yang berjangka waktu cukup pendek merupakan tujuan yang bersifat khusus. Tujuan-tujuan khusus dijabarkan dari sasaran-sasaran pendidikan yang bersifat umum yang biasanya abstrak dan luas, menjadi sasaran- sasaran khusus yang lebih konkret, sempit, dan terbatas. Dalam kegiatan belajar-mengajar di-dalam kelas, tujuan-tujuan khusus lebih diutamakan, karena lebih jelas dan mudah pencapaiannya. Dalam mempersiapkan pelajaran, guru menjabarkan tujuan mengajarnya dalam bentuk tujuan-tujuan khusus atau objectives yang yang bersifat operasional. Tujuan demikian akan menggambarkan "what will the student he able to do as a result of the teaching that he was unable to do before" (Rowntree, 1974: 5). Mengajar dalam kelas lebih menekankan tujuan khusus, sebab hal itu akan dapat memberikan gambaran yang lebih konkret, dan menekankan pada perilaku siswa, sedang perumusan tujuan umum lebih bersifat abstrak, pencapaiannya memerlukan waktu yang lebih lama dan lebih sukar diukur.
Tujuan-tujuan mengajar dibedakan atas beberapa kategori, sesuai dengan perilaku yang menjadi sasarannya. Gage dan Briggs mengemukakan lima kategori tujuan, yaitu intellectual skills, cognitive strategies, verbal information, motor skills and attitudes (1974, hlm. 23-24). Bloom mengemukakan tiga kategori tujuan mengajar sesuai dengan domain-domain perilaku individu, yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Domain kognitif berkenaan dengan penguasaan kemampuan-kemampuan intelektual atau berpikir. Domain afektif berkenaan dengan penguasaan dan pengembangan perasaan, sikap, minat, dan nilai-nilai. Domain psikomotor menyangkut penguasaan dan pengembangan keterampilan- keterampilan motorik. Tujuan-tujuan khusus mengajar juga memiliki tingkat kesukaran yang berbeda-beda. Bloom, (1975) membagi domain kognitif atas enam tingkatan dari yang paling rendah, yaitu: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Untuk domain afektif Krathwohl dan kawan-kawan (1974) membaginya atas lima tingkatan yang juga berjenjang, yaitu: menerima, merespons, menilai, mengorganisasi nilai, dan karakterisasi nilai-nilai. Untuk domain psikomotor Anita Harrow (1971) membaginya atas enam jenjang, yaitu: gerakan refleks, gerakan-gerakan dasar, kecakapan mengamati, kecakapan jasmaniah, gerakan-gerakan keterampilan dan komunikasi yang berkesinambungan. Perumusan tujuan mengajar yang berbentuk tujuan khusus (objective), memberikan beberapa keuntungan: a. Tujuan khusus memudahkan dalam mengkomunikasikan maksud kegiatan mengajar-belajar kepada siswa. Berdasarkan penelitian Mager dan Clark (1963) siswa yang mengetahui tujuan-tujuan khusus suatu pokok bahasan, diberikan referensi dan sumber yang memadai, dapat belajar sendiri dalam waktu setengah dari waktu belajar dalam kelas biasa. b. Tujuan khusus, membantu memudahkan guru-guru memilih dan menyusun bahan ajar. c. Tujuan khusus memudahkan guru menentukan kegiatan belajar dan media mengajar.
d. Tujuan khusus memudahkan guru mengadakan penilaian. Dengan tujuan khusus guru lebih mudah menentukan bentuk tes, lebih mudah merumuskan butir tes dan lebih mudah menentukan kriteria pen- capaiannya. Di samping keuntungan-keuntungan di atas pengembangan tujuantujuan mengajar yang bersifat khusus menghadapi beberapa kesukaran, yaitu: 1) Sukar menyusun tujuan-tujuan khusus untuk domain afektif, 2) Sukar menyusun tujuan- tujuan khusus pada tingkat tinggi. Untuk mengatasi kedua kesukaran di atas diperlukan keahlian, latihan dan pengalaman yang mencukupi dari guru-guru. Kekurangan keahlian, latihan dan pengalaman akan membawa guru-guru pada perumusan tujuan-tujuan yang bertaraf rendah, yang mudah diukur. Kelemahan di atas akan menyebabkan penyusunan tujuan-tujuan khusus bersifat mekanistis, dengan jumlah tujuan yang sangat banyak. Bagaimana perumusan sesuatu tujuan khusus atau objective yang baik? Beberapa ahli seperti Mager (1962), Banathy (1968), Rowntree (1974), Gagne (1974), De Cecco (1977) dan Davies (1981) sepakat bahwa, tujuan khusus merupakan suatu perilaku yang diperlihatkan siswa pada akhir suatu kegiatan belajar. Ahli-ahli di atas juga memberikan beberapa spesifikasi dari tujuan-tujuan mengajar khusus, yaitu: a. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh siswa, dengan: 1) menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan tingkah laku yang dapat diamati, 2) menunjukkan stimulus yang membangkitkan tingkah laku siswa, 3) memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan siswa dan orang-orang yang dapat diajak bekerjasama. b. Menunjukkan mutu tingkah laku yang diharapkan dilakukan oleh siswa, dalam bentuk: 1) ketepatan atau ketelitian respons, 2) kecepatan, panjangnya dan frekeunsi respons. c. Menggambarkan kondisi atau lingkungan yang menunjang tingkah laku siswa, berupa: 1) kondisi atau lingkungan fisik, 2) kondisi atau lingkungan psikologis.
2. Bahan ajar Siswa belajar dalam bentuk interaksi dengan lingkungannya, lingkungan orang-orang, alat-alat dan ide-ide. Tugas utama seorang guru adalah menciptakan lingkungan tersebut, untuk mendorong siswa melakukan interaksi yang produktif dan memberikan pengalaman belajar yang dibutuhkan. Kegiatan dan lingkungan demikian dirancang dalam suatu rencana mengajar, yang mencakup komponen- komponen: tujuan khusus, sekuens bahan ajaran, strategi mengajar, media dan sumber belajar, serta evaluasi hasil mengajar. Karena perumusan tujuan khusus strategi, dan evaluasi hasil mengajar dibahas secara tersendiri, maka dalam bagian ini yang akan diuraikan hanya sekuens bahan ajar.
a. Sekuens bahan ajar Untuk mencapai tiap tujuan mengajar yang telah ditentukan diperlukan hahan ajar. Bahan ajar tersusun atas topik-totpik dan sub-subtopik tertentu. Hap topik atau subtopik mengandung ide-ide pokok yang relevan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Topik-topik atau sub-subtopik tersebut terusun sekuens tertentu yang membentuk suatu sekuens bahan ajar. Ada beberapa cara untuk menyusun sekuens bahan ajar, yaitu: 1) Sekuens kronologis. Untuk menyusun bahan ajar yang mengandung urutan waktu, dapat digunakan sekuens kronologis. Peristiwaperistiwa sejarah, perkembangan historis suatu institusi, penemuanpenemuan ilmiah dan sebagainya dapat disusun berdasarkan sekuens kronologis. 2) Sekuens kausal. Masih berhubungan erat dengan sekuens kronologis adalah sekuens kausal. Siswa dihadapkan pada peristiwa-peristiwa atau situasi yang menjadi sebab atau pendahulu dari sesuatu peristiwa atau situasi lain. Dengan mempelajari sesuatu yang menjadi sebab atau pendahulu para siswa akan menemukan akibatnya. Menurut Rowntree (1974: 75) "sekuens kausal cocok untuk menyusun bahan ajar dalam bidang meteorologi dan geomorfologi". 3) Sekuens struktural. Bagian-bagian bahan ajar suatu bidang studi telah mempunyai struktur tetentu. Penyusunan sekuens bahan ajar bidang studi tersebut perlu disesuaikan dengan strukturnya. Dalam fisika tidak mungkin mengajarkan alat-alat optik, tanpa terlebih dahulu mengajarkan pemantulan
dan pembiasan cahaya, dan pemantulan dan pembiasan cahaya tidak mungkin diajarkan tanpa terlebih dahulu mengajarkan masalah cahaya. Masalah cahaya, pemantulan-pembiasan, dan alat-alat optik tersusun secara struktural. 4) Sekuens logis dan psikologis. Bahan ajar juga dapat disusun berdasarkan urutan logis. Rowntree (1974: 77) melihat perbedaan antara sekuens logis dengan psikologis. Menurut sekuens logis bahan ajar dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana kepada yang kompleks, tetapi menurut sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan kepada bagian, dari yang kompleks kepada yang sederhana. Menurut sekuens logis bahan ajar disusun dari yang nyata kepada yang abstrak, dari benda-benda kepada teori, dari fungsi kepada struktur, dari masalah bagaimana kepada masalah mengapa. 5) Sekuens spiral, dikembangkan oleh Bruner (1960). Bahan ajar dipusatkan pada topik atau pokok bahan tertentu. Dari topik atau pokok tersebut bahan diperluas dan diperdalam. Topik atau pokok bahan ajar tersebut adalah sesuatu yang populer dan sederhana, tetapi kemudian diperluas dan diperdalam dengan bahan yang lebih kompleks. 6) Rangkaian ke belakang. (backward chaining), dikembangkan oleh Thomas Gilbert (1962). Dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah terakhir dan mundur ke belakang. Contoh, proses pemecahan masalah yang besifat ilmiah, meliputi 5 langkah, yaitu: (a) Pembatasan masalah (b) Penyusunan hipotesis, (c) Pengumpulan data, (d) Pengetesan hipotesis, (e) Interpretasi basil tes. Dalam mengajarnya mulai dengan langkah (e), kemudian guru menyajikan data tentang sesuatu masalah dari langkah (a) sampai (d), dan siswa diminta untuk membuat interpretasi hasilnya (e). Pada kesempatan lain guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan siswa diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya. 7) Sekuens berdasarkan hierarki belajar. Model ini dikembangkan oleh Gagne (1965), dengan prosedur sebagai berikut: tujuan-tujuan khusus utama pembelajaran dianalisis, kemudian dicari suatu hierarki urutan bahan ajar untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai siswa, berturut-turut
sampai dengan perilaku terakhir. Untuk bidang studi tertentu dan pokok- pokok bahasan tertentu hierarki juga dapat mengikuti hierarki tipe-tipe belajar dari Gagne. Gagne mengemukakan 8 tipe belajar yang tersusun secara hierarkis mulai dari yang paling sederhana: signal learning, stimulus-respons learning, motor-chain learning, verbal association, multiple discrimination, concept learning, principle learning, dan problem-solving learning. (Gagne, 1970: 63-64).
3. Strategi mengajar Penyusunan sekuens bahan ajar berhubungan erat dengan strategi atau metode mengajar. Pada waktu guru menyusun sekuens suatu bahan ajar, is juga harus memikirkan strategi mengajar mana yang sesuai untuk menyajikan bahan ajar dengan urutan seperti itu. Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam mengajar. Rowntree (1974: 93-97) membagi strategi mengajar itu atas Exposition - Discovery Learning dan Groups - Individual Learning. Ausubel and Robinson (1969 : 43-45) membaginya atas strategi Reception Learning- Discovery Learning dan Rote Learning- Meaningful Lerning. a. Reception/Exposition Learning - Discovery Learning. Reception dan exposition sesungguhnya mempunyai makna yang sama, hanya berbeda dalam pelakunya. Reception learning dilihat dari sisi siswa sedangkan exposition dilihat dari sisi guru. Dalam exposition atau reception learning keseluruhan bahan ajar disampaikan kepada siswa dalam bentuk akhir atau bentuk jadi, baik secara lisan maupun secara tertulis. Siswa tidak dituntut untuk mengolah, atau melakukan aktivitas lain kecuali menguasainya. Dalam discovery learning bahan ajar tidak disajikan dalam hentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan flienghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulankosimpulan. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut siswa akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.
b. Rote learning - Meaningful Learning. Dalam rote learning bahan ajar disampaikan kepada siswa tanpa memperhatikan arti atau maknanya bagi siswa. Siswa menguasai bahan ajar dengan menghafalkannya. Dalam meaningful learning penyampaian bahan mengutamakan maknanya bagi siswa. Menurut Ausubel and Robinson (1970: 52- 53) sesuatu bahan ajar bermakna bila dihubungkan dengan struktur kognitif yang ada pada siswa. Struktur kognitif terdiri atas fakta-fakta, data, konsep, proposisi, dalil, hukum dan teori-teori yang telah dikuasai siswa sebelumnya, yang tersusun membentuk suatu struktur dalam pikiran anak. Lebih lanjut Ausubel and Robinson menekankan bahwa reception-discovery learning dan rote-meaningful learning dapat dikombinasikan satu sama lain sehingga membentuk 4 kombinasi strategi belajar-mengajar, yaitu: a) meaningful-reception learning, b) rote- reception learning, c) meaningful-discovery learning, dan d) rote-discovery learning.
c. Group Learning - Individual Learning. Pelaksanaan discovery learning menuntut aktivitas belajar yang bersifat individual atau dalam kelompok-kelompok kecil. Discovery learning dalam bentuk kelas pelaksanaannya agak sukar dan mempunyai beberapa masalah. Masalah pertama, karena kemampuan dan kecepatan belajar siswa tidak sama, maka kegiatan discovery hanya akan dilakukan oleh siswa-siswa yang pandai dan cepat, siswa-siswa yang kurang dan lambat, akan mengikuti saja kegiatan dan menerima temuan-temuan anak-anak cepat. Di pihak lain anak-anak lambat akan menderita kurang motif belajar, acuh tak acuh, dan kemungkinan menjadi pengganggu kelas. Masalah lain adalah kemungkinan untuk bekerja sama, dalam kelas besar tidak mungkin semua anak dapat bekerja sama. Kerja sama hanya akan dilakukan oleh anak-anak yang aktif, yang lain mungkin hanya akan menanti atau menonton. Dengan demikian akan terjadi perbedaan yang semakin jauh antara anak pandai dengan yang kurang.
4. Media mengajar Media mengajar merupakan segala macam bentuk perangsang dan alat yang disediakan guru untuk mendorong siswa belajar. Perumusan di atas menggambarkan pengertian media yang cukup luas, mencakup berbagai bentuk perangsang belajar yang sering disebut sebagai audio visual aid, serta berbagai bentuk alat penyaji perangsang belajar, berupa alat-alat elektronika seperti mesin pengajaran, film, audio cassette, video cassette, televisi, dan komputer. Rowntree (1974: 104-113) mengelompokkan media mengajar menjadi lima macam dan disebut Modes, yaitu Interaksi insani, realita, pictorial, simbol tertulis, dan rekaman suara. a. Interaksi insani. Media ini merupakan komunikasi langsung antara dua orang atau lebih. Dalam komunikasi tersebut kehadiran sesuatu pihak secara sadar atau tidak sadar mempengaruhi perilaku yang lainnya. Terutama kehadiran guru mempengaruhi perilaku siswa atau siswasiswanya. Interaksi insani dapat bcrlangsung melalui komunikasi verbal atau nonverbal. Komunikasi yang bersifat verbal memegang peranan penting, terutama dalam perkembangan segi kognitif siswa. Untuk pengembangan segi-segi afektif, bentuk-bentuk komunikasi nonverbal seperti: perilaku, penampilan fisik, roman muka, gerak- gerik, sikap, dan lain-lain lebih memegang peranan penting sebagai contoh- contoh nyata. Intensitas interaksi insani dalam berbagai metode mengajar tidak selalu sama. Intensitas interaksi insani dalam metode ceramah lebih rendah dibandingkan dengan metode diskusi, permainan, simulasi, sosiodrama, dan lain-lain. b. Realia. Realita merupakan bentuk perangsang nyata seperti orang-orang, binatang, benda-benda, peristiwa, dan sebagainya yang diamati siswa. Dalam interaksi insani siswa berkomunikasi dengan orang-orang, sedangkan dalam realita orang-orang tersebut hanya menjadi objek pengamatan, objek studi siswa. c. Pictorial. Media ini menunjukkan penyajian berbagai bentuk variasi gambar dan diagram nyata ataupun simbol, bergerak atau tidak, dibuat di atas kertas, film, kaset, disket, dan media lainnya. Media pictorial mempunyai banyak keuntungan karena hampir semua bentuk, ukuran, kecepatan, benda, makhluk,
dan peristiwa dapat disajikan dalam media ini. Juga penyajiannya dapat bervariasi dari bentuk yang paling sederhana seperti sketsa dan bagan sampai dengan yang cukup sempurna seperti film bergerak yang berwarna dan bersuara, atau bentuk-bentuk animasi yang disajikan dalam video atau komputer. d. Simbol tertulis. Simbol tertulis merupakan media penyajian informasi yang paling umum, tetapi tetap efektif. Ada beberapa macam bentuk media simbol tertulis seperti buku teks, buku paket, paket program belajar, modul, dan majalah-majalah. Penulisan simbol-simbol tertulis biasanya dilengkapi dengan media pictorial seperti gambar-gambar, bagan, grafik, dan sebagainya. e. Rekaman suara. Berbagai bentuk informasi dapat disampaikan kepada anak dalam bentuk rekaman suara. Rekaman suara dapat disajikan secara tersendiri atau digabung dengan media pictorial. Penggunaan rekaman suara tanpa gambar dalam pengajaran bahasa cukup efektif. Dale (1969), mengemukakan 12 macam media mengajar atau audio visual aid, yang disebutnya Cone of Experience, atau kerucut pengalaman, yaitu:
BAGAN 6. Kerucut pengalaman dari Edgar Dale
5. Evaluasi pengajaran Komponen utama selanjutnya setelah rumusan tujuan, bahan ajar, strategi mengajar, dan media mengajar adalah evaluasi dan penyempurnaan. Evaluasi ditujukan untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta menilai proses pelaksanaan mengajar secara keseluruhan. Tiap kegiatan akan memberikan umpan balik, demikian juga dalam pencapaian tujuan-tujuan belajar dan proses pelaksanaan mengajar. Umpan balik tersebut digunakan untuk mengadakan berbagai usaha penyempurnaan baik bagi penentuan dan perumusan tujuan mengajar, penentuan sekuens bahan ajar, strategi, dan media mengajar.
a. Evaluasi hasil belajar-mengajar Untuk menilai keberhasilan penguasaan siswa atau tujuan-tujuan khusus yang telah ditentukan, diadakan suatu evaluasi. Evaluasi ini disebut juga evaluasi hasil belajar-mengajar. Dalam evaluasi ini disusun butir-butir soal untuk mengukur pencapaian tiap tujuan khusus yang telah ditentukan. Untuk tiap tujuan khusus minimal disusun satu butir soal. Menurut lingkup luas bahan dan jangka waktu belajar dibedakan antara evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan belajar dalam jangka waktu yang relatif pendek. Tujuan utama dari evaluasi formatif sebenarnya lebih besar ditujukan untuk menilai proses pengajaran. Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah evaluasi formatif digunakan untuk menilai penguasaan siswa setelah selesai mempelajari satu pokok bahasan. Hasil evaluasi formatif ini terutama digunakan untuk
memperbaiki proses belajar-mengajar dan membantu mengatasi kesulitan- kesulitan belajar siswa. Dengan demikian evaluasi formatif, selain berfungsi menilai proses, juga merupakan evaluasi atau tes diagnostik. Gronlund (1976: 489) mengemukakan fungsi tes formatif sebagai berikut: (1) to plan corrective action for overcoming learning deficiences, (2) to aid in motivating learning, dan (3) to increase retention and transfer or learning. Evaluasi sumatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan yang lebih luas, sebagai hasil usaha belajar dalam jangka waktu yang cukup lama, satu semester, satu tahun atau selama jenjang pendidikan. Evaluasi sumatif mempunyai fungsi yang lebih luas daripada evaluasi formatif. Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah, evaluasi sumatif dimaksudkan untuk menilai kemajuan belajar siswa (kenaikan kelas, kelulusan ujian) serta menilai efektivitas program secara menyeluruh. Ini sesuai dengan pendapat Grondlund (1976: 499) bahwa evaluasi sumatif berguna bagi: (1) assigning grades, (2) reporting learning progress to parents, pupils, and school personnel, and (3) improving learning and instruction. Untuk mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan yang telah ditentukan atau bahan yang telah diajarkan ada dua macam norma yang digunakan, yaitu norm referenced dan criterion referenced (Chauhan, 1979: 170- 177, Gronlund, 1976: 18-19, Thorndike, 1976: 654). Dalam cirterion referenced penguasaan siswa yang diukur dengan sesuatu tes hasil belajar dibandingkan dengan sesuatu kriteria tertentu umpamanya 80% dari tujuan atau bahan yang diberikan. Dengan demikian dalam cirterion referenced ada suatu kriteria standar. Dalam norm referenced, tidak ada suatu kriteria sebagai standar, penguasaan siswa dibandingkan dengan tingkat penguasaan kawan-kawannya satu kelompok. Dengan demikian norma yang digunakan adalah norma kelompok, yang lebih bersifat relatif. Kelompok ini dapat berupa kelompok kelas, sekolah, daerah, ataupun nasional. Dalam implementasi kurikulum atau pelaksanaan pengajaran, criterion referenced digunakan pada evaluasi formatif, sedangkan norm referenced digunakan pada evaluasi sumatif.
b. Evaluasi pelaksanaan mengajar Komponen yang dievaluasi dalam pengajaran bukan hanya hasil belajar- mengajar tetapi keseluruhan pelaksanaan pengajaran, yang meliputi evaluasi komponen tujuan mengajar, bahan pengajaran (yang menyangkut sekuens bahan ajar), strategi dan media pengajaran, serta komponen evaluasi mengajar sendiri. Stufflebeam dan kawan-kawan (1977: 243) mengutip Model Evaluasi dari EPIC, bahwa dalam program mengajar komponen-komponen yang dievaluasi meliputi: komponen tingkah laku yang mencakup aspek-aspek (subkomponen): kognitif, afektif dan psikomotor; komponen mengajar mencakup subkomponen: isi, metode, organisasi, fasilitas dan biaya; dan komponen populasi, yang mencakup: siszva, guru, administrator, spesialis pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Untuk mengevaluasi komponenkomponen dan proses pelaksanaan mengajar bukan hanya digunakan tes tetapi juga digunakan bentuk-bentuk nontes, seperti observasi, studi dokumenter, analisis hasil pekerjaan, angket dan checklist. Evaluasi dapat dilakukan oleh guru atau oleh pihak-pihak lain yang berwenang atau diberi tugas, seperti Kepala Sekolah dan Pengawas, tim evaluasi Kanwil atau Pusat. Sesuai dengan prinsip sistem, evaluasi dan umpan balik diadakan secara terus menerus, walupun tidak semua komponen mendapat evaluasi yang sama kedalaman dan keluasannya. Karena sifatnya menyeluruh dan terus menerus tersebut maka evaluasi pelaksanaan sistem mengajar dapat dipandang sebagai suatu monitoring.
6. Penyempurnaan pengajaran Hasil-hasil evaluasi, baik evaluasi hasil belajar, maupun evaluasi pelaksanaan mengajar secara keseluruhan, merupakan umpan balik bagi penyempurnaan-penyempurnaan lebih lanjut. Komponen apa yang disempurnakan, dan bagimana penyempurnaan tersebut dilaksanakan' Sesuai dengan komponen-komponen yang dievaluasi, pada dasarnya semua komponen mengajar mempunyai kemungkinan untuk disempurna kan. Suatu komponen mendapatkan prioritas lebih dulu atau mendapatkan penyempurnaan lebih banyak, dilihat dari peranannya dan tingkat kelemahannya (Rowntree, 1974: 150-151). Penyempurnaan juga mungkin dilakukan secara langsung begitu didapatkan
sesuatu informasi umpan balik, atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu bergantung pada urgensinya dan kemungkinannya mengadakan penyempurnaan. Penyempurnaan mungkin dilaksanakan sendiri oleh guru, tetapi dalam hal-hal tertentu mungkin dibutuhkan bantuan atau saran-saran orang lain baik sesama personalia sekolah atau ahli pendidikan dari luar sekolah. Penyempurnaan juga mungkin bersifat menyeluruh atau hanya menyangkut bagian-bagian tertentu. Semua hal tersebut bergantung pada kesimpulan-kesimpulan hasil evaluasi.
B. Desain Kurikulum Desain kurikulum menyangkut pola pengorganisasian unsur-unsur atau komponen kurikulum. Penyusunan desain kurikulum dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi horisontal dan vertikal. Dimensi horisontal berkenaan dengan penyusunan dari lingkup isi kurikulum. Susunan lingkup ini sering diintegrasikan dengan proses belajar dan mengajarnya. Dimensi vertikal menyangkut penyusunan sekuens bahan berdasarkan urutan tingkat kesukaran. Bahan tersusun mulai dari yang mudah, kemudian menuju pada yang lebih sulit, atau mulai dengan yang dasar diteruskan dengan yang lanjutan. Berdasarkan pada apa yang menjadi fokus pengajaran, sekurangkurangnya dikenal tiga pola desain kurikulum, yaitu: 1. Subject centered design, suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar. 2. Learner centered design, suatu desain kurikulum yang mengutamakan peranan siswa. 3. Problems centered design, desain kurikulum yang berpusat pada masalah- masalah yang dihadapi dalam masyarakat.
Walaupun bertolak dari hal yang sama, dalam suatu pola desain terdapat beberapa variasi desain kurikulum. Dalam subject centered design dikenal ada: the subject design, the disciplines design dan the broad fields design. Pada problems centered design dikenal pula the areas of living design dan the core design.
1. Subject centered design Subject centred design curriculum merupakan bentuk desain yang paling populer, paling tua dan paling banyak digunakan. Dalam subject centered design, kurikulum dipusatkan pada isi atau materi yang akan diajarkan. Kurikulum tersusun atas sejumlah mata-mata pelajaran, dan mata-mata pelajaran tersebut diajarkan secara terpisah-pisah. Karena terpisahpisahnya itu maka kurikulum ini disebut juga separated subject curriculum. Subject centered desain berkembang dari konsep pendidikan klasik yang menekankan pengetahuan, nilai-nilai dan warisan budaya masa lalu, dan berupaya untuk mewariskannya kepada generasi berikutnya. Karena mengutamakan isi atau bahan ajar atau subject matter tersebut, maka desain kurikulum ini disebut juga subject academic curriculum. Model design curriculum ini mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Beberapa kelebihan dari model desain kurikulum ini adalah: 1) mudah disusun, dilaksanakan, dievaluasi, dan disempurnakan, 2) para pengajarnya tidak perlu dipersiapkan khusus, asal menguasai ilmu atau bahan yang akan diajarkan sering dipandang sudah dapat menyampaikannya. Beberapa kritik yang juga merupakan kekurangan model desain ini, adalah: 1) karena pengetahuan diberikan secara terpisah-pisah, hal itu bertentangan dengan kenyataan, sebab dalam kenyataan pengetahuan itu merupakan satu kesatuan, 2) karena mengutamakan bahan ajar maka peran peserta didik sangat pasif, 3) pengajaran lebih menekankan pengetahuan dan kehidupan masa lalu, dengan demikian pengajaran lebih bersifat verbalistis dan kurang praktis. Atas dasar tersebut, para pengkritik menyarankan perbaikan ke arah yang lebih terintegrasi, praktis, dan bermakna serta memberikan peran yang lebih a ktif kepada siswa.
a. The Subject Design The subject design curriculum merupakan bentuk desain yang paling murni dari subject centered design. Materi pelajaran disajikan secara terpisah- pisah dalam bentuk mata-mata pelajaran. Model desain ini telah ada sejak lama. Orang-orang Yunani dan kemudian Romawi mengembangkan Trivium dan Quadrivium. Trivium meliputi gramatika, logika, dan retorika, sedangkan
Quadrivium, matematika, geometri, astronomi, dan musik. Pada saat itu pendidikan tidak diarahkan pada mencari nafkah, tetapi pada pembentukan pribadi dan status sosial (Liberal Art). Pendidikan hanya diperuntukkan bagi anak-anak golongan bangsawan yang tidak usah bekerja mencari nafkah. Pada abad 19 pendidikan tidak lagi diarahkan pada pendidikan umum (Liberal Art), tetapi pada pendidikan yang lebih yang bersifat praktis, berkenaan dengan mata pencaharian (pendidikan vokasional). Pada saat itu mulai berkembang mata-mata pelajaran fisika, kimia, biologi, bahasa yang masih bersifat teoretis, juga berkembang mata-mata pelajaran praktis seperti pertanian, ekonomi, tata buku, kesejahteraan keluarga, keterampilan, dan lain-lain. Isi pelajaran diambil dari pengetahuan, dan nilai-nilai yang telah ditemukan oleh ahli- ahli sebelumnya. Para siswa dituntut untuk menguasai semua pengetahuan yang diberikan, apakah mereka menyenangi atau tidak, membutuhkannya atau tidak. Karena pelajaran-pelajaran tersebut diberikannya secara terpisah-pisah, maka siswa menguasainya pun terpisah-pisah pula. Tidak jarang siswa menguasai bahan hanya pada tahap hafalan, bahan dikuasai secara verbalistis. Lebih rinci kelemahan-kelemahan bentuk kurikulum ini adalah: 1) Kurikulum memberikan pengetahuan terpisah-pisah, satu terlepas dari yang lainnya. 2) Isi kurikulum diambil dari masa lalu, terlepas dari kejadian-kejadian yang hangat, yang sedang berlangsung saat sekarang. 3) Kurikulum ini kurang memperhatikan minat, kebutuhan dan pengalaman para peserta didik. 4) Isi kurikulum disusun berdasarkan sistematika ilmu sering menimbulkan kesukaran di dalam mempelajari dan menggunakannya. 5) Kurikulum lebih mengutamakan isi dan kurang memperhatikan cara penyampaian. Cara penyampaian utama adalah ekspositori yang menyebabkan peranan siswa pasif. Meskipun ada kelemahan-kelemahan di atas, bentuk desain kurikulum ini mempunyai beberapa kelebihan. Karena kelebihan-kelebihan tersebut bentuk kurikulum ini lebih banyak dipakai.
1. Karena materi pelajaran diambil dari ilmu yang sudah tersusun secara sitematis logis, maka penyusunannya cukup mudah. 2. Bentuk ini sudah dikenal lama, baik oleh guru-guru maupun orang tua, sehingga lebih mudah untuk dilaksanakan. 3. Bentuk ini memudahkan para peserta didik untuk mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi, sebab pada Perguruan Tinggi umumnya digunakan bentuk ini. 4. Bentuk ini dapat dilaksanakan secara efisien, karena metode utamanya adalah metode ekspositori yang dikenal tingkat efisiennya cukup tinggi. 5. Bentuk ini sangat ampuh sebagai alat untuk melestarikan dan mewariskan warisan budaya masa lalu. Dengan adanya kelemahan-kelemahan di atas pengembang kurikulum subject design tidak tinggal diam, mereka berusaha untuk memperbaikinya. Dalam rumpun subject centerd, the broad field design merupakan pengembangan dari bentuk ini. Begitu juga pengembangan bentuk-bentuk lain di luar subject centered, seperti activity atau experience design, areas of living design dan core design.
b. The Disciplines Design Bentuk ini merupakan pengembangan dari subject design, keduanya masih menekankan kepada isi atau materi kurikulum. Walaupun bertolak dari hal yang sama tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Pada subject design belum ada kriteria yang tegas tentang apa yang disebut subject (ilmu). Belum ada perbedaan antara matematika, psikologi dengan teknik atau cara mengemudi, semuanya disebut subject. Pada disciplines design kriteria tersebut telah tegas, yang membedakan apakah suatu pengetahuan itu ilmu atau subject dan bukan adalah batang tubuh keilmuannya. Batang tubuh keilmuan menentukan apakah suatu bahan pelajaran itu disiplin ilmu atau bukan. Untuk menegaskan hal itu mereka menggunakan istilah disiplin. Isi kurikulum yang diberikan di sekolah adalah disiplin-disiplin ilmu. Menurut pandangan ini sekolah adalah mikrokosmos dari dunia intelek, batu pertama dari hal itu adalah isi dari kurikulum. Para pengembang kurikulum dari
aliran ini berpegang teguh pada disiplin-disiplin ilmu seperti: fisika, biologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Perbedaan lain adalah dalarn tingkat penguasaan, disciplines design tidak seperti subject design yang menekankan penguasaan fakta-fakta dan informasi tetapi pada pemahaman (understanding). Para peserta didik didorong untuk memahami logika atau struktur dasar suatu disiplin, memahami konsep-konsep, ide-ide dan prinsip-prinsip penting, juga didorong untuk memahami cara mencari dan menemukannya (modes of inquiry and discovery). Hanya dengan menguasai hal-hal itu, kata mereka, peserta didik akan memahami masalah dan mampu melihat hubungan berbagai fenomena baru. Proses belajarnya tidak lagi menggunakan pendekatan ekspositori yang menyebabkan peserta didik lebih banyak pasif, tetapi menggunakan pendekatan inkuiri dan diskaveri. Disciplines design sudah mengintegrasikan unsur-unsur progresifisme dari Dewey. Bentuk ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan subject design. Pertama, kurikulum ini bukan hanya memiliki organisasi yang sistematik dan efektif tetapi juga dapat memelihara integritas intelektual pengetahuan manusia. Kedua, peserta didik tidak hanya menguasai serentetan fakta, prinsip hasil hafalan tetapi menguasai konsep, hubungan dan proses-proses intelektual yang berkembang pada siswa. Meskipun telah menunjukkan beberapa kelebihan bentuk, desain ini masih memiliki beberapa kelamahan. Pertama, belum dapat memberikan pengetahuan yang terintegrasi. Kedua, belum mampu mengintegrasikan sekolah dengan masyarakat atau kehidupan. Ketiga, belum bertolak dari minat dan kebutuhan atau pengalaman peserta didik. Keempat, susunan kurikulum belum efisien baik untuk kegiatan belajar maupun untuk penggunaannya. Kelima, meskipun sudah lebih luas dibandingkan dengan subject design tetapi secara akademis dan intelektual masih cukup sempit.
c. The Broad Fields Design Baik subject design maupun disciplines design masih menunjukkan adanya pemisahan antar-mata pelajaran. Salah satu usaha untuk menghilangkan pemisahan tersebut adalah mengembangkan the broad filed design. Dalam model
ini mereka menyatukan beberapa mata pelajaran yang berdekatan atau berhubungan menjadi satu bidang studi seperti Sejarah, Geografi, dan Ekonomi digabung menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial, Aljabar, Ilmu Ukur, dan Berhitung menjadi Matematika, dan sebagainya. Tujuan pengembangan kurikulum broad field adalah menyiapkan para siswa yang dewasa ini hidup dalam dunia informasi yang sifatnya spesialistis, dengan pemahaman yang bersifat menyeluruh. Bentuk kurikulum ini banyak digunakan di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, di sekolah menengah atas penggunaannya agak terbatas apalagi di perguruan tinggi sedikit sekali. Ada dua kelebihan penggunaan kurikulum ini. Pertama, karena dasarnya bahan yang terpisah-pisah, walaupun sudah terjadi penyatuan beberapa mata kuliah masih memungkinkan penyusunan warisan-warisan budaya secara sistematis dan teratur. Kedua, karena mengintegrasikan beberapa mata kuliah memungkinkan peserta didik melihat hubungan antara berbagai hal. Di samping kelebihan tersebut, ada beberapa kelemahan model kurikulum ini. Pertama kemampuan guru, untuk tingkat sekolah dasar guru mampu menguasai bidang yang luas, tetapi untuk tingkat yang lebih tinggi, apalagi di perguruan tinggi sukar sekali. Kedua, karena bidang yang dipelajari itu luas, maka tidak dapat diberikan secara mendetil, yang diajarkan hanya permukaannya saja. Ketiga, pengintegrasian bahan ajar terbatas sekali, tidak menggambarkan kenyataan, tidak memberikan pengalaman yang sesungguhnya bagi siswa, dengan demikian kurang membangkitkan minat belajar. Keempat, meskipun kadarnya lebih rendah dibandingkan dengan subject design, tetapi model ini tetap menekankan tujuan penguasaan bahan dan informasi. Kurang menekankan proses pencapaian tujuan ya.lg sifatnya afektif dan kognitif tingkat tinggi.
2. Learner-centered design Sebagai reaksi sekaligus penyempurnaan terhadap beberapa kelemahan subject centered design berkembang learner centered design. Desain ini berbeda dengan subject centered, yang bertolak dari cita-cita untuk melestarikan dan mewariskan budaya, dan karena itu mereka mengutamakan peranan isi dari kurikulum.
Learner centered, memberi tempat utama kepada peserta didik. Di dalam pendidikan atau pengajaran yang belajar dan berkembang adalah peserta didik sendiri. Guru atau pendidik hanya berperan menciptakan situasi belajar-mengajar, mendorong dan memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Peserta didik bukanlah tiada daya, dia adalah suatu organisme yang punya potensi untuk berbuat, berperilaku, belajar dan juga berkembang sendiri. Learner centered design bersumber dari konsep Rousseau tentang pendidikan alam, menekankan perkembangan peserta didik. Pengorganisasian kurikulum didasarkan atas minat, kebutuhan dan tujuan peserta didik. Ada dua ciri utama yang membedakan desain model learner centred dengan subject centered. Pertama, learner centered design mengembangkan kurikulum dengan bertolak dari peserta didik dan bukan dari isi. Kedua, learner centered bersifat not-preplanned (kurikulum tidak diorganisasikan sebelumnya) tetapi dikembangkan bersama antara guru dengan siswa dalam penyelesaian tugas-tugas pendidikan. Organisasi kurikulum didasarkan atas masalah-masalah atau topik-topik yang menarik perhatian dan dibutuhkan peserta didik dan sekuensnya disesuaikan dengan tingkat perkembangan mereka. Ada beberapa variasi model ini yaitu the activity atau experience design, humanistic design, the open, free design, dan lain-lain. Pada tulisan ini akan dikemukakan sebagian saja. a. The Activity atau Experience Design Model desain ini berawal pada abad 18, atas hasil karya dari Rousseau dan Pestalozzi, yang berkembang pesat pada tahun 1920/1930-an pada masa kejayaan Pendidikan Progresif. Berikut beberapa ciri utama activity atau experience design. Pertama, struktur kurikulum ditentukan oleh kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam mengimplementasikan ciri ini guru hendaknya: a) Menemukan minat dan kebutuhan peserta didik, b) Membantu para siswa memilih mana yang paling penting dan urgen. Hal ini cukup sulit, sebab harus dapat dibedakan mana minat dan kebutuhan yang sesungguhnya dan mana yang hanya angan-angan. Untuk itu guru perlu menguasai benar perkembangan dan karakteristik peserta didik.
Kedua, karena struktur kurikulum didasarkan atas minat dan kebutuhan peserta didik, maka kurikulum tidak dapat disusun jadi sebelumnya, tetapi disusun bersama oleh guru dengan para siswa. Demikian juga tujuan yang akan dicapai, sumber-sumber belajar, kegiatan belajar dan prosedur evaluasi, dirumuskan bersama siswa. Istilah yang mereka gunakan adalah teacher-student planning. Seperti dikemukakan oleh Smith, Stanley and Shores (1977: 274-1725) bahwa tugas guru adalah: ... discovering students interest, guiding students in selection of interest, helping groups and individuals to plan and carryout learning activi ties, and assisting learners to appraise their experience. In short, the teacher must prepare in advance to help learners decide what to to do, how to do it, and how to evaluate the results. Ketiga, desain kurikulum tersebut menekankan prosedur pemecahan masalah. Di dalam proses menemukan minatnya peserta didik menghadapi hambatan atau kesulitan-kesulitan tertentu yang harus diatasi. Kesulitankesulitan tersebut menunjukkan problema nyata yang dihadapi peserta didik. Dalam menghadapi dan mengatasi masalah-masalah tersebut, peserta didik melakukan proses belajar yang nyata, sungguh-sungguh bermakna, hidup dan relevan dengan kehidupannya. Berbeda dengan subject design yang menekankan isi, activity design lebih mengutamakan proses (keterampilan memecahkan masalah). Ada beberapa kelebihan dari desain kurikulum ini. Pertama, karena kegiatan pendidikan didasarkan atas kebutuhan dan minat peserta didik, maka motivasi belajar bersifat intrinsik dan tidak perlu dirangsang dari luar. Fakta-fakta, konsep, keterampilan dan proses pemecahan dipelajari peserta didik karena hal itu mereka perlukan. jadi belajar benar-benar relevan dan bermakna. Kedua, pengajaran memperhatikan perbedaan individual. Mereka turut dalam kegiatan belajar kelompok karena membutuhkannya, demikian juga kalau mereka melakukan kegiatan individual. Ketiga, kegiatan-kegiatan pemecahan masalah memberikan bekal kecakapan dan pengetahuan untuk menghadapi kehidupan di luar sekolah. Beberapa kritik yang menunjukkan kelemahan dilontarkan terhadap model desain kurikulum
Pertama, penekanan pada minat dan kebutuhan peserta didik belum tentu cocok dan memadai untuk menghadapi kenyataan dalam kehidupan. Kehidupan dunia modern sangat kompleks, peserta didik belum tentu mampu melihat dan merasakan kebutuhan-kebutuhan esensial. Kedua, kalau kurikulum hanya menekankan minat dan kebutuhan peserta didik, dasar apa yang digunakan untuk menyusun struktur kurikulum. Kurikulum tidak mempunyai pola dan struktur. Kedua kritik ini tidak semuanya benar, sebab beberapa tokoh activity design telah mengembangkan struktur ini. Dewey dalam sekolah laboratoriumnya menyusun struktur di sekitar kebutuhan manusia, kebutuhan sosial, kebutuhan untuk membangun, kebutuhan untuk meneliti dan bereksperimen dan kebutuhan untuk berekspresi dan keindahan. Ketiga, activity design curriculum sangat lemah dalam kontinuitas dan sekuens bahan. Dasar minat peserta didik tidak memberikan landasan yang kuat untuk menyusun sekuens, sebab minat mudah sekali berubah karena pengaruh perkembangan, kematangan dan faktor-faktor lingkungan. Beberapa usaha telah dilakukan untuk mengatasi kelemahan ketiga ini: 1) usaha untuk menemukan sekuens perkembangan kemampuan mental peserta didik, seperti perkembangan kemampuan kognitif dari Piaget, 2) penelitian tentang pusat-pusat minat pada berbagai tingkat usia. Penemuan tentang pusat-pusat minat yang lebih terinci dijadikan dasar penyusunan sekuens kurikulum. Keempat, kritik terhadap model desain kurikulum ini dikatakan tidak dapat dilakukan oleh guru biasa. Kurikulum ini menuntut guru ahli general education plus ahli psikologi perkembangan dan human relation. Model desain ini sulit menemukan buku-buku sumber, karena buku yang ada disusun berdasarkan subject atau discipline design. Kesulitan lain adalah apabila peserta didik akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi, sebab di perguruan tinggi digunakan model subject atau discipline design.
3. Problem centered design Problem centered design berpangkal pada filsafat yang mengutamakan peranan manusia (man centered). Berbeda dengan learner centered yang mengutamakan manusia atau peserta didik secara individual, problem centered
design menekankan manusia dalam kesatuan kelompok yaitu kesejahteraan masyarakat. Konsep pendidikan para pengembang model kurikulum ini berangkat dari asumsi bahwa manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bersama. Dalam kehidupan bersama ini manusia menghadapi masalah-masalah bersama yang harus dipecahkan bersama pula. Mereka berinteraksi, berkooperasi dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang mereka hadapi untuk mcningkatkan kehidupan mereka. Konsep-konsep ini menjadi landasan pula dalam pendidikan dan pengembangan kurikulum. Berbeda dengan learner centered, kurikulum mereka disusun sebelumnya (preplanned). Isi kurikulum berupa masalahmasalah sosial yang dihadapai peserta didik sekarang dan yang akan datang. Sekuens bahan disusun berdasarkan kebutuhan, kepentingan dan kemampuan peserta didik. Problem centered design menekankan pada isi maupun perkembangan peserta didik. Minimal ada dua variasi model desain kurikulum ini, yaitu The Areas of living design, dan The Core design.
a. The Areas of Living Design Perhatian terhadap bidang-bidang kehidupan sebagai dasar penyusunan kurikulum telah dimulai oleh Herbert Spencer pada abad 19, dalam tulisan yang berjudul What knowledge is of most Worth? Areas of living design seperti learner centered design menekankan prosedur belajar melalui pemecahan masalah. Dalam prosedur belajar ini tujuan yang bersifat proses (process objectives) dan yang bersifat isi (content objectives) diintegrasikan. Penguasaan informasi-informasi yang lebih bersifat pasif tetap dirangsang. Ciri lain dari model desain ini adalah menggunakan pengalaman dan situasi-situasi nyata dari peserta didik sebagai pembuka dan mempelajari bidang-bidang kehidupan. Strategi yang sama juga digunakan dalam subject centered design, tetapi pelaksanaannya mengalami kesulitan, sebab dalam desain tersebut hubungan mata pelajaran dengan bidang dan pengalaman hidup peserta didik sangat kecil. Sebaliknya dalam the areas of living hubungannya besar sekali. Tiap pengalaman peserta didik sangat erat hubungannya dengan bidang-bidang kehidupan sehingga
dapat dikatakan suatu desain kurikulum bidang-bidang kehidupan yang dirumuskan dengan baik akan merangkumkan pengalaman-pengalaman sosial peserta didik. Dengan demikian, desain ini sekaligus menarik minat peserta didik dan mendekatkannya pada pemenuhan kebutuhan hidupnya dalam masyarakat. Desain ini mempunyai beberapa kebaikan dibandingkan dengan bentuk desain- desain lainnya. Pertama, the areas of living design merupakan the subject matter design tetapi dalam bentuk yang terintegrasi. Pemisahan antara subject dihilangkan oleh problema-problema kehidupan sosial. Kedua, karena kurikulum diorganisasikan di sekitar problema-problema peserta didik dalam kehidupan sosial, maka desain ini mendorong penggunaan prosedur belajar pemecahan masalah. Prinsip-prinsip belajar aktif dapat diterapkan dalam model desain ini. Ketiga, menyajikan bahan ajar dalam bentuk yang relevan, yaitu untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan. Melalui kurikulum ini para peserta didik akan mcmperoleh pengetahuan, dan dapat menginternalisasi artinya. Keempat desain tersebut menyajikan bahan ajar dalam bentuk yang fungsional, sebab diarahkan pada pemecahan masalah peserta didik, secara langsung dipraktikkan dalam kehidupan. Lebih dari itu kurikulum ini membawa peserta didik dalam hubungan yang lebih dekat dengan masyarakat. Kelima, motivasi belajar datang dari dalam din peserta didik, tidak perlu dirangsang dari luar. Beberapa kritik dilontarkan dan menunjukkan kelemahan model desain ini. Pertama, penentuan lingkup dan sekuens dari bidang-bidang kehidupan yang sangat esensial (penting) sangat sukar, timbul organisasi isi kurikulum yang berbeda-beda. Kedua, sebagai akibat dari kesulitan pertama, maka lemahnya atau kurangnya integritas dan kontinuitas organisasi isi kurikulum. Ketiga, desain tersebut sama sekali mengabaikan warisan budaya, padahal apa yang telah ditemukan pada masa lalu penting untuk memahami dan memecahkan masalah- masalah masa kini. Keempat, karena kurikulum hanya memusatkan perhatian pada pemecahan masalah sosial pada saat sekarang, ada kecenderungan untuk mengindoktrinasi peserta didik dengan kondisi yang ada, peserta didik tidak tovIlhat alternatif lain, baik mengenai masa lalu maupun masa yang akan 'Wang, desain tersebut akan mempertahankan status quo. Kelima, sama hainva dengan
kritik terhadap learner centered design, baik guru maupun buku dan media lain tidak banyak yang disiapkan untuk model tersebut sehingga di dalam pelaksanaannya akan mengalami beberapa kesulitan.
b. The Core Design The core desgin kurikulum timbul sebagai reaksi utama kepada separate subjects design, yang sifatnya terpisah-pisah. Dalam mengintegrasikan bahan ajar, mereka memilih mata-mata pelajaran/bahan ajar tertentu sebagai inti (core). Pelajaran lainnya dikembangkan di sekitar core tersebut. Karena pengaruh Pendidikan Progresif, berkembang teori tentang core design yang didasarkan atas pandangan Progresif. Menurut konsep ini inti-inti bahan ajar dipusatkan pada kebutuhan individual dan sosial. Terdapat banyak variasi pandangan tentang the core design. Mayoritas memandang core curriculum sebagai suatu model pendidikan atau program pendidikan yang memberikan pendidikan umum. Pada beberapa kurikulum yang berlaku di Indonesia dewasa ini, core curriculum disebut kelompok mata kuliah atau pelajaran dasar umum, dan diarahkan pada pengembangan kemampuan- kemampuan pribadi dan sosial. Kalau kelompok mata kuliah/pelajaran spesialisasi diarahkan pada pengusaan keahlian/kejuruan tertentu, maka kelompok mata pelajaran ini ditujukan pada pembentukan pribadi yang sehat, baik, matang, dan warga masyarakat yang mampu membina kerja sama yang baik pula. The core curriculum diberikan guru-guru yang memiliki penguasaan dan berwawasan luas, bukan spesialis. Di samping memberikan pengetahuan, nilai- nilai dan keterampilan sosial, guru-guru tersebut juga memberikan bimbingan terhadap perkembangan sosial pribadi peserta didik. Ada beberapa variasi desain core curriculum yaitu: (1) the separate subject core, (2) the correlated core, (3) the fused core, (4) the activity/experience core, (5) the areas of living core, dan (6) the social problems core. The separate subjects core. Salah satu usaha untuk mengatasi keterpisahan antar-mata pelajaran, beberapa mata pelajaran yang dipandang mendasari atau menjadi inti mata pelajaran lainnya dijadikan core.
The correlated core. Model desain ini pun berkembang dari the separate subjects design, dengan jalan mengintegrasikan beberapa mata pelajaran yang erat hubungannya. The fused core. Kurikulum ini juga berpangkal dari separate subject, pengintegrasiannya bukan hanya antara dua atau tiga pelajaran tetapi lebih banyak. Sejarah, Geografi, Antropologi, Sosiologi, Ekonomi dipadukan menjadi Studi Kemasyarakatan. Dalam studi ini dikembangkan tema-tema masalah umum yang dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. The activity/experience core. Model desain ini berkembang dari pendidikan progresif dengan learner centerd design-nya. Seperti halnya pada learner centered, the acitivity /experience core dipusatkan pada minat-minat dan kebutuhan peserta didik. The areas of living core. Desain model ini berpangkal juga pada pendidikan progresif, tetapi organisasinya berstruktur dan dirancang sebelumnya. Berbentuk pendidikan umum yang isinya diambil dari masalah-masalah yang muncul di masyarakat. Bentuk desain ini dipandang sebagai core design yang paling murni dan paling cocok untuk program pendidikan umum. The social problems core. Model desain ini pun merupakan produk dari pendidikan progresif. Dalam beberapa hal model ini sama dengan the areas of living core. Perbedaannya terletak pada the areas of living core didasarkan atas kegiatan-kegiatan manusia yang unviversal tetapi tidak berisi hal yang kontroversial, sedangkan the social problems core didasarkan atas problema- problema yang mendasar dan bersifat kontroversial. Beberapa contoh masalah sosial yang menjadi tema model core design ini adalah kemiskinan, kelaparan, inflasi, rasialisme, perang senjata nuklir, dan sebagainya. Halhal di atas adalah sesuatu yang mendesak untuk dipecahkan dan berisi suatu kontroversial bersifat pro dan kontra. The areas of living core cenderung memelihara dan mempertahankan kondisi yang ada, sedang the social problems core mencoba memberikan penilaian yang sifatnya kritis dari sudut sistem nilai sosial dan pribadi yang berbeda. Penyusunan kurikulum the social problems core, mengikuti pola seperti yang digambarkan dengan urutan pertanyaan-pertanyaan berikut:
1. Bagaimana gambaran masyarakat yang ada dewasa ini? 2. Apa akibatnya bila kita torus mempertahankan kondisi yang ada ini? 3. Bagaimana gambaran keadaan masyarakat yang ideal? 4. Jika gambaran pada pertanyaan 3 berbeda dengan pertanyaan 2, usaha apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya, baik secara kelompok maupun individual. Kurikulum the social problems core tidak bersifat kaku, terbuka untuk penyempurnaan pada setiap saat, agar tetap mutakhir dan relevan dengan perkembangan masyarakat. Sekuens kurikulum disusun dengan memperhatikan prinsip-prinsip psikologis, seperti: kematangan, minat, tingkat kesukaran, pengalaman dan penguasaan sebelumnya. Terhadap model-model desain di atas dapat ditambahkan dua model lain yang juga menekankan pendidikan umum yaitu the unencapsulation design dan Becker's Humanistic design. The Unencapsulation design. Model desain ini merupakan reaksi terhadap encapsulation. Menurut konsep encapsulation manusia memiliki kemampuan untuk mengamati dan memahami seluruh yang ada di dunia ini, tetapi kenya- taannya karena berbagai hambatan, hanya sebagian kecil yang mereka kuasai. The Unencapsulation design diarahkan pada pengembangan manusia yang lebih baik, yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang lebih lengkap, tepat dan seimbang. Menu rut Joseph Royce, pencetus konsep ini, pengetahuan dan kemampuan yang demikian akan tercapai melalui penggunaan empat cara penguasaan, yaitu melalui: pemikiran (rasionalisme), pengamatan (empirisme), perasaan (intuisisme), dan kepercayaan (otoritarianisme). Beckers's Humanistic Design. Desain ini juga sama dengan uncaptulsation menekankan pendidikan umum. Becker ingin mengembangkan suatu model pendidikan yang dapat menghilangkan "keterasingan" (alination yang mempunyai makna yang sama dengan encapsulation). Ia bercita-cita ingin mendidik anak menjadi manusia "ideal" yaitu manusia sejati (authentic) tidak palsu atau pura- pura, percaya kepada diri sendiri (self reliant) dan menyatu dengan masyarakatnya. Desain kurikulum dari Becker lebih menekankan pada isi
daripada proses. Isi kurikulumnya dipusatkan pada tiga bidang, yaitu 1) Dimensi individu, 2) Dimensi sosial dan historis, dan 3) Dimensi teologis. Dimensi individu membahas keadaan dan keberadaan manusia, dimensi sosial dan historis membahas kehidupan kemasyarakatan dan sejarah perkembangan manusia, sedangkan dimensi teologis membahas keharusan manusia beragama dan bahaya-bahaya sekulerisme.
C. Buku Acuan Romiszowski, A.J. (1984). Producing Instructional Systems: Lesson Planning for Individualized and Group Learning Activities. New York: Nichols Publishing. Sesuai dengan anak judulnya, buku ini mengupas rencana pelajaran, baik yang bersifat individual maupun kelompok. Dalam rencana pelajaran individual diuraikan: bagaimana menganalisis konsep-konsep yang akan diajarkan, struktur dan sistem pengajaran individual, serta beberapa bentuk atau model sistem pengajaran individual. Dalam rencana pengajaran kelompok dijelaskan desain pengajaran yang bersifat makro dan mikro. Desain pengajaran yang bersifat makro meliputi: analisis pengetahuan dan keterampilan, langkah-langkah penyusunan desain pengajaran, serta beberapa contoh desain pengajaran dalam bidang-bidang studi tertentu. Dalam desain pengajaran yang bersifat mikro diuraikan: pemilihan dan penyusunan taktik-taktik pengajaran, struktur pengetahuan dan analisisnya, struktur tingkah laku atau keterampilan, model- model rencana pengajaran seperti simulasi, permainan, dan sebagainya serta evaluasi pengajaran. Knirk, Frederick G. & Gustafson, Kent L. (1986). Instructional Technology, A Systematic Approach to Education. New York: Holt, Rinehart and Winston. Buku ini membahas dasar-dasar teori dan praktik teknologi instruksional. Hal tersebut sangat diperlukan dalam menganalisis, merencanakan, mengembangkan, mengevaluasi, serta mengelola pengajaran. Dalam buku ini konsep-konsep dasar serta pengembangan dalam sistem instruksional diuraikan dengan dengan jelas. Konsep tersebut meliputi pengajaran dan belajar, teori belajar, pendekatan sistem, teknologi belajar, teknologi proses, serta
pengembangan dari masing-masing proses. Dalam konsep teknologi instruksional diuraikan langkah-langkah umum pengembangan desain instruksional, yang meliputi: tujuan instruksional, teori dan strategi belajar-mengajar. Dalam pengelolaan pengajaran diuraikan pengembangan sarana dan prasarana belajar, pemilihan dan penggunaan strategi belajar, evaluasi program serta penyebaran inovasi pengajaran.
Drumheller, Sidney J. (1972). Teacher's Handbook for A Functional Behavior- Based Curriculum. Englewood Cliff, New Jersey: Educational Technology Publications. Menurut penulis gerakan dari Behavior Objectives selama 20 tahun, telah menyadarkan guru-guru dan dosen tentang pentingnya tujuan dan desain pengajaran. Buku ini menyajikan uraian secara mendasar tentang kurikulum yang didasarkan atas behavioral objectives. Menurut penulis, sejak awal pengajaran guru dan siswa harus mengetahui keseluruhan perilaku yang ingin dicapai siswa. Pengajaran harus selalu bertemakan tujuantujuan tersebut. Pada bagian pertama buku tersebut diuraikan dasar-dasar kurikulum yang didasarkan pada perilaku: peranan sekolah secara ideal dan nyata, keseluruhan behavior objectives dan disiplin ilmu. Pada bagian berikutnya dikemukakan pemetaan dari kurikulum menurut behavioral objectives, dan pada bagian akhir diuraikan pelaksanaan kurikulum yang didasarkan atas behavioral objectives. Salomon, Gavriel. (1979). Interaction of Media, Cognition and Learning. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers. Apa yang dibahas dalam buku ini merupakan landasan teoretis dari penggunaan media dalam pendidikan. Tulisan ini disusun berdasarkan hasil penelitian ,selama 10 tahun, diperdalam dengan pengkajian, diskusi, seminar yang mendalam bersama sejumlah besar ahli. Buku ini sangat berharga bagi para ahli psikologi pendidikan, kurikulum dan pengajaran, sebab selain memberikan landasan teori yang kuat juga membukakan kunci sekaligus horison baru bagi penelitian tentang aspek-aspek psikologis media komunikasi, khususnya media pendidikan. Selama ini media dianggap hanya sebagai alat bantu pengajaran. Dengan buku ini diungkapkan bahwa media merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari proses berpikir. Proses berpikir menyangkut sistem simbol, dan salah satu bentuk penyajian dan penyampaian sistem simbol adalah dalam media. Dilatarbelakangi oleh dasar pendidikan penulis yang pernah mendalami teater, media yang lebih banyak mendapatkan sorotan adalah media visual dalam konteks kebudayaan.
BAB 7 PROSES PENGAJARAN
A. Keseimbangan Antara Isi dan Proses Baik dalam uraian tentang model-model konsep kurikulum, maupun dalam macam-macam desain kurikulum, masalah isi dan proses pengajaran selalu menjadi tema dan titik tolak. Hal itu disebabkan kedudukan kedua komponen kurikulum tersebut sangat penting. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila ada yang berpendapat bahwa kurikulum itu tidak lain dari suatu program pendidikan yang berisi jalinan antara isi dengan proses penyampaiannya. Pendapat demikian tidak seluruhnya benar tetapi mengandung kebenaran, mengingat kedua komponen tersebut berperanan sebagai kunci. Telah kita ketahui dalam uraian-uraian yang terdahulu bahwa ada konsep- konsep kurikulum yang lebih mengutamakan isi dan ada pula yang mengutamakan proses. Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan. Mengingat kelebihan dan kekurangan masing-masing maka keseimbangan ataupun keserasian antara keduanya merupakan pemecahan yang paling praktis, walaupun bukan berarti tanpa menghadapi kesulitan-kesulitan, Kedua komponen kurikulum tersebut dapat saling menghambat, yang satu mengurangi kualitas yang lainnya. Di dalam pelaksanaan kurikulum kita mengharapkan para siswa menguasai sebanyak-banyaknya bahan yang terbaik dan diperoleh dengan cara yang terbaik pula. Meskipun ideal hal tersebut sangat sulit kita capai, namun bukan sesuatu yang mustahil Kesulitannya bukan saja disebabkan adanya ciri yang cenderung kontradiktif antara keduanya, tetapi juga karena banyaknya faktor yang turut mempengaruhi pelaksanaan kurikulum atau pengajaran Keberhasilan pengajaran atau pelaksanaan suatu kurikulum sangat dipengaruhi kondisi dan aktivitas siswa, guru, serta para pelaksana kurikulum lainnya; oleh kondisi lingkungan fisik, sosial budaya dan psikologis sekitar, oleh kondisi dan kelengkapan sarana dan prasarana baik di sekolah maupun dalam keluarga. Pendidikan dan pengajaran selaln berlangsung dalam keterbatasan-keterbatasan, kemampuan, fasilitas, waktu, tempat maupun biaya. Yang harus selalu diupayakan
oleh para penyusun, pengembang dan pelaksana pendidikan umumnya, kurikulum khususnya, adalah mengoptimalkan hasil sesuai dengan kondisi yang ada, di samping mengoptimalkan isi dan prosesnya sendiri.
B. Isi Kurikulum Pertanyaan yang selalu muncul pada para perencana pendidikan dan pengembang kurikulum adalah, bahan apakah yang harus diajarkan kepada siswa, dan apa tujuannya? Pertanyaan ini menyangkut isi kurikulum atau isi pengajaran. Isi kurikulum atau pengajaran bukan hanya terdiri atas sekumpulan pengetahuan atau kumpulan informasi, tetapi harus merupakan kesatuan pengetahuan terpilih dan dibutuhkan, baik bagi pengetahuan itu sendiri maupun bagi siswa dan lingkungannya. Beberapa program pengembangan pendidikan, terutama pengembangan kurikulum pada sekolah dasar dan menengah, telah dilakukan dengan mengikutsertakan para sarjana, dosen, ahli-ahli pendidikan selain guru, dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Mereka telah berusaha menyusun isi kurikulum atau pengajaran, bukan saja didasarkan atas perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga disesuaikan dengan karakteristik perkembangan anak dan konsep-konsep modern tentang hakikat pengalaman belajar. Meskipun demikian pertanyaan tentang karakteristik bahan yang akan diajarkan masih selalu timbul. Ahli pendidikan, Jerome S. Bruner dari Amerika Serikat mencoba memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu dengan mengemukakan konsep struktur bahan pengajaran. Pengembangan konsep ini tidaklah terjadi begitu saja, tetapi dilatarbelakangi oleh keadaan dan perkembangan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah di Amerika Serikat. Salah satu faktor yang mendorong diperlukannya pengembangan kurikulum adalah karena perkembangan universitas di Amerika Serikat pada pertengahan pertama abad 20 sangat menekankan pada pengembangan ilmu dan penelitian. Hasil-hasil perkembangan ilmu dan penelitian hanya menjadi santapan para sarjana dan cendekiawan. Anak-anak sekolah menengah, apalagi anak sekolah dasar bahkan para mahasiswa tingkat persiapan tidak pernah memperoleh pengetahuan tersebut. Para sarjana dan cendekiawan tidak pernah turut serta
dalam pengembangan kurikulum sekolah dasar dan sekolah menengah. Dengan demikian, program sekolah kurang berbobot dan jauh ketinggalan dari perkembangan ilmu pengetahuan tiekarang hal itu telah dapat diatasi, para sarjana dan cendekiawan yang turut serta dalam penyusunan kurikulum dan perencanaan program sekolah, menyiapkan buku teks serta berbagai media pendidikan. Dewasa ini para ahli psikologi di Amerika Serikat, banyak yang mulai beralih membahas masalah-masalah belajar di sekolah. Sayangnya perhatian para ahli tersebut masih lebih banyak tercurah pada studi tentang bakat dan kecakapan, serta aspek-aspek sosial dan psikologis dalam pendidikan, dan kurang memperhatikan masalah struktur intelek dari kegiatan dalam kelas. Dalam tujuan pendidikan di Amerika Serikat, ada dualisme yang membutuhkan keseimbangan, yaitu antara kegunaan (useful), dengan keindahan (ornamental). Sekolah diharapkan dapat mengajarkan semua yang berguna dan semua yang indah. Pengertian berguna mengandung dua pengertian, pertama dalam bentuk penguasaan keterampilan (skill), dan kedua pemahaman umum (general understanding). Keterampilan merupakan kecakapan-kecakapan khusus yang dikuasai seseorang. Keterampilan sangat berhubungan erat dengan profesi seseorang. Pemahaman umum, merupakan penguasaan hal-hal yang berhubungan erat dengan masalah kehidupan, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat. Menyusun program pendidikan yang seimbang antara pendidikan umum dengan pendidikan keterampilan sering cukup sukar. Dewasa ini konsep proses belajar berangsur-angsur pindah dari pemahaman umum pada penguasaan keterampilan khusus. Studi tentang transfer belajar, dahulu berkenaan dengan disiplin-disiplin formal bagaimana menguasai kemampuan analisis, sintesis, penilaian, dan sebagainya melalui berbagai bentuk latihan, sekarang transfer lebih banyak berkenaan dengan latihan keterampilan khusus. Akibatnya selama pertengahan pertama abad 20, sangat kurang penekanan pada penguasaan struktur atau penguasaan pengetahuan secara menyeluruh. Apa yang dimaksud dengan penguasaan struktur? Penguasaan struktur merupakan pemahaman suatu bahan pelajaran secara menyeluruh dan penuh arti. Belajar struktur adalah belajar secara keseluruhan (utuh), yakni hal-hal yang saling berhubungan terintegrasi menjadi satu kesatuan. Penguasaan struktur dalam
penyusunan kalimat, umpamanya, memungkinkan anak dengan cepat menyusun banyak kalimat didasarkan atas model struktur yang dipelajari, walaupun tidak mengetahui aturannya. Dalam penyusunan kurikulum, masalah mengajarkan struktur perlu mendapatkan perhatian utama, sebab keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum sangat dipengaruhi oleh hal tersebut. Ada beberapa pertanyaan umum, sebelum seseorang sampai pada pertanyaan-pertanyaan yang lebih khusus. Contoh pertanyaan umum, apakah tujuan pendidikan suatu sekolah. Setelah merumuskan jawaban pertanyaan tersebut, baru mengajukan pertanyaan yang lebih khusus, umpamanya, apakah manfaat mata-mata pelajaran yang diberikan. Jawaban terhadap pertanyaan pertama dapat dihubungkan dengan sifat masyarakat yaitu tuntutan dan kebutuhannya, juga dapat dihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan pribadi dan masyarakat (kesejahteraan individu dan masyarakat). Pendidikan yang menekankan struktur, mengutamakan pendidikan intelek, tetapi tidak berarti pendidikan segi lain diabaikan. Pendidikan yang menekankan struktur bukan saja dapat berhasil dengan baik pada anak-anak yang cerdas, tetapi juga pada anak-anak biasa bahkan anak-anak yang kurang mampu. Ini tidak berarti urutan dan isi bahan pelajaran bagi mereka sama. Ada empat hal pokok penting dalam proses pendidikan. Pertatna, peranan struktur bahan, dan bagaimana hal tersebut menjadi pusat kegiatan belajar. Hal yang sangat penting dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum adalah bagaimana memberikan pengertian kepada siswa tentang struktur yang mendasar terhadap tiap mata pelajaran. Bagaimana mengajarkan struktur mendasar secara efektif, serta bagaimana menciptakan kondisi belajar yang mendukung hal tersebut. Kedua, proses belajar menekankan pada berpikir intuitif. Berpikir intuitif merupakan teknik intelektual untuk mencapai formulasi tentatif tanpa mengadakan analisis langkah demi langkah. Ketiga, masalah kesiapan (readiness) dalam belajar. Pada masa lalu, sekolah banyak membuang vvaktu untuk mengajarkan hal-hal yang terlalu sulit bagi anak, karena kurang memperhatikan kesiapan belajar. Keempat, dorongan untuk belajar (learning motives) serta bagaimana membangkitkan motif tersebut.
Tujuan belajar lebih dari sekadar untuk mendapatkan kepuasan atau menguasai pengetahuan. Belajar menyiapkan peserta didik untuk menghadapi masa yang akan datang. Ada dua macam belajar untuk menghadapi masa yang akan datang. Pertama, aplikasi belajar dalam tugastugas khusus, atau pekerjaan- pekerjaan khusus. Hal itu merupakan transfer belajar dalam berbagai bentuk keterampilan. Kedua, transfer belajar dalam bentuk prinsip-prinsip dan sikap- sikap. Tipe belajar yang kedua bukan merupakan belajar keterampilan tetapi belajar ide-ide yang bersifat umum, yang dapat digunakan untuk mengenal dan memecahkan berbagai masalah kehidupan. Jenis transfer yang kedua merupakan inti proses pendidikan, merupakan proses perluasan dan pendalaman yang terus menerus dari ide-ide dasar dan ide-ide umum. Keberlanjutan proses belajar tersebut sangat bergantung pada tingkat penguasaan struktur bahan yang akan diajarkan. Agar seorang siswa mampu mengenal apakah suatu ide dapat diaplikasikan atau tidak terhadap situasi baru, is harus mempunyai gambaran yang jelas tentang hakikat fenomena yang dihadapinya. Sebab yang terpenting dalam belajar ide-ide adalah yang dipelajarinya harus 1.ipat diaplikasikan secara luas pada masalah-masalah baru. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, dan ini merupakan hal yang sangat penting, bagaimana menyusun kurikulum yang dapat diajarkan oleh guru biasa, terhadap murid biasa, yang dapat merefleksikan prinsip-prinsip dasar dari berbagai bentuk inkuiri. Hal itu meyangkut dua masalah yaitu bagaimana memilih bahan yang akan diajarkan serta alat-alat pelajaran yang dapat memberikan tekanan utama pada pengembangan ide-ide dan sikap. Kemudian, bagaimana menentukan tingkat-tingkat bahan yang akan diajarkan itu sesuai dengan kemampuan dan tingkat perkembangan para siswa. Agar dapat memenuhi kedua hal tersebut, dibutuhkan partisipasi dari ahli-ahli yang terbaik dalam bidangnya dalam penyusunan kurikulum sekolah. Kedua, yang perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh adalah bagaimana para siswa menguasai ide-ide dasar dari berbagai bidang studi, bukan saja berkenaan dengan pengetahuan umum, tetapi juga dengan perkembangan sikap berinkuiri, perkembangan kemampuan memperkirakan (predictive ability) dan pemecahan masalah oleh anak sendiri.
Seorang ahli fisika memiliki sikap tertentu terhadap alam semesta serta menguasai cara memahami sistem alam semesta. Siswa yang belajar fisika juga perlu memiliki sikap tersebut, bila is belajar fisika, tentunya agar yang dipelajarinya itu berguna bagi proses berpikirnya. Untuk mencapai hal tersebut yang terpenting adalah menyediakan bahan, memberikan kesempatan dan mendorong anak untuk mencari dan menemukan aturan yang sebelumnya tidak diketahui. Menemukan hubungan, persamaan, perbc.- daan di antara ide-ide, hal itu bukan saja menghasilkan pemahaman ten- tang suatu masalah tetapi juga akan menumbuhkan kepercayaan kepada diri sendiri. Para ahli berpendapat bahwa hal itu tidak mungkin dapat dicapai hanya dengan memperhatikan penyusunan sekuens bahan ajar saja, tetapi juga harus memperhatikan metode untuk mengajarkan hal tersebut. Metode utama mengajarkan konsep belajar seperti di atas adalah dengan menggunakan metode inkuiri. Metode inkuiri banyak digunakan dalam mengajarkan EPA dan Matematika, tetapi sesungguhnya metodi. inkuiri cukup memberikan hasil yang baik bila digunakan dalam mengajarkan ilmu-ilmu sosial. Bagaimana pengetahuan-pengetahuan dasar dijalin dengan minat don kemampuan anak. Hal itu membutuhkan pemahaman yang dalam serta kejujuran yang sungguh-sungguh untuk menyajikan fenomena-fenomena baik dalam penyusunan kurikulum maupun dalam penyajian di kelas. Pengetahuan dasar yang dihubungkan dengan fenomena-fenomena tersebut harus disajikan dengan benar, menarik minat dan memberikan manfaat. Minimal ada empat hal yang merupakan manfaat belajar atau mengajarkan struktur dasar: Pertama, pemahaman tentang hal-hal yang bersifat fundamental memungkinkan penguasaan bahan ajar secara lebih komprehensif. Hal itu bukan hanya berlaku bagi IPA dan Matematika tetapi juga bagi ilmu-ilmu sosial. Anak yang sudah memahami latar belakang, tujuan dan dasar-dasar pembentukan ASEAN akan d'engan mudah memahami berbagai bentuk kerja sama dan kegiatan ASEAN. Kedua, berhubungan dengan kemampuan ingatan manusia. Menurut beberapa hasil penelitian, ingatan manusia tentang hal-hal yang detail yang ditempatkan dalam suatu hubungan pola struktur, mudah sekali dilupakan. Agar
sesuatu bahan ajar dapat mudah dan lama dikuasai perlu disimpan atau disajikan dalam bentuk yang sederhana yang mewakili hal yang lebih kompleks. Perwakilan yang sederhana tersebut disebut regenerative. Contoh regenerative dalam IPA dan Matematika adalah rumus-rumus. Suatu rumus yang sederhana merupakan prasarana dan representasi dari hal yang cukup kompleks. Dalam ilmu sosial juga dikenal rumus, kaidah, prinsip tertentu. Selain hal-hal tersebut regerative juga dapat berupa peta, bagan, model, dan sebagainya. Belajar struktur dasar dapat menjamin berbagai bentuk lupa atau kehilangan penguasaan. Dengan belajar struktur dasar suatu kehilangan tidak akan berbentuk kehilangan total, hal-hal yang tersisa dapat membantu menyusun kembali apa-apa yang sudah hilang atau terlupakan. Suatu teori yang baik bukan hanya merupakan alat untuk memahami fenomena yang dihadapinya sekarang, tetapi juga untuk mengingatnya besok. Ketiga, pemahaman prinsip-prinsip dan ide-ide fundamental merupakan syarat utama untuk mengadakan transfer. Pemahaman tentang hal yang umum memungkinkan menguasai banyak hal yang sifatnya khusus, sebab penguasaan hal umum memungkinkan penguasaan model pemahaman. Ide, bahwa prinsip dan konsep merupakan dasar bagi transfer merupakan hal yang sudah lama dikenal. Keempat, penekanan pada struktur dan prinsip-prinsip mengajar yang fundamental dapat mempersempit jarak antara pengetahuan elementer dengan pengetahuan yang lebih lanjut.
C. Proses Belajar Kegiatan mengajar tidak dapat dilepaskan dari belajar, sebab keduanya merupakan dua sisi dari sebuah mata uang. Mengajar merupakan suatu upaya yang dilakukan guru agar siswa belajar. Apabila kita mengkaji teoriteori mengajar yang ada, hampir seluruhnya dikembangkan atau bertolak dari teori belajar. 1. Belajar intuitif Ada suatu pertanyaan mendasar berkenaan dengan proses belajar, yaitu apakah proses belajar lebih baik menekankan pada berpikir intuitif atau berpikir analitik?
Pengamatan menunjukkan bahwa dalam berbagai kegiatan belajar penilaian di sekolah, tekanan lebih banyak diberikan pada kemampuan untuk memformulasikan secara eksplisit, dan pada kemampuan anak memreproduksikan penguasaan secara verbal dan numerikal. Belum banyak diketahui apakah penekanan tersebut menghambat perkembangan pemahaman intuitif atau tidak. Kita dapat membedakan antara inarticulate genius dengan articulate idiocy. Inarticulate genius diperlihatkan oleh anak yang menguasai secara mendalam konsep-konsep bahan ajar, tetapi kurang mampu menyatakan secara verbal. Pada articulate ideocy anak pandai menyatakan dengan kata-kata tetapi tak punya kemampuan untuk menggunakan konsep-konsep tersebut. Dua contoh pemahaman intuitif, pertama seseorang telah cukup lama menghadapi suatu persoalan, tiba-tiba ia menemukan pemecahan walaupun belum didasarkan atas pembuktian formal, kedua, seorang dapat dengan cepat memberikan jawaban dugaan terhadap sesuatu persoalan dengan benar. Seseorang pemikir intuitif yang baik dilahirkan dengan kekhususan tertentu, tetapi efektivitas intuitifnya dilandasi oleh pengetahuan yang kuat tentang bidang yang berhubungan dengan kekhususan tersebut. Pengetahuan yang secara sistematis dikuasainya dapat menunjang berpikir intuitif, atau variabel-variabel yang mempengaruhinya.
Apakah berpikir intuitif? Orang lebih mudah membahas atau melakukan pemikiran analitik yang lebih bersifat konkret daripada berpikir intuitif yang lebih abstrak. Berpikir analitik meliputi suatu rentetan langkah-langkah. Langkah-langkah tersebut bersifat eksplisit dan biasanya dapat disampaikan kepada orang lain. Hasil-hasil pemikiran ini berupa informasi atau suatu operasi. Model pemikiran ini menggunakan proses pemikiran secara deduktif dengan bantuan model konsep matematika atau logika, menggunakan prinsip penelitian, eksperimen dan analisis statistik. Berpikir intuitif tidak memiliki langkah-langkah yang dapat dirumuskan secara pasti dan teliti, lebih merupakan suatu manuver yang didasarkan atas persepsi implisit dari keseluruhan masalah. Pemikir sampai pada suatu jawaban mungkin benar mungkin juga tidak, dengan sedikit pernyataan tentang proses
pencapaiannya. Ia sering jarang dapat menjelaskan bagaimana memperoleh jawaban, mungkin juga ia tidak menyadari aspek-aspek dari situasi masalah yang ia hadapi/kerjakan. Biasanya proses pemikiran intuitif ini berkenaan dengan domain kognitif, terutama dengan struktur pengetahuan, yang memungkinkan ia melangkah atau meloncat atau memotong jalan pendek untuk sampai pada suatu jawaban atau pemecahan. Hasil berpikir intuitif dapat dicek dengan kesimpulan dari hasil analitik, apakah induktif atau deduktif. Kedua model pemikiran ini dapat saling komplemen. Melalui berpikir intuitif seseorang memungkinkan sampai pada jawaban atau pemecahan yang sama sekali tak dapat dipecahkan atau lambat sekali bila menggunakan pemecahan melalui proses analitik. Kemungkinan dapat teijadi pada suatu saat pemikir intuitif dapat menemukan masalah yang sama sekali tak dapat ditemukan oleh pemikir analitik. Pemecahan intuitif mungkin dapat lebih cepat dibandingkan dengan pemecahan analitik. Hasil pemecahan intuitif dapat dicek oleh hasil pemecahan analitik. Intuisi sering diartikan sebagai immediate apprehension atau cognition. Immediate apprehension merupakan lawan dari mediate apprehension. Mediate apprehension menunjukkan penguasaan dan pengenalan tak langsung melalui penggunaan metode formal, analitis dan pembuktian-pembuktian. Immediate apprehension merupakan pengenalan atau penguasaan langsung tanpa mengikuti langkah-langkah formal. Menangkap pengertian dan struktur masalah atau situasi tanpa menggunakan alat atau cara analitis. Dalam berpikir intuitif, hipotesis dirumuskan dengan cepat, mengkombinasikan beberapa konsep sebelum diketahui faedahnya. Di sekolah terutama dalam bidang science dan matematika dewasa ini sangat dipentingkan proses-proses berpikir analitik. Para perencana kurikulum perlu berusaha menemukan bagaimana mengembangkan pemikiran intuitif pada murid-murid seawal mungkin. Seharusnya sebelum murid-murid diperkenalkan dengan metode analitik terlebih dahulu ditanamkan pemahaman intuitif. Situasi belajar intuitif di sekolah akan sangat ditentukan oleh sifat bahan pelajaran. Bahan pelajaran yang berisi banyak perkiraan, memberikan kemungkinan pemahaman
dan pengalaman yang luas, mengundang spontanitas, dapat banyak membantu kegiatan berpikir intuitif bagi murid-muridnya. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi berpikir intuitif? Faktor pertama, adalah predisposisi, yang berkenaan dengan dimiliki atau tidak dimilikinya kemampuan intuitif dalam suatu bidang tertentu serta kekuatan intuitif pada bidang tersebut. Apakah perkembangan intuisi seorang siswa menyerupai gurunya yang berpikir itu? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Kemungkinan kemampuan intuitif seorang siswa berkembang melalui imitasi sederhana dengan gurunya, dapat juga berkembang melalui identifikasi yang cukup kompleks. Guru yang biasa menerka jawaban suatu persoalan, lalu mengeceknya dengan cara analitis kritis akan lebih mengembangkan kemampuan berpikir intuitifnya daripada guru yang memecahkan persoalan dengan cara analitis. Seseorang yang mempunyai pemahaman yang cukup luas dalam bidang tertentu akan mudah memberikan pemecahan intuitif dibandingkan dengan orang yang kurang menguasai. Seorang spesialis dalam bidang kedokteran (dokter) dalam pertemuan pertamanya dengan pasiennya mengemukakan beberapa pertanyaan, mengadakan pemeriksaan singkat lalu memberikan diagnosis. Untuk pengalaman pertama diagnosis intuitif yang dilakukan dokter tersebut mungkin kurang sempurna dibandingkan dengan diagnosis yang bersifat analisis langkah-langkah formal yang dilakukan oleh seorang dokter muda. Untuk selanjutnya, diagnosis yang bersifat intuitif (clinical prediction) dapat Iebih berhasil dibandingkan dengan diagnosis analitis (actuarial prediciton). Hal itu juga tidak berarti bahwa prediksi intuitif selalu lebih berhasil daripada prediksi analitis. Dari uraian di atas tampak di samping variabel predisposisi yang mempengaruhi berpikir intuitif, juga imitasi atau identifikasi dengan seorang pengintuitif, penguasaan atau pemahaman dalam bidang tertentu serta pengalaman. Bagaimana pengaruh atau peranan prosedur heuristik terhadap proses berpikir intuitif? Prosedur heuristik merupakan lawan dari prosedur algoritma. Algoritma merupakan prosedur pemecahan suatu masalah yang mengikuti urutan yang teliti, selangkah demi selangkah. Prosedur heuristik merupakan prosedur pemecahan masalah yang tidak mengikuti urutan langkah demi langkah pemecahan lebih bersifat menyeluruh dan fleksibel. Prosedur heuristik dengan
menggunakan analogi, simetri, pengujian kondisi, visualisasi pemecahan yang dilakukan secara berulang-ulang akan singat menunjang proses berpikir intuitif. Apakah dengan berpikir intuitif anak dilatih untuk sekadar mengiratigira? Padahal di sekolah sering mengira-ngira dianggap suatu kemalasan. Dengan berpikir intuitif memang anak diminta untuk mengira-ngira, tetapi suatu perkiraan yang selalu dicek dengan pembuktian, dengan proses pemikiran analitis. Berpikir intuitif didasari oleh keyakinan pada diri sendiri dan keberanian dari siswa. Seorang yang berpikir intuitif tidak boleh takut berbuat salah, tetapi juga tidak boleh menutupi kesalahan. Pemikir intuitif harus jujur, pengecekan kesalahan dengan pembuktian melalui proses berpikir analitis dapat memperbaiki dan mengembangkan kemampuan berpikir intuitif seseorang.
2. Belajar bermakna Ausubel dan Robinson (1969) membedakan dua dimensi dari proses belajar, yaitu dimensi cara menguasai pengetahuan dan cara menghubungkan pengetahuan baru dengan struktur ide yang telah ada. Pada dimensi yang pertama dibedakan tipe belajar yang bersifat mencari (discovery learning) dan yang bersifat menerima (reception learning). Pada dimensi kedua, dibedakan antara belajar yang bersifat menghafal (rote learning) dan belajar bermakna (meaningful! learning). Dalam belajar menerima keseluruhan bahan pelajaran disajikan kepada si pelajar dalam bentuk yang sudah sempurna. Si pelajar tinggal menerima saja tanpa mengadakan usaha-usaha pengolahan, atau pemrosesan Iebih lanjut. Pada belajar mencari atau belajar diskoveri karena bahan ajar disajikan dalam, bentuk yang belum selesai, maka si pelajar harus berusaha mencari dan menyelesaikannya sendiri. Dalam belajar menghafal siswa berusaha menguasai bahan tanpa mengetahui maknanya, sedang pada belajar bermakna siswa mempelajari sesuatu bahan ajar dengan berusaha memahami makna atau artinya. Keempat tipe belajar tesebut sebenarnya hanya merupakan kencederungan- kecenderungan. Cenderung ke arah mencari atau menerima ke arah menghafal atau mendapatkan makna. Keseluruhan tipe belajar tersebut juga bisa
berkombinasi satu sama lain, membentuk tipe belajar menerima-bermakna, mencari bermakna, menghafal menerima, dan menghafal mencari.
a. Konsep-Konsep Dasar Ada dua hal penting dalam konsep belajar bermakna, yaitu struktur kognitif dan materi pengetahuan baru. Struktur kognitif merupakan segala pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebagai hasil dari kegiatan belajar yang lalu. Dalam belajar bermakna pengetahuan baru harus mempunyai hubungan atau dihubungkan dengan struktur kognitifnya. Hubungan tersebut akan terjadi karena adanya kesamaan isi (substantiveness) dan secara beraturan (non-arbitrer). Kedua sifat hubungan tersebut menunjukkan adanya kebermaknaan logis materi yang akan dipelajari. Jadi kebermaknaan logis ini merupakan sifat dari materi yang akan dipelajari, tetapi tidak berarti menjamin bahwa itu bermakna bagi siswa. Agar hal itu bermakna bagi siswa, ada dua tambahan persyaratan. Pertama, suatu materi memiliki kebermaknaan logis berarti bahwa materi tersebut dapat dihubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada pada siswa. Agar materi baru dapat difahami siswa, maka is sendiri harus memiliki materi yang sesuai dengan hal itu. Bila siswa dalam struktur kognitifnya telah memiliki materi, ide-ide yang sesuai, yang memungkinkan materi baru dapat dihubungkan padanya secara subtantif dan non-arbitrer, maka materi tersebut telah memiliki kebermaknaan potensial (potential meaningfulness).Kedua, suatu materi memiliki kebermaknaan potensial, sebab siswa dapat memberikan makna, tetapi hal itu bergantung pada kemauan siswa untuk memberi makna atau tidak. Apabila si siswa mempunyai kesiapan untuk memberi makna maka terjadilah belajar bermakna (meaningful learning). Kalau disimpulkan belajar bermakna ini menuntut tiga persyaratan: 1. Materi yang dipelajari harus dapat dihubungkan dengan struktur kognitif secara beraturan karena adanya kesamaan isi. 2. Siswa harus memiliki konsep yang sesuai dengan materi yang akan dipelajarinya. 3. Siswa harus mempunyai kemauan atau motif untuk menghubungkan konsep tersebut dengan struktur kognitifnya.
Makna merupakan hasil suatu proses belajar bermakna. Hal itu juga akan menjadi isi kognitif atau isi dari penyadaran yang muncul bila materi yang punya makna potensial dihubungkan dengan struktur kognitif. Belajar bermakna dan belajar manghafal bukan dua hal yang benar-benar bersifat dikotomis, tetapi hanya menunjukkan apakah sesuatu kegiatan belajar lebih mengarah pada bermakna atau kurang bermakna. Suatu kegiatan belajar yang kurang bermakna akan muncul apabila: 1. Materi yang dipelajari kurang memilik kebermaknaan logis. 2. Siswa kurang memiliki konsep-konsep yang sesuai dalam struktur kognitifnya. 3. Siswa kurang memiliki kesiapan untuk melakukan kegiatan belajar bermakna. Belajar bermakna akan menghasilkan konsep-konsep, ide-ide barn yang punya makna, penuh arti, jelas, nyata perbedaannya dengan yang lain. Konsep yang demikian tidak akan mudah digoyahkan dibandingkan dengan konsep- konsep yang dibentuk melalui hubungan atau asosiasi arbitrer. Dengan belajar bermakna, siswa akan menguasai dan mengingat konsep-konsep inti. Dalam belajar menghafal sering konsep inti dan konsep bukan inti berbaur dan saling menghambat, tetapi dalam belajar makna keduanya bisa dibedakan dengan jelas. Mengapa seseorang melakukan kegiatan belajar dengan menghafal Minimal ada tiga sebab utama: 1) Mereka belajar dari pengelaman yang kurang menyenangkan yang secara material memberikan jawaban yang benar, tetapi kurang memberikan hubungan yang bermakna. Adanya tuntutan memberikan jawaban yang bersifat fakta-fakta sering mendorong siswa untuk belajar dengan cara mengingat dan menghafal. 2) Siswa mengalami kecemasan yang cukup besar. Hal ini kemungkinan besar disebabkan karena ia gagal dalam menguasai pelajaran, atau karena kurang yakin akan kemampuan belajar bermakna. Untuk mengatasi kecemasan tersebut ia belajar dengan cara menghafal. 3) Siswa berada dalam suatu tekanan untuk selalu memperhatikan keberhasilan dan kelancaran belajar, atau menyembunyikan kekurangan-kekurangannya.
b. Macam-Macam Belajar Bermakna Makna merupakan isi dari struktur kognitif, yang terjadi karena materi yang memiliki kebermaknaan potensial disatukan dengan struktur kognitif. Proses penyatuan tersebut berbeda-beda dan dapat diletakkan dalam suatu hierarki dari yang bersifat represensional sampai dengan belajar tingkat tinggi, perbuatan belajar kreatif. Belajar represensional merupakan suatu proses belajar untuk mendapatkan arti atau makna dari simbol-simbol. Kalau orang tua mengatakan kucing sambil menunjuk seekor kucing, maka pada struktur kognitif anak akan terbentuk rangsangan internal yang akan memberi makna pada kata kucing sebagai binatang kucing. Kata kucing menjadi simbol yang mewakili binatang kucing. Melalui proses representasi tersebut anak akan mengenal banyak nama dan tiap benda punya nama sendiri. Belajar represensional juga berlaku bagi nama-nama bukan benda. Kata depan terjadi melalui hubungan antara dua objek seperti kucing di atas meja, air di dalam gelas dsb. Belajar konsep dapat mempunyai makna logis dan makna psikologis. Makna logis terbentuk melalui fenomena adanya benda-benda yang dikelompokkan karena memiliki ciri-ciri yang sama. Berbagai macam kucing dan harimau karena cirinya yang sama, dikelompokkan sebagai kucing. Dalam makna logis ada ciri-ciri utama yang menunjukkan sekumpulan sifat-sifat yang dimiliki oleh setiap anggota suatu kelas konsep. Ciri-ciri utama tersebut berbeda antara suatu kelas konsep dengan kelas yang lain. Makna psikologis suatu konsep terbentuk dalam dua tahap. Pada tahap pertama konsep terbentuk melalui pengalaman nyata. Secara induktif anak menemukan ciri-ciri utama benda-benda tertentu. Melalui permainan dengan bermacam-macam warna dan bentuk kubus anak akan memiliki konsep tentang kubus, walaupun tidak tahu namanya. Pada tahap berikutnya bila anak telah bersekolah ia belajar makna konsep secara formal dari nama dan kata-kata. Kedua tahap proses pembentukan makna konsep tersebut terjadi hampir dalam semua kegiatan anak belajar konsep. Pembentukan konsep selanjutnya terjadi melalui proses asimilasi yaitu definisi-definisi. Belajar proposisi. Proposisi atau kaidah merupakan suatu kalimat yang menunjukkan hubungan antara dua hal. Proposisi ini ada yang bersifat umum,
"binatang buas makan daging" yang berisi banyak konsep dan ada pula yang bersifat khusus, harimau makan kelinci yang hanya berisi satu konsep. Dalam belajar proposisi yang bermakna, kalimat yang dipelajari dihubungkan dengan konsep yang ada dalam struktur kognitif. Ada tiga macam cara menghubungkan: 1) Hubungan antar-bagian. Bahan baru yang dipelajari siswa merupakan bagian dari konsep-konsep yang telah ada. Dalam belajar hubungan antar-bagian ini ada dua macam bagian, yaitu bagian yang bersifat derivative dan correlative. Pada bagian derivative siswa melukiskan atau meneruskan hal yang dicakup dalam sutu proposisi. Contoh: "kucing memanjat pohon", bagian derivative- nya "kucing tetangga memanjat pohon saya". Dalam bagian correlative, belajar berfungsi memperluas, mengelaborisasi, memodifikasi proposisi- proposisi yang telah ada. Contoh anak telah mengenal jajaran genjang, dengan correlative preposition anak akan mengenal belah ketupat. 2) Hubungan superordinat. Bahan yang dipelajari merupakan superordinat dari konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya. Anak telah mengenal besar sudut segi tiga siku-siku 180 derajat, segi tiga sama sisi 180 derajat, dan sebagainya, maka dalam kegiatan belajar sampai pada proposisi bahwa jumlah sudut setiap segi tiga besarnya 180 derajat. 3) Hubungan kombinasi. Bahan yang dipelajari bukan merupakan bagian bukan juga superordinat dari yang telah ada, akan tetapi merupakan kombinasi dari banyak hubungan. Contohnya adalah belajar model. Belajar diskaveri atau mencari. Bahan yang dipelajari tidak disajikan secara tuntas tetapi membutuhkan beberapa kegia tan mental untuk menuntaskan dan menyatakannya dengan struktur kognitif. Belajar diskoveri terbagi atas dua macam kegiatan belajar, yaitu belajar pemecahan masalah dan belajar kreatif. Belajar pemecahan masalah, memiliki proses psikologis yang lebih kompleks dibandingkan dengan belajar proposisi. Dalam belajar pemecahan masalah, anak dihadapkan pada masalah-masalah yang memerlukan pemecahan. Guru mengajukan beberapa pertanyaan yang mengarahkan siswa agar menemukan pemecahan atau jawabannya sendiri.
Belajar kreatif. Kreativitas merupakan suatu kemampuan untuk meng- hasilkan sesuatu yang baru, baik baru bagi dirinya maupun orang lain. Belajar kreatif adalah siswa proses belajar merencanakan, melaksanakan, dan membuktikan sendiri•percobaan-percobaan. Mereka berusaha mencari hubungan antara konsep-konsep yang baru dan konsep-konsep yang telah ada pada struktur kognitifnya.
3. Hubungan macam-macam belajar dengan taksonomi Bloom Macam-macam belajar yang telah diuraikan sebelum ini, menunjukkan adanya beberapa kategori tingkah laku belajar, yaitu belajar bermakna, menghafal menerima, dan diskaveri. Belajar bermakna pun berbeda-beda pula dari yang bersifat represensional sampai dengan belajar kreatif. Karena adanya pengkategorian tersebut maka dapat dicari hubungannya dengan kategori belajar atau taksonomi dari. Bloom. Karena pengetahuan atau knowledge Bloom lebih banyak berhubungan dengan ingatan maka dapat dikelompokkan sebagai belajar menghafal (rote learning). Mulai dari pemahaman sampai dengan evaluasi dapat dikategorikan sebagai belajar bermakna. Belajar konsep dan preposisi dapat disamakan dengan pemahaman, pemecahan masalah dengan analitis dan kreativitas dengan sintesis yang sukar dimasukkan dalam kategori tersebut adalah aplikasi dan evaluasi. Dari pembandingan dengan taksonomi Bloom juga dapat ditarik kesimpulan bahwa macam-macam belajar bermakna ini, lebih menyangkut ranah kognitif. Ranah afektif dan psikomotor tidak tercakup dengan macam-macam kategori belajar ini.
4. Mengingat dan lupa Belajar merupakan proses menguasai makna dari sesuatu bahan pelajaran yang secara potensial bermakna. Mengingat merupakan suatu proses memelihara penguasaan sesuatu makna baru. Lupa merupakan kemunduran atau kehilangan penguasaan suatu makna yang telah dikuasai.
Suatu konsep baru dipelajari oleh individu, diingat untuk beberapa saat dan sebagian ada yang terlupakan. Proses ini terjadi dalam dua langkah: (1) penguasaan dan penyimpanan, (2) mengingat dan lupa. Penguasaan dan penyimpanan. Suatu konsep dipelajari dengan cara yang bermakna dan disatukan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif. Interaksi antara konsep baru dengan konsep-konsep yang telah ada menimbulkan suatu makna. Makna baru tersebut mungkin mengubah, memperluas, mempersempit konsep yang telah ada, tetapi dalam bebe rapa hal mungkin juga tidak mengubah konsep lama. Dalam struktur kognitif suatu konsep baru, tidak hanya berhubungan dengan suatu konsep tetapi dengan beberapa konsep yang telah ada. Kekuatan hubungan dengan masing-masing konsep tidak selalu sama, ada yang kuat sekali, lemah sekali di samping yang tidak berhubungan sama sekali. Mengingat dan lupa. Konsep-konsep baru yang kurang umum, melalui periode waktu bersatu atau berasimilasi dengan konsep-konsep yang telah ada. Keadaan tersebut dapat terjadinya pengurangan makna, karena terjadi pengurangan hubungan (reduksi). Karena proses asimilasi dan reduksi tersebut berjalan spontan dan berangsur-angsur maka konsep-konsep tersebut terlupakan. Ada dua tingkat kritis untuk mengingat kembali konsep yang terlupakan. Tingkat yang tertinggi berada pada tingkat yang berhubungan dengan mengingat kembali (recall). Bila suatu konsep di bawah tingkat recall maka anak tidak dapat mengingatnya kembali. Suatu konsep yang berada di bawah tingkat recall, mungkin masih terletak di atas tingkat recognition. Sesuatu yang terlupakan sama sekali, kalau dipelajari kembali akan terjadi recognition. Apabila dirangkumkan maka ada tiga faktor yang mempengaruhi penguasaan kembali konsep dari ingatan: 1) Kekuatan hubungan antara konsep yang telah ada dengan konsep baru. 2) Efektivitas usaha untuk menguasai kembali konsep yang terlupakan, baik yang memperkuat penguasaan kembali, maupun yang menghambat lupa. 3) Macam penguasaan apakah pada tingkat recall atau recognition.
5. Kelebihan belajar bermakna Suatu bahan dipelajari secara bermakna atau dihafal bergantung pada (1) sifat bahan apakah secara potensial bermakna atau tidak bermakna, (2) kesiapan si pelajar sendiri untuk melakukan belajar bermakna. Hasil belajar bermakna lebih lama dikuasai daripada belajar menghafal. Dengan demikian belajar bermakna lebih efisien dibandingkan dengan belajar menghafal. Hal itu disebabkan adanya hubungan yang substantif dan non-arbitrer dengan konsep-konsep yang ada dalam struktur kognitif. Keadaan demikian memungkinkan sejumlah besar bahan dapat disatukan dalam struktur kognitif dengan penguasaan yang lebih efektif. Hubungan suatu konsep yang dipelajari dengan bermakna dengan struktur kognitif menyebabkan konsep tersebut lebih lama dikuasai dalam ingatan. Dalam belajar yang bersifat menghafal hubungannya tidak mendalam, karena terjadi hubungan secara arbitrer, terputus- putus dan terisolasi.
6. Inhibisi proaktif dan retroaktif Salah satu penyebab utama dari lupa pada belajar bermakna adalah pengu- rangan makna dari suatu konsep dalam struktur kognitif. Pada belajar yang bersifat menghafal, masalah lupa disebabkan oleh hilangnya atau lemahnya asosiasi antara dua hal. Dalam belajar mengingat ada dua hambatan (inhibition) yang mungkin terjadi yaitu hambatan proaktif dan retroaktif. Hambatan proaktif merupakan hambatan dalam mengingat sesuatu karena adanya pengaruh dari bahan yang telah dipelajari lebih dahulu. Hambatan retroaktif merupakan hambatan dalam mengingat yang lama karena bahan baru. Ketimpangan isi yang diajarkan dan yang diingat. Sering terjadi perbedaan antara isi bahan yang diajarkan dengan diingat, hal itu dilatarbelakangi oleh beberapa hal: a. Ketidakjelasan, kekacauan, keraguan arti sesuatu konsep sejak awal proses belajar, karena kekurangtepatan makna konsep pokok dalam struktur kognitif. Kekurangstabilan dan kekurangjelasan konsepkonsep pokok tersebut, menyebabkan terjadinya perbedaan isi antara bahan baru dengan konsep pokok.
b. Pada saat memberikan penafsiran pertama terhadap bahan baru yang bersifat selektif, terjadi kesalahan dan penghilangan atau pengurangan ciri-ciri. Pada fase mengingat kembali bahan-bahan tersebut cenderung terjadi pengurangan terhadap konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif. Jika suatu bahan baru salah penafsirannya karena adanya kelainan dalam struktur kognitif, kesalahan tersebut akan menetap malah akan diperkuat pada masa- masa asimilasi. c. Kesalahan dan penyimpangan dapat terjadi bila suatu makna yang telah tersimpan dirumuskan kembali secara verbal. Dalam menerima suatu konsep baru terjadi "leveling" dan "sharpening". Leveling adalah penyusutan bentuk yang tidak lazim dalam bentuk yang lebih lazim, sedang sharpening adalah penajaman suatu konsep atau perangsang menjadi lebih sempurna lebih baik. Masalah lupa memiliki nilai positif dan juga nilai negatif. Nilai positifnya adalah menyeleksi ideide baru mana yang lebih stabil, lebih penting dan lebih memperkuat konsep-konsep yang telah ada, dan tidak mengingat semua perangsang yang masuk. Mengingat bermakna yaitu memasukkan konsep-konsep penting dalam struktur kognitif sangat penting bagi kegiatan belajar Iebih lanjut dan kegiatan- kegiatan pemecahan masalah sebab konsep-konsep tersebut merupakan pijakan dan bahan yang akan diolah dalam proses belajar selanjutnya. Penguasaan konsep- konsep penting sering mengabaikan konsep-konsep atau detail-detail yang kurang penting. Hal itu disebabkan bahan-bahan yang tidak penting sudah tercakup dalam hal-hal yang penting. Karena merasa sudah tercakup sering terlupakan. Sebab lain, terjadi karena bahan-bahan baru yang kurang penting tersebut dalam penyatuannya dengan yang telah ada kurang stabil, kurang kuat, kurang jelas sehingga mudah sekali terlupakan.
D. Kesiapan Belajar Tiap bahan pelajaran dapat diajarkan kepada anak secara efektif bila sesuai dengan tingkat perkembangan anak tersebut. Ada tiga masalah penting berkenaan dengan penyesuaian bahan ajar dengan perkembangan anak:
1. Perkernbangan intelek Hasil penelitian berkenaan dengan perkembangan intelek anak menun- jukkan, bahwa tiap tingkat perkembangan mempunyai karakteristik tertentu tentang cara anak melihat lingkungannya dan cara memberi arti bagi dirinya sendiri. Mengajarkan suatu bahan pelajaran kepada anak, adalah mempresentasikan struktur bahan pelajaran sesuai dengan cara anak memandang atau mengartikan bahan pelajaran tersebut. Pengajaran merupakan suatu translation. Suatu dugaan umum bahwa ide atau konsep dapat direpresentasikan dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya sesuai dengan tingkat pemikiran anak pada tingkat usia tertentu, dan representasi pertama diperkuat dan diperbaiki pada tingkat selanjutnya. Menurut Piaget, ada empat tingkat perkembangan anak: Tingkat pertama adalah tingkat Sensory motor, masa lahir sampai 2 tahun merupakan masa perkembangan kemampuan bergerak dan merespons terhadap rangsangan. Tingkat kedua, masa 2 sampai 7 tahun disebut tingkat Preoperasional. Tugas perkembangan anak pada masa ini terutama membentuk hubungan antara pengalaman dengan kegiatan. Melalui berbagai kegiatan anak bermanipulasi dengan lingkungan. Tingkat ini mulai dari perkembangan awal berbahasa sampai anak marnpu belajar bermanipulasi dengan simbol-simbol. Kemampuan simbolik utama yang harus dipelajari anak, adalah bagaimana merepresentasikan dunia luar melalui pembentukan simbol-simbol anak, tidak ada batas perbedaan antara motif dan peranan dirinya dengan kegiatan lingkungannya. Matahari bergerak karena didorong oleh Tuhan, dan bintang-bintang tidur seperti dia. Anak tidak dapat membedakan antara tujuan dengan cara atau alat untuk mencapainya. Hal itu karena anak lebih dipengaruhi oleh intuisi daripada oleh kegiatan simbolik, lebih banyak dipengaruhi perbuatan trial and error daripada hasil pemikiran. Kekurangan utama pada tingkat ini adalah anak belum memiliki konsep perbedaan atau perlawanan (reversibility). Bila suatu benda berubah anak belum dapat menangkap ide bahwa benda tersebut dapat dikembalikan pada keadaan asalnya. Kekurangan tersebut sering menghambat penguasaan ide dasar bidang studi tertentu terutama matematika dan fisika. Tingkat ketiga, masa antara 7 sampai 11 tahun, merupakan masa anak sekolah, disebut juga tingkat "concrete
operational". Tingkat ini merupakan tingkat operasional yang berbeda dengan tingkat pertama yang semata-mata hanya aktif. Operasi merupakan pengumpulan data tentang dunia sekitarnya, kemudian ditransformasikan sehingga dapat disusun dan digunakan secara selektif dalam memecahkan masalah. Operasi bersifat internalisasi dan reversible. Internalisasi berarti bahwa anak memecahkan masalah bukan dengan cara trial and error tetapi dengan pemikiran, trial and error digunakan untuk menjadi pembantu atau bahan pembanding pemikiran. Reversibility diperlukan, karena dalam operasi dibutuhkan adanya "complete compensation". Suatu operasi dapat dikompensasi dengan operasi sebaliknya. Pengurangan dikompensasi oleh penjumlahan, perkalian oleh pembagian. Dengan operasi konkret anak mengembangkan struktur internalnya. Struktur internal merupakan hal yang sangat esensial, karena dengan struktur internal anak mampu beroperasi. Pada diri anak ada sistem simbolik internal yang merepresentasikan dunia luar. Agar anak menguasai apa yang diajarkan, maka bahan ajar harus disesuaikan dengan "bahasa" struktur internal tersebut. Operasi konkret dibimbing oleh "logika kelas" dan "logika" hubungan yang merupakan alat penstrukturan kenyataan yang dihadapinya dan pernah dialaminya pada saat yang lalu, tetapi ma belum mampu menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang sama sekali asing baginya. Ini tidak berarti anak yang beroperasi secara konkret tidak mampu mengantisipasi hal-hal yang tidak ada. Anak belum mampu secara sistematik melampaui informasi yang diberikan, untuk mendeskripsikan apa yang terjadi. Tingkat keempat, masa antara 11 sampai dengan 14 tahun, merupakan tingkat "formal operation". Kegiatan intelektual anak didasarkan atas kemampuan beroperasi pada tingkat hipotetis dan bukan lagi pada tingkat pengalaman, atau terbatas pada apa yang telah dikenalnya. Seorang anak mampu memikirkan kemungkinan variabel-variabel, dan bahkan mampu mendeduksi hubungan potensial yang dapat dicek dengan percobaan atau pengamatan. Operasi intelektual telah berkembang sampai pada tingkat semacam operasi logis ahli logika, sarjana atau para pemikir lainnya. Pada tingkat ini anak mampu memberikan pernyataan formal atau pernyataan axiomatik pada ide-ide yang
konkret, sebelum langkah pemecahan masalah. Pada tingkat operasi konkret anak mampu menangkap secara intuitif dan konkret, sejumlah ide-ide dasar ilmu pengetahuan. Yang sangat penting dalam mengajarkan konsep-konsep dasar adalah anak dibantu untuk berkembang dari berpikir konkret pada menggunakan cara berpikir yang lebih konseptual. Hal itu akan sia-sia saja, bila guru mengajarkannya dengan cara menyajikan penjelasan-penjelasan formal yang didasarkan atas logika, kurang disesuaikan dengan cara berpikir anak serta kurang mengaplikasikannya. Dalam pengajaran matematika sering anak bukan belajar "aturan matematis", tetapi belajar menggunakan alatalat atau resep-resep matematis tanpa memahaminya. Perkembangan intelek anak bukanlah suatu rangkaian perkembangan yang bersifat tertutup, tetapi terbuka, merespons terhadap pengaruh lingkungannya terutama lingkungan sekolah. Perkembangan intelek anak perlu ditunjang oleh kesempatan-kesempatan yang berguna agar berkembang lebih pesat. Menurut David Page seorang ahli dan guru yang sangat berpengalaman dalam mengajar matematika, dalam pengajaran dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi dalam perkembangan intelek menunjukkan kecenderungan yang sama, bahwa anak lebih spontan, lebih kreatif, lebih energik dibandingkan dengan orang dewasa. Belajar anak dalam segala hal lebih cepat dibandingkan dengan orang tua.
2. Kegiatan belajar Belajar sesuatu bidang pelajaran, minimal meliputi tiga proses. Pertama, proses mendapatkan atau memperoleh informasi baru untuk melengkapi atau menggantikan informasi yang telah dimiliki atau menyempurnakan pengetahuan yang telah ada. Kedua, transformasi, yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas yang baru. Transformasi meliputi cara-cara mengolah informasi untuk sampai pada kesimpulan yang lebih tinggi. Ketiga, proses evaluasi untuk mengecek apakah manipulasi sudah memadai untuk dapat menjalankan tugas rnencapai sasaran. Apakah kesimpulan yang telah dilakukan dengan saksama, dapat dioperasikan dengan baik.
Dalam mempersiapkan bahan pelajaran, biasanya kita susun bahan pelajaran tersebut dalam rentetan episode (satuan pelajaran). Dalam tiap episode terdapat ketiga proses di atas. Episode belajar dapat panjang, juga dapat pendek, berisi banyak konsep, atau hanya beberapa konsep saja. Dalam menyajikan bahan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan murid, episode-episode bahan pelajaran, kita manipulasi dengan beberapa cara. Cara-cara yang biasa dilakukan adalah: memperpanjang atau memperpendek isi episode, memberikan ganjaran dalam bentuk pujian, pemberian gelar juara, dan sebagainya, mempersiapkan pertanyaan yang dapat memberikan motivasi intrinsik atau ekstrinsik.
3. Spiral Kurikulum Jika prinsip-prinsip perkembangan anak telah diperhatikan, bahan ajar telah disusun dalam urutan yang logis dan cukup mendorong perkembangan dan keadaan memungkinkan untuk memperkenalkannya seawal mungkin; apakah anak akan menjadi orang dewasa dan berpengetahuan. Bila sudah cukup berpengetahuan apakah menjadi orang dewasa yang lebih baik? Bila javvabannya cenderung ke arah tidak atau tidak jelas (ambigius), hal itu menunjukkan belum adanya keteraturan dalam mated, kurikulum. Kurikulum bukan sesuatu yang staffs tertutup, tetapi merupakan spiral terbuka. Kurikulum memiliki struktur bahan ajar, yang disusun atau dibentuk di sekitar prinsip-prinsip, masalah-masalah dan nilai-nilai dalam masyarakat. Kurikulum selalu membutuhkan baik anak didik maupun masyarakat sekitarnya.
E. Minat dan Motif Belajar Dalam perencanaan kurikulum sering dibedakan antara tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Seorang yang berpendirian lebih praktis lebih mengutamakan tujuan jangka pendek, yang dapat dicapai dengan penggunaan bahan yang singkat serta metode yang sederhana. Orang yang lebih ideal, lebih mengutamakan tujuan jangka panjang, karena tujuan jangka pendek tidak memberikan arah sama sekali. Kedua macam tujuan tersebut sama pentingnya dan diperlukan dalam pelaksanaan program. Tujuan jangka panjang merupakan tujuan akhir pendidikan (the end of education), penting, sebab merupakan sasaran akhir,
tetapi tujuan jangka pendek juga penting sebab dengan tujuan tersebut lebih konkret, lebih mudah dicapai dan akan selalu ditemukan tujuan yang baru menuju sasaran akhir. Pendidikan di Amerika Serikat dewasa ini sangat menekankan pada keunggulan (excellence). Masalahnya, untuk mencapai hal tersebut, apa yang harus diajarkan, bagaimana mengajarkannya serta bagaimana membangkitkan minat belajar murid. Pencapaian keunggulan bukan hanya bagi anak-anak yang cerdas tetapi juga ditujukan bagi anak-anak biasa. Konsep pendidikan atau pengajaran hanya dipersiapkan bagi anak ratarata agar sesuai bagi setiap kelompok anak, adalah kurang tepat. Persoalannya, bagaimana menyiapkan bahan pengajaran yang dapat merangsang minat belajar anak cerdas, tetapi juga tidak mematikan minat atau tetap mendorong minat belajar anak-anak yang tidak cerdas. Untuk mencapai cita-cita pendidikan unggul dibutuhkan kurikulum yang sesuai, pendidikan guru yang efektif, menggunakan alat-alat bantu pengajaran yang cukup serta diciptakan berbagai usaha pemberian motivasi. Pembangkitan motif belajar pada anak, sukar dilaksanakan apabila proses belajar lebih menekankan pada satuan-satuan kurikulum, sistem kenaikan kelas, sistem ujian, serta mengutamakan kontinuitas dan pendalaman belajar. Mengenai pemusatan perhatian dan minat belajar terletak dalam suatu kontinum yang bergerak dari sikap apatis atau sama sekali tidak menaruh minat sampai dengan yang sangat berminat. Minat atau perhatian belajar ini sangat berhubungan dengan kegiatan belajar. Kegiatan belajar juga bergerak dari yang aktif, yang berbentuk suatu proyek yang berisi kegiatan kompetitif, yang banyak membangkitkan minat belajar anak sampai dengan kegiatan yang bersifat excessive yakni setiap anak secara pasif menanti giliran penugasan, yang banyak memberikan kebosanan dan apatisme. Pembangkitan minat belajar pada anak, ada yang bersifat sementara (jangka pendek), dan ada juga yang lebih bersifat menetap (jangka panjang). Terdapat perbedaan usaha untuk membangkitkan minat yang bersifat sementara dengan yang lebih bersifat menetap. Penggunaan film, audio visual aid, dan lain- lain dapat membangkitkan minat yang bersifat sementara. Untuk yang lebih berjangka lama, film, audio visual aid, dan lain-lain dapat menimbulkan
kepasifan. Film dan audio visual aid merupakan alat yang berorientasi pada hiburan, seperti halnya kebudayaan komunikasi massa dapat menimbulkan kepasifan dan sikap monoton. Sikap belajar menonton yang pasif (the spectator's possitivy) merupakan hal yang membahayakan dalam perkembangan anak. Untuk membangkitkan minat yang lebih bersifat menetap (jangka panjang), langkah pertama yang harus diusahakan adalah membangkitkan otonomi yang aktif, yang merupakan lawan dari kepenontonan yang pasif. Motif belajar pada anak umumnya campuran, antara yang bersifat sementara, antara otonomi aktif dengan menonton. Beberapa hal dapat diusahakan untuk membangkitkan motif belajar pada anak yaitu pemilihan bahan pengajaran yang berarti bagi anak, menciptakan kegiatan belajar yang dapat membangkitkan dorongan untuk menemukan (discovery), menerjemahkan apa yang akan diajarkan dalam bentuk pikiran yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Sesuatu bahan pengajaran yang berarti bagi anak yang disajikan dalam bentuk yang sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir anak, dan disampaikan dalam bentuk anak lebih aktif, anak banyak terlibat dalam proses belajar dapat membangkitkan motif belajar yang lebih berjangka panjang. Salah satu sistem untuk membangkitkan motif belajar para siswa, yang sekarang sedang dikembangkan adalah yang disebut meritocracy. Meritocracy merupakan sistem pengajaran yang menekankan pada kompetisi atau persaingan. Dalam sistem meritocracy siswa mempunyai kesempatan untuk maju terus sesuai dengan prestasi belajar yang dicapainya. Posisi dalam sekolah selanjutnya ditentukan oleh record di sekolah sebelumnya. Kesempatan pendidikan selan- jutnya bahkan juga kesempatan pekerjaan selanjutnya, ditentukan oleh sukses sebelumnya. Dalam sistem meritocracy anak yang pandai dapat berkembang pesat, jauh meninggalkan teman-temannya, tetapi sebaliknya anak yang kurang pandai akan jauh tertinggal. Sistem meritocracy dapat membangkitkan motif yang sangat besar bagi anakanak yang pandai, tetapi dapat mematahkan semangat anak- anak yang kurang. Sistem meritocracy selain mempunyai beberapa kebaikan, juga mempunyai beberapa efek negatif terutama berkenaan dengan suasana belajar.
Efek yang kurang baik dalam suasana belajar dapat dikontrol dengan perencanaan yang matang. Dalam sekolah yang menekankan sistem kompetitif, dibutuhkan usaha- usaha remedial terutama untuk anak-anak lambat belajar. Penyuluhan khusus sering dibutuhkan bukan saja oleh anak-anak yang lambat tetapi juga anak cepat. Remedial dan penyuluhan bukan satu-satunya jawaban untuk mengatasi masalah belajar yang bersifat kompetitif. Salah satu kelemahan sistem meritocracy adalah terlalu menekankan pada science dan teknologi, pelajaran yang berkenaan dengan humanisme kurang sekali. Hal itu dapat diatasi dengan menggunakan sistem pendidikan yang pluralistis. Pendidikan seni, musik, drama serta pendidikan humanitas lainnya sangat membantu untuk mencapai keseimbangan.
F. Buku Acuan
Hosyom, John. (1985). Inquiring Into the Teaching Process. Toronto, Ontario: OISE Press/The Ontariao Institut for Study in Education. Sesuai dengan judul bukunya, inquiring, tulisan ini mengajak dan mendorong para pelaksana pendidikan terutama guru, kepala sekolah, pengawas, ahli kurikulum, serta administrator pendidikan untuk lebih memahami apa yang secara nyata berlangsung dalam kelas. Agar para pelaksana dan juga perencana pendidikan mempunyai pemahaman yang mendalam tentang situasi pendidikan, mereka perlu memahami pemikiran guru, kegiatan guru dalam kelas, kegiatan siswa serta pemikiran siswa. Dengan dasar pemahaman di atas para pelaksana pendidikan, terutama guru dapat melaksanakan pengajaran dan memonitor perkembangannya. Sebagai dasar pemahaman situasi pendidikan mereka harus mempunyai pengetahuan ten- tang pendidikan yang baik. Untuk melaksanakan pengajaran yang baik, mereka harus menguasai pula peranan profesional dari guru serta prosedur pelaksanaan pengajaran. Dengan buku ini para perencana dan pelaksana pendidikan diajak, didorong untuk berpikir, berbuat dan mengadakan studi sendiri, berinkuiri dalam profesinya.
Joice, Bruce R., et.al. (1981). Flexibility in Teaching. New York, London: Longman. Konsep yang ingin disampaikan dalam buku ini ialah suatu keyakinan bahwa esensi dari pengajaran adalah fleksibilitas. Pengajaran merupakan suatu kehidupan yang berisi hubungan simbiosis antara guru dengan siswa, tetapi sering penuh dengan frustrasi dan kegembiraan, hukuman, dan ganjaran. Dalam buku ini digambarkan bahwa pengajaran adalah suatu perbuatan yang gentleman, suatu adaptasi alamiah antara seorang dengan yang lain. Pendidikan guru memegang peranan penting untuk mengembangkan fleksibilitas dalam interaksi. Fleksibilitas merupakan karakteristik dasar yang harus dimiliki guru, agar is dapat mengem- bangkan kreativitasnya sendiri, membantu kreativitas siswa dan mengkreatifkan sekolahnya. Selanjutnya dalam buku tersebut diuraikan, konteks sosial dan teknis pengajaran, penyesuaian pengajaran dengan segisegi kepribadian siswa, model- model mengajar dan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan pengajaran yang menekankan fleksibilitas. Bedwell, Lance E., et al. (1984). Effecitve Teaching: Preparation and Implementa- tion. Springfield, Illinois: Charles and Thomas, Publication. Keseluruhan isi buku ini memberikan pegangan tentang bagaimana melaksanakan suatu pengajaran secara efektif. Pengajaran yang efektif tidak lahir begitu saja tetapi harus dipelajari, dipersiapkan dan dilatih, sama dengan guru yang baik tidak dilahirkan tetapi dibuat. Dalam buku ini diuraikan secara rinci berbagai peran guru sebagai pengajar. Guru sebagai perencana pengajaran, sebagai komunikator informasi, sebagai pelaku yang efektif. Guru juga sebagai ahli strategi pengajaran, sebagai manajer tingkah laku siswa dan evaluator perkembangan siswa. Pada bagian akhir buku ini diuraikan juga bagaimana merencanakan dan melaksanakan pengajaran yang efektif. Fenstermacher, Gary D. and Soltis, Jonas F. (1986). Approaches to Teaching. New York, London: Teachers College, Columbia University. Pendekatan mengajar merupakan hal yang sangat penting dalam pengajaran, sebab hal itu akan sangat mempengaruhi perilaku siswa. Bertolak dari kenyataan itu, buku ini menguraikan beberapa pendekatan dalam mengajar. Secara garis besar ada tiga pendekatan, yaitu pendekatan: executive, therapist dan
liberationist. Dalam pendekatan eksekutif, guru sebagai eksekutor sebagai ekspert yang memberikan pelajaran-pelajaran tertentu dengan teknik-teknik tertentu dengan sangat terampil. Menurut pendekatan therapist guru adalah orang yang empathetik yang berfungsi membantu perkembangan individu secara pribadi mencapai tingkat self actualization yang tinggi dengan penuh pengertian dan penerimaan. Pendekatan liberationist memandang guru sebagai liberator, pembebas pribadi siswa, pengembang pribadi yang utuh, otonomi, rasional dan bermoral. Dalam buku itu juga diuraikan bagaimana menerapkan ketiga pendekatan tersebut, dilengkapi dengan beberapa kasus dan cara pemecahannya.
BAB 8 PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum Kurikulum merupakan rancangan pendidikan yang merangkum semua pengalaman belajar yang disediakan bagi siswa di sekolah. Dalam kurikulum terintegrasi filsafat, nilai-nilai, pengetahuan, dan perbuatan pendidikan. Kurikulum disusun oleh para ahli pendidikan/ahli kurikulum, ahli bidang ilmu, pendidik, pejabat pendidikan, pengusaha serta unsurunsur masyarakat lainnya. Rancangan ini disusun dengan maksud memberi pedoman kepada para pelaksana pendidikan, dalam proses pembimbingan perkembangan siswa, mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh siswa sendiri, keluarga, maupun masyarakat. Kelas merupakan tempat untuk melaksanakan dan menguji kurikulum. Di sana semua konsep, prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat, dan kemampuan guru diuji dalam bentuk perbuatan, yang akan mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata dan hidup. Pewujudan konsep, prinsip, dan aspek-aspek kurikulum tersebut seluruhnya terletak pada guru. Oleh karena itu, gurulah pemegang kunci pelaksanaan dan keberhasilan kurikulum. Dialah sebenarnya perencana, pelaksana, penilai, dan pengembang kurikulum sesungguhnya. Suatu kurikulum diharapkan memberikan landasan, isi, dan, menjadi pedoman bagi pengembangan kemampuan siswa secara optimal sesuai dengan tuntutan dan tantangan perkembangan masyarakat.
1. Prinsip-prinsip umum Ada beberapa prinsip umum dalam pengembangan kurikulum. Pertama, prinsipreigansi. Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki kurikulum, yaitu relevan ke luar dan relevansi di dalam kurikulum itu sendiri. Relevansi ke luar maksudnya tujuan, isi, dan proses belajar yang tercakup dalam kurikulum hendaknya relevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembangan masyarakat. Kurikulum menyiapkan siswa untuk bisa hidup dan bekerja dalam masyarakat. Apa yang tertuang dalam kurikulum hendaknya mempersiapkan siswa untuk tugas
tersebut. Kurikulum bukan hanya menyiapkan anak untuk kehidupannya sekarang tetapi juga yang akan datang. Kurikulum juga harus memiliki relevansi di dalam yaitu ada kesesuaian atau konsistensi antara komponen-komponen kurikulum, yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian, dan penilaian. Relevansi internal ini menunjukkan suatu keterpaduan kurikulum. Prinsip kedua adalah fleksibilitas, kurikulum hendaknya memilih sifat lentur atau fleksibel. Kurikulum mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang, di sini dan ditempat lain, bagi anak yang memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda. Suatu kurikulum yang baik adalah kurikulum yang berisi hal-hal yang solid, tetapi daram pelaksanaannya memung inkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kondisi daera aktu maupun kemampuan, dan latar belakang anak. Prinsip ketiga adalah kontinuitas yaitu kesinambungan. Perkembangan dan proses belajar anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus-putus atau berhenti-henti. Oleh karena itu, pengalamanpengalaman belajar yang disediakan kurikulum juga hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat kelas, dengan kelas lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang lainnya, juga antara jenjang pendidikan dengan pekerjaan. Pengembangan kurikulum perlu dilakukan serempak bersama-sama, perlu selalu ada komunikasi dan kerja sama antara para pengembang kurikulum sekolah dasar dengan SMTP, SMTA, dan Perguruan Tinggi. Prinsip keempat adalah praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alat- alat sederhana dan biayanya juga murah. Prinsip ini juga disebut prinsip efisiensi. Betapapun bagus dan idealnya suatu kurikulum kalau menuntut keahlian-keahlian dan peralatan yang sangat khusus dan mahal pula biayanya, maka kurikulum tersebut tidak praktis dan sukar dilaksanakan. Kurikulum dan pendidikan selalu dilaksanakan dalam keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan waktu, biaya, alat, maupun personalia. Kurikulum bukan hanya harus ideal tetapi juga praktis. Prinsip kelima adalah efektivitas. Walatipun kurikulum tersebut hams murah, sederhana, dan murah tetapi keberhasilannya tetap harus diperhatikan. Keberhasilan pelaksanaan kurikulum ini baik secara kuantitas maupun kualitas. Pengembangan suatu kurikulum tidak dapat dilepaskan dan merupakan
penjabaran dari perencanaan pendidikan. Perencanaan di bidang pendidikan juga merupakan bagian yang dijabarkan dari kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah di bidang pendidikan. Keberhasilan kurikulum akan mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Kurikulum pada dasarnya berintikan empat aspek utama yaitu: tujuan- tujuan pendidikan, isi pendidikan, pengalaman belajar, dan penilaian. Interelasi antara keempat aspek tersebut serta antara aspek-aspek tersebut dengan kebijaksanaan pendidikan perlu selalu mendapat perhatian dalam pengembangan kurikulum. Visualisasi kerangka berpikir tersebut dapat dilihat pada bagan berikut:
BAGAN 8. Hubungan kurikulum dengan pembangunan pendidikan
2. Prinsip-prinsip khusus Ada beberapa prinsip yang lebih khusus dalam pengembangan kurikulum. Prinsip-prinsip ini berkenaan dengan penyusunan tujuan, isi, pengalaman belajar, dan penilaian. Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan Tujuan menjadi pusat kegiatan dan arah semua kegiatan pendidikan. Perumusan komponen-komponen kurikulum hendaknya mengacu pada tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan mencakup tujuan yang bersifat umum atau berjangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek (tujuan khusus). Perumusan tujuan pendidikan bersumber pada: 1. Ketentuan dan kebijaksanaan pemerintah, yang dapat ditemukan dalam dokumen-dokumen lembaga negara mengenai tujuan, dan strategi pembangunan termasuk di dalamnya pendidikan; 2. Survai mengenai persepsi orang tua/masyarakat tentang kebutuhan memka yang dikirimkan melalui angket atau wawancara dengan mereka; 3. Survai tentang pandangan para ahli dalam bidang-bidang tertentu, dihimpun melalui angket, wawancara, observasi, dan dari berbagai media massa; 4. Survai tentang manpower; 5. Pengalaman negara-negara lain dalam masalah yang sama; 6. Penelitian.
Prinsip berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan Memilih isi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan yang telah ditentukan para perencana kurikulum perlu mempertimbangkan beberapa hal. 1. Perlu penjabaran tujuan pendidikan/pengajaran ke dalam bentuk perbuatan hasil belajar yang khusus dan sederhana. Makin umum suatu perbuatan hasil belajar dirumuskan semakin sulit menciptakan pengalaman belajar; 2. Isi bahan pelajaran harus meliputi segi pengetahuan, sikap, dan keterampilan; 3. Unit-unit kurikulum harus disusun dalam urutan yang logis dan sistematis. Ketiga ranah belajar, yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan diberikan secara simultan dalam urutan situasi belajar. Untuk hal tersebut diperlukan
buku pedoman guru yang memberikan penjelasan tentang organisasi bahan dan alat pengajaran secara lebih mendetail.
Prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar Pemilihan proses belajar mengajar yang digunakan hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Apakah metode/teknik belajar-mengajar yang digunakan cocok untuk mengajarkan bahan pelajaran? 2. Apakah metode/teknik tersebut memberikan kegiatan yang bervariasi sehingga dapat melayani perbedaan individual siswa? 3. Apakah metode/teknik tersebut memberikan urutan kegiatan yang bertingkat-tingkat? 4. Apakah metode/ teknik tersebut dapat menciptakan kegiatan untuk mencapai tujuan kognitif, afektif dan psikomotor? 5. Apakah metode/teknik tersebut lebih mengaktifkan siswa, atau mengaktifkan guru atau kedua-duanya? 6. Apakah metode/teknik tersebut mendorong berkembangnya kemampuan baru? 7. Apakah metode/teknik tersebut menimbulkan jalinan kegiatan belajar di sekolah dan di rumah, juga mendorong penggunaan sumber yang ada di rumah dan di masyarakat? 8. Untuk belajar keterampilan sangat dibutuhkan kegiatan belajar yang menekankan "learning by doing" di samping "learning by seeing and knowing".
Prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pengajaran Proses belajar-mengajar yang baik perlu didukung oleh penggunaan media dan alat-alat bantu pengajaran yang tepat. 1. Alat/media pengajaran apa yang diperlukan. Apakah semuanya sudah tersedia? Bila alat tersebut tidak ada apa penggantinya? 2. Kalau ada alat yang harus dibuat, hendaknya memperhatikan: bagaimana pembuatannya, siapa yang membuat, pembiayaannya, waktu pembuatan?
3. Bagaimana pengorganisasian alat dalam bahan pelajaran, apakah dalam bentuk modul, paket belajar, dan lain-lain? 4. Bagaimana pengintegrasiannya dalam keseluruhan kegiatan belajar? 5. Hasil yang terbaik akan diperoleh dengan menggunakan multi media.
Prinsip berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian Penilaian merupakan bagian integral dari pengajaran: 1. Dalam penyusunan alat penilaian (test) hendaknya diikuti langkahlangkah sebagai berikut: Rumuskan tujuan-tujuan pendidikan yang umum, dalam ranahranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Uraikan ke dalam bentuk tingkah- tingkah laku murid yang dapat diamati. Hubungkan dengan bahan pelajaran. Tuliskan butir-butir test. 2. Dalam merencanakan suatu penilaian hendaknya diperhatikan beberapa hal; Bagaimana kelas, usia, dan tingkat kemampuan kelompok yang akan ditest? Berapa lama waktu dibutuhkan untuk pelaksanaan test? Apakah test tersebut berbentuk uraian atau objektif? Berapa banyak butir test perlu disusun? Apakah tes tersebut diadministrasikan oleh guru atau oleh murid? 3. Dalam pengolahan suatu hasil penilaian hendaknya diperhatikan halhal sebagai berikut: Norma apa yang digunakan di dalam pengolahan hasil test? Apakah digunakan formula guessing? Bagaimana pengubahan skor ke dalam skor masak? Skor standar apa yang digunakan? Untuk apakah hasil-hasil test digunakan?
B. Pengembang Kurikulum Dalam mengembangkan suatu kurikulum banyak pihak yang turut berpartisipasi, yaitu: administrator pendidikan, ahli pendidikan, ahli kurikulum,
ahli bidang ilmu pengetahuan, guru-guru, dan orang tua murid serta tokoh-tokoh masyarakat. Dari pihak-pihak tersebut yang secara terusmenerus turut terlibat dalam pengembangan kurikulum adalah: administrator, guru, dan orang tua. 1. Peranan para administrator pendidikan Para administrator pendidikan ini terdiri atas: direktur bidang pendidikan, pusat pengembangan kurikulum, kepala kantor wilayah, kepala kantor kabupaten dan kecamatan serta kepala sekolah. Peranan para administrator di tingkat pusat (direktur dan kepala pusat) dalam pengembangan kurikulum adalah menyusun dasar-dasar hukum, menyusun kerangka dasar serta program inti kurikulum. Kerangka dasar dan program inti tersebut akan menentukan minimum course yang dituntut. Administrator tingkat pusat bekerja sama dengan para ahli pendidikan dan ahli bidang studi di Perguruan Tinggi serta meminta persetujuannya terutama dalam penyusunan kurikulum sekolah. Atas dasar kerangka dasar dan program inti tersebut para administrator daerah (kepala kantor wilayah) dan administrator lokal (kabupaten, kecamatan dan kepala sekolah) mengembangkan kurikulum sekolah bagi daerahnya yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Para kepala sekolah mempunyai wewenang dalam membuat operasionalisasi sistem pendidikan pada masing-masing sekolah. Para kepala sekolah ini sesungguhnya yang secara terus menerus terlibat dalam pengembangan dan implementasi kurikulum, memberikan dorongan dan bimbingan kepada guru-guru. Walaupun guru dapat mengembangkan kurikulum sendiri, tetapi dalam pelaksanaannya sering harus didorong dan dibantu oleh para administrator. Administrator lokal harus bekerja sama dengan kepala sekolah dan guru dalam mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mengkomunikasikan sistem pendidikan kepada masyarakat, serta mendorong pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru di kelas. Peranan kepala sekolah lebih banyak berkenaan dengan implementasi kurikulum di sekolahnya. Kepala sekolah juga mempunyai peranan kunci dalam menciptakan kondisi untuk pengembangan kurikulum di sekolahnya. la merupakan figur kunci di sekolah, kepemimpinan kepala sekolah sangat mempengaruhi suasana sekolah dan pengembangan kurikulum.
2. Peranan para ahli Pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas perubahan tuntutan kehidupan dalam masyarakat, tetapi juga perlu dilandasi oleh perkembangan konsep-konsep dalam ilmu. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum membutuhkan bantuan pemikiran para ahli, baik ahli pendidikan, ahli kurikulum, maupun ahli bidang studi/disiplin ilmu. Mengacu pada kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditetapkan pemerintah, baik kebijaksanaan pembangunan secara umum maupun pembangunan pendidikan, perkembangan tuntutan masyarakat, dan masukan-masukan dari pelaksaman pendidikan dan kurikulum yang sedang berjalan, para ahli pendidikan dan kurikulum memberikan alternatif konsep pendidikan dan model kurikulum yang dipandang paling sesuai dengan keadaan dan tuntutan di atas. Pengembangan kurikulum bukan hanya sekadar memilih dan menyusun bahan pelajaran dan metode mengajar, tetapi menyangkut penentuan arah dan orientasi pendidikan, pemilihan sistem dan model kurikulum, baik model konsep, model desain, model pembelajaran, model media, model pengelolaan, maupun model evaluasinya, serta berbagai perangkat dan pedoman penjabaran serta pedoman implementasi dari model-model tersebut. Partisipasi para ahli pendidikan dan ahli kurikulum terutama sangat dibutuhkan dalam pengembangan kurikulum pada tingkat pusat. Apabila pengembangan kurikulum sudah banyak dilakukati pada tingkat daerah atau lokal, maka pertisipasi mereka pada tingkai daerah, lokal bahkan sekolah juga sangat diperlukan, sebab apa yany; telah digariskan pada tingkat pusat belum tentu dapat dengan mudali dipahami oleh para pengembang dan pelaksana kurikulum di daerah. Pengembangan kurikulum juga membutuhkan partisipasi para ahli bidang studi/bidang ilmu yang juga mempunyai wawasan tentang pendidikan serta perkembangan tuntutan masyarakat. Sumbangan mereka dalam memilih materi bidang ilmu, yang mutakhir dan sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyarakat sangat diperlukan. Mereka juga sangat diharapkan partisipasinya dalam menyusun materi ajaran dalam sekuens yang sesuai dengan struktur keilmuan tetapi sangat memudahkan para siswa untuk mempelajarinya.
3. Peranan guru Guru memegang peranan yang cukup penting baik di dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Dia adalah perencana, pelaksana, dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Sekalipun ia tidak mencetuskan sendiri konsep-konsep tentang kurikulum, guru merupakan penerjemah kurikulum yang datang dari atas. Dialah yang mengolah, meramu kembali kurikulum dari pusat untuk disajikan di kelasnya. Karena guru juga merupakan barisan pengembang kurikulum yang terdepan maka guru pulalah yang selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kurikulum. Peranan guru bukan hanya menilai perilaku dan prestasi belajar murid- murid dalam kelas, tetapi juga menilai implementasi kurikulum dalam lingkup yang lebih luas. Hasil-hasil penilaian demikian akan sangat membantu pengembangan kurikulum, untuk memahami hambatanhambatan dalam implementasi kurikulum dan juga dapat membantu mencari cara untuk mengoptimalkan kegiatan guru. Guru juga bukan hanya berperan sebagai guru di dalam kelas, ia juga seorang komunikator, pendorong kegiatan belajar, pengembang alat-alat belajar, pencoba, penyusunan organisasi, manajer sistem pengajaran, pembimbing baik di sekolah maupun di masyarakat dalam hubungannya dengan pelaksanaan pendidikan seumur hidup. Guru juga berperan sebagai pelajar dalam masyarakatnya, sebab ia harus selalu belajar struktur sosial masyarakat, nilai-nilai utama masyarakat, pola-pola tingkah laku dalam masyarakat. Hal-hal di atas diperlukan untuk mempersiapkan guru dalam berbagai situasi dan kegiatan pendidikan. Sebagai pelaksana kurikulum maka guru pulalah yang menciptakan kegiatan belajar mengajar bagi murid-muridnya. Berkat keahlian, keterampilan dan kemampuan seninya dalam mengajar, guru mampu menciptakan situasi belajar yang aktif yang menggairahkan yang penuh kesungguhan dan mampu mendorong kreativitas anak.
4. Peranan orang tua murid Orang tua juga mempunyai peranan dalam pengembangan kurikulum. Peranan mereka dapat berkenaan dengan dua hal: pertama dalam penyusunan kurikulum dan kedua dalam pelaksanaan kurikulum. Dalam penyusunan kurikulum mungkin tidak semua orang tua dapat ikut serta, hanya terbatas kepada beberapa orang saja yang cukup waktu dan mempunyai latar belakang yang memadai. Peranan orang tua lebih besar dalam pelaksanaan kurikulum. Dalam pelaksanaan kurikulum diperlukan kerja sama yang sangat erat antara guru atau sekolah dengan para orang tua murid. Sebagian kegiatan belajar yang dituntut kurikulum dilaksanakan di rumah, dan orang tua sewajarnya mengikuti atau mengamati kegiatan belajar anaknya di rumah. Orang tua juga secara berkala menerima laporan kemajuan anak-anaknya dari sekolah berupa rapor dan sebagainya. Rapor juga merupakan suatu alat komunikasi tentang program atau kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah. Orang tua juga dapat hind berpartisipasi dalam kegiatan di sekolah melalui berbagai kegaitan seperti diskusi, lokakarya, seminar, pertemuan orang tua-guru, pameran sekolah, dan sebagainya. Melalui pengamatan dalam kegiatan belajar di rumah, laporan sekolah, partisipasi dalam kegiatan sekolah orang tua dapat turut serta dalam pengembangan kurikulum terutama dalam bentuk pelaksanaan kegiatan belajar yang sewajarnya, minat yang penuh, usaha yang sungguh-sungguh, penyelesaian tugas-tugas serta partisipasi dalam setiap kegiatan di sekolah. Kegiatan-kegiatan tersebut akan memberikan umpan balik bagi penyempumaan kurikulum.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum Sekolah mendapatkan pengaruh dari kekuatan-kekuatan yang ada dalain masyarakat, terutama dari perguruan tinggi dan masyarakat.
1. Perguruan tinggi Kurikulum minimal mendapat dua pengaruh dari Perguruan Tinggi. Pertama, dari pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan di perguruan tinggi umum. Kedua, dari pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta penyiapan guru-guru di Perguruan Tinggi Keguruan (Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan). Telah diuraikan terdahulu bahwa pengetahuan dan teknologi banyak memberikan sumbangan bagi isi kurikulum serta proses pembelajaran. Jenis pengetahuan yang dikembangkan di Perguruan Tinggi akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan dalam kurikulum. Perkembangan teknologi selain menjadi isi kurikulum juga mendukung pengembangan alat bantu dan media pendidikan. Kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan juga mem- pengaruhi pengembangan kurikulum, terutama melalui penguasaan ilmu dan kemampuan keguruan dari guru-guru yang dihasilkannya. Penguasaan ilmu, baik ilmu pendidikan maupun bidang studi serta kemampuan mengajar dari guru-guru akan sangat mempengaruhi pengembangan dan implementasi kurikulum di sekolah. Guru-guru yang mengajar pada berbagai jenjang dan jenis sekolah yang ada dewasa ini, umumnya disiapkan oleh LPTK (IKIP, FKIP, STKIP) melalui berbagai program, yaitu program D2, D3 dan Sl. Pada Sekolah Dasar masih banyak guru berlatar belakang pendidikan SPG dan SGO, tetapi secara berangsur- angsur mereka akan mengikuti program penyetaraan D2.
2. Masyarakat Sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan mempersiapkan anak untuk kehidupan di masyarakat. Sebagai bagian dan agen dari masyarakat, sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat di mana sekolah tersebut berada. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi dan dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat yang ada di sekitar sekolah mungkin merupakan masyarakat homogen atau heterogen, masyarakat kota atau desa, petani, pedagang atau pegawai, dan sebagainya. Sekolah harus melayani aspirasi-aspirasi yang ada di masyarakat. Salah satu kekuatan yang ada dalam masyarakat adalah dunia usaha. Perkembangan dunia usaha yang ada di masyarakat mempengaruhi pengembangan kurikulum sebt sekolah bukan hanya mempersiapkan anak untuk hidup, tetapi juga untuk bekerja dan berusaha. Jenis pekerjaan dan perusahaan yang ada di masyarakat menuntut persiapannya di sekolah.
3. Sistem nilai Dalam kehidupan masyarakat terdapat sistem nilai, baik nilai moral, keagamaan, sosial, budaya maupun nilai politis. Sekolah sebagai lembaga masyarakat juga bertanggung jawab dalam pemeliharaan dan penerusan nilai- nilai. Sistem nilai yang akan dipelihara dan diteruskan tersebut harus terintegrasikan dalam kurikulum. Masalah utama yang dihadapi para pengembang kurikulum menghadapi nilai ini adalah, bahwa dalam masyarakat nilai itu tidak hanya satu. Masyarakat umumnya heterogen dan multifaset. Masyarakat memiliki kelompok-kelompok etnis, kelompok vokasional, kelompok intelek, kelompok sosial, spiritual dan sebagainya yang tiap kelompok sering memiliki nilai yang berbeda. Dalam masyarakat Ingo terdapat aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, fisik, estetika, etika, chr,iiis, dan sebagainya A..pek-aspek tersebut sering juga mengandung nilai-nilai yang berbeda. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guru dalam mengajarkan nilai: (1) guru hendaknya mengetahui dan memperhatikan semua nilai yang ada dalam masyarakat, (2) guru hendaknya berpegang pada prinsip demokrasi, etis, dan moral, (3) guru berusaha menjadikan dirinya sebagai teladan yang patut ditiru, (4) guru menghargai nilai-nilai kelompok lain, (5) memahami dan menerima keragaman kebudayaan sendiri.
D. Artikulasi dan Hambatan Pengembangan Kurikulum Artikulasi dalam pendidikan berarti "kesatupaduan dan koordinasi segala pengalaman belajar". Untuk merealisasikan artikulasi kurikulum, perlu meneliti kurikulum secara menyeluruh, membuang hal-hal yang tidak diperlukan, menghilangkan duplikasi, merevisi metode serta isi pengajaran, mengusahakan perluasan dan kesinambungan kurikulum. Bila artikulasi dilaksanakan dengan baik akan terwujud kesinambungan pengalaman belajar sejak TK sampai Perguruan Tinggi, juga antara satu bidang studi dengan bidang studi lainnya secara horizontal. Tanpa artikulasi akan terdapat keragaman baik dalam isi, metode maupun perhatian terhadap perkembangan anak. Untuk menyusun artikulasi kurikulum diperlukan kerja sama dari berbagai pihak: para administrator, kepala sekolah, TK sampai rektor universitas, guru- guru dari setiap jenjang pendidikan, orang tua murid dan tokoh-tokoh masyarakat.
Dalam mengusahakan artikulasi kurikulum tersebut murid pun perlu dimintakan pendapatnya tentang hubungan pelajaran yang satu dengan yang lainnya, hubungan antara satu tingkat dengan tingkat berikutnya. Salah satu hal yang sering dipandang menghambat artikulasi adalah pembagian menurut tingkat belajarnya. Hal itu menyebabkan tersusunnya organisasi mata pelajaran yang kaku. Untuk menjamin kesinambungan pengalaman belajar beberapa sekolah menggunakan sistem pendidikan tidak berkelas.
Hambatan-hambatan pengembangan kurikulum Dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa hambatan. Hambatan pertama terletak pada guru. Guru kurang berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum. Hal itu disebabkan beberapa hal. Pertama kurang waktu. Kedua kekurangsesuaian pendapat, baik antara sesama guru maupun dengan kepala sekolah dan administrator. Ketiga karena kemampuan dan pengetahuan guru sendiri. Hambatan lain datang dari masyarakat. Untuk pengembangan kurikulum dibutuhkan dukungan masyarakat baik dalam pembiayaan maupun dalam memberikan umpan balik terhadap sistem pendidikan atau kurikulum yang sedang berjalan. Masyarakat adalah sumber input dari sekolah. Keberhasilan pendidikan, ketepatan kurikulum yang digunakan membutuhkan bantuan, serta input fakta dan pemikiran dari masyarakat. Hambatan lain yang dihadapi oleh pengembang kurikulum adalah masalah biaya. Untuk pengembangan kurikulum, apalagi yang berbentuk kegiatan eksperimen baik metode, isi atau sistem secara keseluruhan membutuhkan biaya yang sering tidak sedikit.
E. Model-Model Pengembangan Kurikulum Banyak model yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum. Pemilihan suatu model pengembangan kurikulum bukan saja didasarkan atas kelebihan dan kebaikan-kebaikannya serta kemungkinan pencapaian hasil yang optimal, tetapi juga perlu disesuaikan dengan sistem pendidikan dan sistem pengelolaan pendidikan yang dianut serta model konsep pendidikan mana yang
digunakan. Model pengembangan kurikulum dalam sistem pendidikan dan pengelolaan yang sifatnya sentralisasi berbeda dengan yang desentralisasi. Model pengembangan dalam kurikulum yang sifatnya subjek akademis berbeda dengan kurikulum humanistik, teknologis dan rekonstruksi sosial. Sekurang-kurangnya dikenal delapan model pengembangan kurikulum, yaitu: the administrative (line staff) model, the grass roots model, Beauchamp's system, the demonstration model, Taba's inverted model, Roger's interpersonal relations model, the systematic action research model dan emerging technical model.
1. The administrative model Model pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama dan paling banyak dikenal. Diberi nama model administratif atau line staff karena inisiatif dan gagasan pegembangan datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya, administrator pendidikan (apakah dirjen, direktur atau kepala kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan) membentuk suatu komisi atau tim pengarah pengembangan kurikulum. Anggota-anggota komisi atau tim ini terdiri atas, pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan. Tugas tim atau komisi ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan, dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum. Setelah hal-hal yang mendasar ini terumuskan dan mendapatkan pengkajian yang saksama, administrator pendidikan menyusun tim atau komisi kerja pengembangan kurikulum. Para anggota tim atau komisi ini terdiri atas para ahli pendidikan/kurikulum, ahli disiplin ilmu dari perguruan tinggi, guru-guru bidang studi yang senior. Tim kerja pengembangan kurikulum bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional, dijabarkan dari konsep-konsep dan kebijaksanaan dasar yang telah digariskan oleh tim pengarah. Tugas tim kerja ini merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional dari tujuantujuan yang lebih umum, memilih dan menyusun sekuens bahan pelajaran, memilih strategi pengajaran dan evaluasi, serta menyusun pedomanpedoman pelaksanaan kurikulum tersebut bagi guru-guru.
Setelah semua tugas dari tim kerja pengembang kurikulum tersebut selesai, hasilnya dikaji ulang oleh tim pengarah serta para ahli lain yang berwenang atau pejabat yang kompeten. Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan, dan dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut serta memerintahkan sekolahsekolah untuk melaksanakan kurikulum tersebut. Karena sifatnya yang datang dari atas, model pengembangan kurikulum demikian disebut juga model "top down" atau "line staff'. Pengembangan kurikulum dari atas, tidak selalu segera berjalan, sebab menuntut kesiapan dari pelaksanaannya, terutama guru-guru. Mereka perlu mendapatkan petunjuk-petunjuk dan penjelasan atau mungkin juga peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Kebutuhan akan adanya penataran sering tidak dapat dihindarkan. Dalam pelaksanaan kurikulum tersebut, selama tahun-tahun permulaan diperlukan pula adanya kegiatan monitoring, pengamatan dan pengawasan serta bimbingan dalam pelaksanaannya. Setelah berjalan beberapa saat perlu juga dilakukan suatu evaluasi, untuk menilai baik validitas komponen-komponennya, prosedur pelaksanaan maupun keberhasilannya. Penilaian menyeluruh dapat dilakukan oleh tim khusus dari tingkat pusat atau daerah, sedang penilaian persekolah dapat dilakukan oleh tim khusus sekolah yang bersangkutan. Hasil penilaian tersebut merupakan umpan balik, baik bagi instansi pendidikan di tingkat pusat, daerah, maupun sekolah.
2. The grass roots model Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan model grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi. Dalam model pengembangan yang bersifat grass roots seorang guru, sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan dengan suatu komponen kurikulum, satu atau
beberapa bidang studi ataupun seluruh bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitas, biaya maupun bahan-bahan kepustakaan, pengembangan kurikulum model grass roots, akan lebih baik. Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana, pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun kurikulum bagi kelasnya. Hal itu sesuai dengan prinsip-prinsip pengembangan kurikulum yang dikemukakan oleh Smith, Stanley dan Shores (1957: 429); 1. The curriculum will improve only as the professional competence of teachers improves. 2. The competence of teachers will be improved only as the teachers become involved personally in the problems of curriculum revision. 3. If teachers share in shaping the goals to be attained, in selecting, defining, and solving the problems to be encountered, and in judging and evaluating the rusults, their involvement will be most nearly assured. 4. As people meet in face-to-face groups, they will be able to understand one another better and to reach a consensus on basic principles, goals, and plans (Smith, Stanley, and Shores 1957: 429). Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots, mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi mungkin pula dapat digunakan untuk bidang studi sejenis pada sekolah lain, atau keseluruhan bidang studi pada sekolah atau daerah lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi dengan model grass rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi di dalam meningkatkan mutu dan sistem pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusiamanusia yang lebih mandiri dan kreatif.
3. Beauchamp's system Model pengembangan kurikulum ini, dikembangkan oleh Beauchamp seorang ahli kurikulum. Beauchamp mengemukakan lima hal di dalam pengembangan suatu kurikulum.
Pertama, menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh kurikulum tersebut, apakah suatu sekolah, kecamatan, kabupaten, propinsi ataupun seluruh negara. Pentahapan arena ini ditentukan oleh wewenang yang dimiliki oleh pengambil kebijaksanaan dalam pengembangan kurikulum, serta oleh tujuan pengembangan kurikulum. Walaupun daerah yang menjadi wewenang kepala kanwil pendidikan dan kebudayaan mencakup suatu wilayah propinsi, tetapi arena pengembangan kurikulum lianya mencakup satu daerah kabupaten saja sebagai pilot proyek. Kedua, menetapkan personalia, yaitu siapa-siapa yang turut serta terlibat dalam pengembangan kurikulum. Ada empat kategori orang yang turut berpartisipasi dalam pengembangan kurikulum, yaitu: (1) para ahli pendidikan/kurikulum yang ada pada pusat pengembangan kurikulum dan para ahli bidang ilmu dari luar, (2) para ahli pendidikan dari perguruan tinggi atau sekolah dan guru-guru terpilih, (3) para profesional dalam sistem pendidikan, (4) profesional lain dan tokoh-tokoh masyarakat. Beauchamp mencoba melibatkan para ahli dan tokoh-tokoh pendidikan seluas mungkin, yang biasanya pengaruh mereka kurang langsung terhadap pegembangan kurikulum, dibanding dengan tokohtokoh lain seperti, para penulis dan penerbit buku, para pejabat pemerintah, politikus, dan pengusaha serta industriawan. Penetapan personalia ini sudah tentu disesuaikan dengan tingkat dan luas wilayah arena. Untuk tingkat propinsi atau nasional tidak terlalu banyak melibatkan guru. Sebaliknya untuk tingkat kabupaten, kecamatan atau sekolah keterlibatan guru-guru semakin besar. Mengenai keterlibatan kelompok-kelompok personalia ini, Beauchamp mengemukakan tiga pertanyaan: (1) Haruskah kelompok ahli/pejabat/profesi tersebut dilibatkan dalam pengembangan kurikulum?, (2) Bila ya, apakah peranan mereka?, (3) Apakah mungkin ditemukan alat dan cara yang paling efektif untuk melaksanakan peran tersebut? Ketiga, organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum. Langkah ini berkenaan dengan prosedur yang harus ditempuh dalam merumuskan tujuan umum dan tujuan yang lebih khusus, memilih isi dan pengalaman belajar, serta kegiatan evaluasi, dan dalam menentukan keseluruhan desain kurikulum. Beauchamp membagi keseluruhan kegiatan ini dalam lima langkah, yaitu; (1)
Membentuk tim pengembang kurikulum, (2) mengadakan penilaian atau penelitian terhadap kurikulum yang ada yang sedang digunakan, (3) Studi penjajagan tentang kemungkinan penyusunan kurikulum baru, (4) merumuskan kriteria-kriteria bagi penentuan kurikulum baru, (5) penyusunan dan penulisan kurikulum baru. Keempat, implementasi kurikulum. Langkah ini merupakan langkah mengimplementasikan atau melaksanakan kurikulum yang bukan sesuatu yang sederhana, sebab membutuhkan kesiapan yang menyeluruh, baik kesiapan guru- guru, siswa, fasilitas, bahan maupun biaya, di samping kesiapan manajerial dari pimpinan sekolah atau administrator setempat. Langkah yang kelima dan merupakan terakhir adalah evaluasi kurikulum. Langkah ini minimal mencakup empat hal, yaitu: (1) evaluasi tentang pelaksanaan kurikulum oleh guru-guru, (2) evaluasi desain kurikulum, (3) evaluasi hasil belajar siswa, (4) evaluasi dari keseluruhan sistem kurikulum. Data yang diperoleh dari hasil kegiatan evaluasi ini digunakan bagi penyempurnaan sistem dan desain kurikulum, serta prinsip-prinsip melaksanakannya.
4. The demonstration model Model demonstrasi pada dasarnya bersifat grass roots, datang dari bawah. Model ini diprakarsai oleh sekelompok guru atau sekelompok guru bekerja sama dengan ahli yang bermaksud mengadakan perbaikan kurikulum. Model ini umumnya berskala kecil, hanya mencakup suatu atau beberapa sekolah, suatu komponen kurikulum atau mencakup keseluruhan komponen kurikulum. Karena sifatnya ingin mengubah atau mengganti kurikulum yang ada, pengembangan kurikulum sering mendapat tantangan dari pihak-pihak tertentu. Menurut Smith, Stanley, dan Shores ada dua variasi model demonstrasi ini. Pertama, sekelompok guru dari satu sekolah atau beberapa sekolah ditunjuk untuk melaksanakan suatu percobaan tentang pengembangan kurikulum. Proyek ini bertujuan mengadakan penelitian dan pengembangan tentang salah satu atau beberapa segi/komponen kurikulum. Hasil penelitian dan pegembangan ini diharapkan dapat digunakan bagi lingkungan yang lebih luas. Kegiatan penelitian dan pengembangan ini biasanya diprakarsai dan diorganisasi oleh instansi
pendidikan yang berwewenang seperti, direktorat pendidikan, pusat pengembangan kurikulum, kantor wilayah pendidikan dan kebudayaan, dan sebagainya. Bentuk yang kedua, kurang bersifat formal. Beberapa orang guru yang merasa kurang puas dengan kurikulum yang ada, mencoba mengadakan penelitian dan pengembangan sendiri. Mereka mencoba menggunakan halhal lain yang berbeda dengan yang berlaku. Dengan kegiatan ini mereka mengharapkan ditemukan kurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum yang lebih baik, untuk kemudian digunakan di daerah yang lebih luas. Ada beberapa kebaikan dari pengembangan kurikulum dengan model demonstrasi ini. Pertama, karena kurikulum disusun dan dilaksanakan dalam situasi tertentu yang nyata, maka akan dihasilkan suatu kurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum yang lebih praktis. Kedua, perubahan atau penyempurnaan kurikulum dalam skala kecil atau aspek tertentu yang khusus, sedikit sekali untuk ditolak oleh administrator, dibandingkan dengan perubahan dan penyempurnaan yang menyeluruh. Ketiga, pengembangan kurikulum dalam skala kecil dengan model demonstrasi ilapat menend hambatan yang sering dialami yaitu dokumentasinya hagus tetari pclaknotiaatinva tidak ada. Keempat, model ini sifatnya yang grass roots menempatkan guru sebagai pengambil inisiatif dan nara sumber yang dapat menjadi pendorong bagi para administrator untuk mengembangkan program baru. Kelemahan model ini, adalah bagi guru- guru yang tidak turut berpartisipasi mereka akan menerimanya dengan enggan-enggan, dalam keadaan terburuk mungkin akan terjadi apatisme.
5. Taba's inverted model Menurut cara yang bersifat tradisional pengembangan kurikulum dilakukan secara deduktif, dengan urutan: 1) Penentuan prinsip-prinsip dan kebijaksanaan dasar, 2) Merumuskan desain kurikulum yang bersifat menyeluruh didasarkan atas komitmen-komitmen tertentu, 3) Menyusun unit-unit kurikulum sejalan dengan desain yang menyeluruh, 4) Melaksanakan kurikulum di dalam kelas.
Taba berpendapat model deduktif ini kurang cocok, sebab tidak merangsang timbulnya inovasi-inovasi. Menurutnya pengembangan kurikulum yang lebih mendorong inovasi dan kreativitas guru-guru adalah yang bersifat induktif, yang merupakan inversi atau arah terbalik dari model tradisional. Ada lima langkah pengembangan kurikulum model Taba ini. Pertama, mengadakan unit-unit eksperimen bersama guru-guru. Di dalam unit eksperimen ini diadakan studi yang saksama tentang hubungan antara teori dengan praktik. Perencanaan didasarkan atas teori yang kuat, dan pelaksanaan eksperimen di dalam kelas menghasilkan data-data yang untuk menguji landasan teori yang digunakan. Ada delapan langkah dalam kegia tan unit eksperimen ini; 1) Mendiagnosis kebutuhan, 2) Merumuskan tujuan-tujuan khusus, 3) Memilih isi, 4) Mengorganisasi isi, 5) Memilih pengalaman belajar, 6) Mengorganisasi pengalaman belajar, 7) Mengevaluasi, 8) Melihat sekuens dan keseimbangan (Taba, 1962: 347-379). Langkah kedua, menguji unit eksperimen. Meskipun unit eksperimen ini telah diuji dalam pelaksanaan di kelas eksperimen, tetapi masih harus diuji di kelas-kelas atau tempat lain untuk megetahui validitas dan kepraktisannya, serta menghimpun data bagi penyempurnaan. Langkah ketiga, mengadakan revisi dan konsolidasi. Dari langkah pengujian diperoleh beberapa data, data tersebut digunakan untuk mengadakan perbaikan dan penyempurnaan. Selain perbaikan dan penyempurnaan diadakan juga kegiatan konsolidasi, yaitu penarikan kesimpulan tentang hal-hal yang lebih bersifat umum yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas. Hal itu dilakukan, sebab meskipun suatu unit eksperimen telah cukup valid dan praktis pada sesuatu sekolah belum tentu demikian juga pada sekolah yang lainnya. Untuk menguji keberlakuannya pada daerah yang lebih luas perlu adanya kegiatan konsolidasi. Langkah keempat, pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum. Apabila dalam kegiatan penyempurnaan dan konsolidasi telah diperoleh sifatnya
yang lebih menyeluruh atau berlaku lebih luas, hal itu masih harus dikaji oleh para ahli kurikulum dan para profesional kurikulum lainnya. Kegiatan itu dilakukan untuk megnetahui apakah konsep-konsep dasar atau landasan-landasan teori yang dipakai sudah masuk dan sesuai. Langkah kelima, implementasi dan diseminasi, yatiu menerapkan kurikulum baru ini pada daerah atau sekolah-sekolah yang lebih luas. Di dalam langkah ini masalah dan kesulitan-kesulitan pelaksanaan tetapi dihadapi, baik berkenaan dengan kesiapan guru-guru, fasilitas, alat dan bahan juga biaya.
6. Roger's interpersonal relations model Meskipun Rogers bukan seorang ahli pendidikan (ia ahli psikologi atau psikoterapi) tetapi konsep-konsepnya tentang psikoterapi khususnya bagaimana membimbing individu juga dapat diterapkan dalam bidang pendidikan dan pengembangan kuriulum. Memang ia banyak mengemukakan konsepnya tentang perkembangan dan perubahan individu. Menurut When Crosby (1970: 388) perubahan kurikulum adalah perubahan individu. Menurut Rogers manusia berada dalam proses perubahan (becoming, developing, changing), sesungguhnya ia mempunyai kekuatan dan potensi untuk berkembang sendiri, tetapi karena ada hambatan-hambatan tertentu ia membutuhkan orang lain untuk membantu memperlancar atau mempercepat perubahan tersebut. Pendidikan juga tidak lain merupakan upaya untuk membantu memperlancar dan mempercepat perubahan tersebut. Guru serta pendidik lainnya bukan pemberi informasi apalagi penentu perkembangan anak, mereka hanyalah pendorong dan pemelancar perkembangan anak. Ada empat langkah pengembangan kurikulum model Rogers. Pertama, pemilihan target dari sistem pendidikan. Di dalam penentuan target ini satu- satunya kriteria yang menjadi pegangan adalah adanya kesediaan dari pejabat pendidikan untuk turut serta dalam kegiatan kelompok yang intensif. Selama satu minggu para pejabat pendidikan/administrator melakukan kegiatan kelompok dalam suasana yang relaks, tidak formal. Melalui kegiatan kelompok ini mereka akan mengalami perubahanperubahan sebagai berikut.
1. He is less protective of his own beliefs and can listen more accurately 2. He finds it easier and less threatening to accept innovative ideas. 3. He has less need to protect bureaucratic rules. 4. He communicates more clearly and realistically to superiors, peers, and sub-ordinates because he is more open and less self-protective. 5. He is more person oriented and democratic. 6. He openly confronts personal emotional frictions between him self and colleagues. 7. He is more able to accept both positive and negative feeback and use it constructively (Rogers, 1967:722). Langkah kedua dalam pengembangan kurikulum model Rogers adalah partisipasi guru dalam pengalaman kelompok yang intensif. Sama seperti yang dilakukan para pejabat pendidikan, guru juga turut serta dalam kegiatan kelompok. Keikutsertaan guru dalam kelompok tersebut sebaiknya bersifat suka rela, lama kegiatan kalau bisa satu minggu lebih baik, tetapi dapat juga kurang dari satu minggu. Efek yang akan diterima guru-guru sejalan dengan para administrator, dengan beberapa tambahan. 1. He is more able to listen to students, 2. He accepts innovative, torublesome ideas from students, rather than in- sisting on conformity, 3. He pays as much attention to his relationships with student as he does to course content, 4. He works out problems with students rather than responding in a disci- plinary and punitive manner, 5. He develops an equalitarian and democratic classroom climate (Rogers, 1967:724). Langkah ketiga, pengembangan pengalaman kelompok yang intensif untuk satu kelas atau unit pelajaran. Selama lima hari penuh siswa ikut serta dalam kegiatan kelompok, dengan fasilitator para guru atau administrator atau fasilitator dari luar. Dan kegiatan ini para siswa akan mendapatkan: 1. He feels freer to express both positive and negative feelings in class. 2. He works through these feelings toward a realistic solutin.
3. He has more energy for learning because he has less fear of constant evaluation and punishment. 4. He discovers that he is responsible for his own learning 5. He awe anal tear of authority diminish as he finds teachers and .1(liiiiii istr.um•. litho fallibly human beings. 6. He finds that the learning process enables him to deal with his lily (Rogers, 1967:725). Langkah keempat, partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok. Kegiatan ini dapat dikoordinasi oleh BP3 masing-masing sekolah. Lama kegiatan kelompok dapat tiga jam tiap sore hari selama seminggu atau 24 jam secara terus menerus. Kegiatan ini bertujuan memperkaya orang-orang dalam hubungannya dengan sesama orang tua, dengan anak, dan dengan guru. Rogers juga menyarankan, kalau mungkin ada pengalaman kegiatan kelompok yang bersifat campuran. Kegiatan merupakan kulminasi dari semua kegiatan kelompok di atas. Model pengembangan kurikulum dari Rogers ini berbeda dengan model- model lainnya. Sepertinya tidak ada suatu perencanaan kurikulum tertulis, yang ada hanyalah rangkaian kegiatan kelompok. Itulah ciri khas Carl Rogers sebagai seorang Eksistensialis Humanis, is tidak mementingkan formalitas, rancangan tertulis, data, dan sebagainya. Bagi Rogers yang penting adalah aktivitas dan interaksi. Berkat berbagai bentuk aktivitas dalam interaksi ini individu akan berubah. Metode pendidikan yang diutamakan Rogers adalah sensitivity training, encounter group dan Training Group (T Group).
7. The systematic action-research model Model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Hal itu mencakup suatu proses yang melibatkan kepribadian orang tua, siswa guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan kelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi tersebut model ini menekankan pada tiga hal itu: hubungan insani, sekolah dan organisasi masyarakat, serta wibawa dari pengetahuan profesional. Kurikulum dikembangkan dalam konteks harapan warga masyarakat, para orang tua, tokoh masyarakat, pengusaha, siswa, guru, dan lain-lain, mempunyai
pandangan tentang bagaimana pendidikan, bagaimana anak belajar, dan bagaimana peranan kurikulum dalam pendidikan dan pengajaran. Penyusunan kurikulum hams memasukkan pandangan dan harapan-harapan masyarakat, dan salah satu cara untuk mencapai hal itu adalah dengan prosedur action research. Langkah pertama, mengadakan kajian secara saksama tentang masalah- masalah kurikulum, berupa pengumpulan data yang bersifat menyeluruh, dan mengidentifikasi faktor-faktor, kekua tan dan kondisi yang mempengaruhi masalah tersebut. Dari hasil kajian tersebut dapat disusun rencana yang menyeluruh tentang cara-cara mengatasi masalah lersebut, serta tindakan pertama yang hams diambil. Kedua, implementasi dari keputusan yang diambil dalam tindakan pertama. Tindakan ini segera diikuti oleh kegiatan pengumpulan data dan fakta- fakta. Kegiatan pengumpulan data ini mempunyai beberapa fungsi: menyiapkan data bagi evaluasi tindakan, (2) sebagai bahan pemahaman tentang masalah yang dihadapi, (3) sebagai bahan untuk menilai kembali dan mengadakan modifikasi, (4) sebagai bahan untuk menentukan tindakan lebih lanjut.
8. Emerging technical models Perkembangan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai efisiensi efektivitas dalam bisnis, juga mempengaruhi perkembangan model- model kurikulum. Tumbuh kecenderungan-kecenderungan baru yang didasarkan atas hal itu, di antaranya: (1) The Behavioral Analysis Model, The system analysis model, (3) The computer based model. The Behavioral Analysis Model, menekankan penguasaan perilaku atau kemampuan. Suatu perilaku/kemampuan yang kompleks diuraikan menjadi perilaku-perilaku yang sederhana yang tersusun secara hierarkis. Siswa mempelajari perilaku-perilaku tersebut secara berangsur-angsur mulai dari yang sederhana menuju yang lebih kompleks. The System Analysis Model berasal dari gerakan efisiensi bisnis. Langkah pertama dari model ini adalah menentukan spesifikasi perangkat hasil belajar yang harus dikuasai siswa. Langkah kedua adalah menyusun instrumen untuk menilai ketercapaian hasil-hasil belajar tersebut. Langkah. ketiga, mengidentifikasi tahap-
tahap ketercapaian hasil serta perkiraan biaya yang diperlukan. Langkah keempat, membandingkan biaya dan keuntungan dari beberapa program pendidikan. The Computer-Based Model, suatu model pengembangan kurikulum dengan memanfaatkan komputer. Pengembangannya dimulai dengan mengidentifikasi seluruh unit-unit kurikulum, tiap unit kurikulum telah memiliki rumusan tentang hasil-hasil yang diharapkan. Kepada para siswa dan guru-guru diminta untuk melengkapi pertanyaan tentang unit-unit kurikulum tersebut. Setelah diadakan pengolahan disesuaikan dengan kemampuan dan hasil-hasil belajar yang dicapai siswa disimpan dalam komputer.
F. Buku Acuan
Hoover, Kenneth I I. (1982). The Professional Teacher's I landboolt. Boston: Allyn and Bacon, Tulisan ini menyajikan suatu kerangka kerja dasar yang bersilai konseptual tentang penggunaan metode mengajar yang didasarkan atas pendekatan inkuiri. Kerangka kerja ini dapat digunakan oleh para instruktur, guru dan calon guru untuk memahami, menganalisis dan mengaplikasikannya dalam berbagai proses pengajaran. Ada lima langkah cara mengajar inkuiri yang didasarkan atas konsep ini: 1) Pengembangan konsep dasar yang merupakan landasan bagi pengajaran, 2) Menyatakan konsep dalam bentuk pertanyaan yang bersifat terbuka untuk memancing sejumlah kemungkinan pemecahan, 3) Pengembangan dan evaluasi hipotesis atau pemecahan yang mungkin, 4) Generalisasi yang didasarkan atas kemungkinan pemecahan. Kelima langkah tersebut dapat digunakan dalam berbagai situasi: individual atau kelompok kecil, kelompok besar (seminar, diskusi, debat, ceramah), metode yang bersifat afektif (role playing, sosiometri, sosiodrama, simulasi, permainan, metode kasus). Hass, Glen. (1980). Curriculum Planning, A New Approach. Boston: Allyn and Bacon, Inc. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari sekitar 50 orang ahli kurikulum. Meskipun demikian pokok-pokok yang dibahas telah tersusun secara sistematis-logis sehingga membentuk satu kesatuan karya yang utuh. Karena
ditulis oleh begitu banyak orang, buku ini boleh dikatakan komprehensif, walaupun di sana sini ada saja tumpang tindih, sehingga membentuk satu handbook yang lengkap. Buku ini dapat menjadi pegangan bagi para pengajar, perencana dan pengembang kurikulum, maupun para mahasiswa yang sedang mendalami kurikulum. Keseluruhan isi buku ini, tersusun secara sistematis, dimulai dengan dasar-dasar dan kriteria kurikulum yang menyangkut konsep, faktor-faktor sosial, perkembangan individu, pengetahuan, belajar, dan kriteria kurikulum. Selanjutnya juga diuraikan kurikulum pada berbagai jenjang dan jenis pendidikan, sekolah dasar, sekolah menengah, pendidikan tinggi dan orang dewasa.
BAB 9 EVALUASI KURIKULUM
A. Evaluasi dan Kurikulum Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam penentuan ke- bijaksanaan pendidikan pada umumnya, maupun pada pengambilan keputusan dalam kurikulum. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijaksanaan pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijaksanaan pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang digunakan. Hasil-hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya, dalam memahami dan membantu perkembangan siswa, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. Evaluasi kurikulum sukar dirumuskan secara tegas, hal itu disebabkan beberapa faktor: 1. Evaluasi kurikulum berkenaan dengan fenomena-fenomena yang terus berubah. 2. Objek evaluasi kurikulum adalah sesuatu yang berubah-ubah sesuai dengan konsep kurikulum yang digunakan. 3. Evaluasi kurikulum merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh manusia yang sifatnya juga berubah. Evaluasi dan kurikulum merupakan dua disiplin yang berdiri sendiri. Ada pihak yang berpendapat antara keduanya tidak ada hubungan, tetapi ada pihak lain yang menyatakan keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat. Pihak yang memandang ada hubungan, hubungan tersebut merupakan hubungan sebab-akibat. Perubahan dalam kurikulum berpengaruh pada evaluasi kurikulum, sebaliknya perubahan evaluasi akan memberi warna pada pelaksanaan kurikulum. Hubungan antara evaluasi dengan kurikulum bersifat organis, dan prosesnya berlangsung secara evoltisioner, pandangan lama yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman, secara berangsur- angsur diganti dengan pandangan baru yang lebih
R.A. Becher, seorang ahli pendidikan dari Universitas Sussex, Inggris menyatakan bahwa: Tiap program pengembangan kurikulum mempunyai style dan karakteristik tertentu, dan evaluasi dari program tersebut akan memperlihatkan style dan karakteristik yang sama pula. Seorang evaluator akan menyusun program evaluasi kurikulum sesuai dengan style dan karakteristik kurikulum yang dikembangkannya. Juga terjadi sebaliknya, hasil program evaluasi kurikulum akan mempengaruhi pelaksanaan praktik kurikulum. Konsep R.A. Becher tentang pengembangan kurikulum dan evaluasi kurikulum, pada mulanya bersifat deskriptif yaitu menekankan pada What is it?, tetapi kemudian berkembang kepada yang bersifat preskriptif, yang menekankan pada What ought to be. Konsep-konsep evaluasi kurikulum yang bersifat preskriptif, mempunyai tempat dalam konsep kurikulum yang bersifat preskriptif pula. Sebagai contoh, teori dari Ralph Tylor dan Benyamin Bloom, berisikan pedoman-pedoman praktis bagi pengembangan kurikulum, demikian juga dengan teori evaluasi kurikulumnya. Evaluasi merupakan kegiatan yang luas, kompleks dan terus-menerus untuk mengetahui proses dan basil pelaksanaan sistem pendidikan dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Evaluasi juga meliputi rentangan yang cukup luas, mulai dari yang bersifat sangat informal sampai dengan yang sangat formal. Pada tingkat yang sangat informal evaluasi kurikulum berbentuk perkiraan, dugaan atau pendapat tentang perubahan-perubahan yang telah dicapai oleh program sekolah. Pada tingkat yang lebih formal evaluasi kurikulum meliputi pengumpulan dan pencatatan data, sedangkan pada tingkat yang sangat formal berbentuk pengukuran berbagai bentuk kemajuan ke arah tujuan yang telah ditentukan. Komponen-komponen kurikulum yang dievaluasi juga sangat luas. Program evaluasi kurikulum bukan hanya mengevaluasi hasil belajar siswa dan proses pembelajarannya, tetapi juga desain dan implementasi kurikulum, kemampuan dan unjuk kerja guru, kemampuan dan kemajuan siswa, sarana, fasilitas dan sumber-sumber belajar, dan lain-lain. Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi:
Objective, it scope, the quality of personnel in charger of it, the capacities of the students, the relative importance of various subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so son (Taba, 1962: 310). Apa yang dikemukakan di atas merupakan konsep evaluasi kurikulum yang sangat luas yang mencakup seluruh komponen dan kegiatan pendidikan. Evaluasi kurikulum sering juga dibatasi secara sempit, yaitu hanya ditekankan pada hasil-hasil yang dicapai oleh murid. Curriculum evaluation may be defined as the estimation of the growth and progess of students toward objectives or values of the curriculum (Wright, 1966: 303). Luas atau sernpitnya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuannya. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk menilai keseluruhan sistem kurikulum atau hanya komponen-komponen tertentu dalam sistem kurikulum tersebut. Apakah mengevaluasi keseluruhan sistem atau komponen-komponen tertentu saja, diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu, agar hasil evaluasi tersebut tetap bermakna. Doll (1976), mengemukakan syarat- syarat suatu program evaluasi kurikulum, yaitu acknowledge presence of values and valuing, orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostic worth and validity and integration (Doll, 1976: 362-363). Suatu evaluasi kurikulum harus memiliki nilai dan penilaian, punya tujuan atau sasaran yang jelas, bersifat menyeluruh dan terus-menerus, berfungsi diagnostik dan terintegrasi. Evaluasi kurikulum juga bervariasi bergantung pada dimensi-dimensi yang menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah dimensi kuantitas dan kualitas. One dimension is that of quantity; much of the program is to be evaluated? The other dimension is that of quality-what goals are being highlighted in this evaluation and how does achievement of the goals as sure quality (Doll, 1976: 364). Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi dimensi kuantitatif berbeda dengan instrumen untuk mengevaluasi aspek-aspek perkembangan dan prestasi yang dicapai anak. Dimensi yang bersifat kuantitatif dapat diukur dengan menggunakan berbagai bentuk alat ukur atau tes standar. Tes standar tersebut ada
yang diperuntukkan mengukur kemampuan yang bersifat potensial (kecerdasan, bakat) dan ada pula yang diperuntukkan mengukur kemampuan nyata atau achievement. Tes standar yang mengukur kecerdasan dan bakat umpamanya: intelligence test, scholastic aptitude test, special aptitude test, prognostic aptitude test, dan lain-lain, dan tes standar yang mengukur achievement seperti subject areas test, survey test, diagnostic test, dan lain-lain. Instrumen yang sering digunakan untuk mengevaluasi dimensi kualitatif umpamanya: questionnaire, interest inventories, temperament and adjustment inventories, nominating techniques, interviews, and annecdotal records. (Writht, 1966: 306).
B. Konsep Kurikulum Kurikulum merupakan daerah studi intelek yang cukup luas. Banyak teori tentang kurikulum berupa teori menekankan pada rencana, yang lain pada inovasi, pada dasar-dasar filosofis, dan pada konser konsep yang diambil dari ilmu perilaku manusia ini menunjukkan betapa luasnya teori- teori tentang kurikulum. Secara sederhana teori kurikulum dapat diklasifikasikan atas teori-teori yang lebih menekankan pada isi kurikulum, pada situasi pendidikan serta pada organisasi kurikulum. Penekanan kepada isi kurikulum. Strategi pengembangan yang menekankan isi, merupakan yang paling lama dan banyak dipakai, tetapi juga terus mendapat penyempurnaan atau pembaharuan Sebab-sebab yang mendorong pembaharuan ini bermacam-macam. Pertama, karena didorong oleh tuntutan untuk menguatkan kembali nilai-nilai moral dan budaya dari masyarakat. Kedua, karena perubahan dasar filosofis tentang struktur pengetahuan. Ketiga, karena adanya tuntutan bahwa kurikulum harus lebih berorientasi pada pekerjaan. Faktor-faktor tersebut tidak timbul dari atau tidak ada hubungannya dengan sistem institusi persekolahan, tetapi sangat mempengaruhi pengembangan kurikulum. Pengaruhnya terhadap pengembangan kurikulum umpamanya, penguatan kembali nilai-nilai moral dan budaya akan meminta perhatian yang lebih besar pada kumpulan ilmu pengetahuan masa lalu, orientasi kepada pekerjaan akan lebih banyak melihat ke masa depan, sedangkan titik tolak pada pandangan filosofis akan lebih menekankan pada disiplin-disiplin keilmuan.
Apapun titik tolaknya, penekanan pada isi kurikulum akan membawa beberapa akibat. Pengetahuan sebagai isi kurikulum mempunyai nilai intrinsik, sesuatu yang akan diwariskan, sesuatu yang baru atau diperbaharui. Pengembangan kurikulum yang menekankan isi bersifat material centered. Kurikulum ini memandang murid sebagai penerima resep yang pasif. Secara teoretis kurikulum yang menekankan isi dapat diukur, mempunyai tujuan yang apabila telah ditransfer pada anak dapat dikuasai oleh anak. Ini merupakan engineering approach. Anak dianggap bahan kasar yang tidak berdaya, bersama dengan teman-temannya yang lain dicetak melalui blue print masyarakat. Salah satu atribut organisasi kurikulum yang didasarkan pada pengetahuan (knowledge based curriculum), memungkinkan pengembangan dalam jumlah besar. Melalui proses diseminasi mereka dapat menggunakan teknik produksi massa untuk mendapatkan pendidikan massal. Penekanan pada situasi pendidikan. Tipe kurikulum ini lebih menekankan pada masalah di mana (where), bersifat khusus, sangat memperhatikan dan disesuaikan dengan lingkungannya) Tipe ini akan menghasilkan kurikulum berdasarkan situasi-situasi lingkungan, seperti kurikulum pedesaan, kurikulum kelompok masyarakat nelayan, kurikulum daerah pesisir, pegunungan dan sebagainya. Tujuannya adalah menghasilkan kurikulum yang benar-benar merefleksikan dunia kehidupan dari lingkungan anak. Kurikulum yang menekankan situasi pendidikan akan sangat beraneka, dibandingkan dengan kurikulum yang menekankan isi. Kurikulum ini bertujuan mencari kesesuaian antara kurikulum dengan situasi di mana pendidikan berlangsung. Penekanan pada situasi pendidikan. Tipe kurikulum ini lebih menekankan pada masalah di mana (where), bersifat khusus, sangat memperhatikan dan disesuaikan dengan lingkungannya) Tipe ini akan menghasilkan kurikulum berdasarkan situasi-situasi lingkungan, seperti kurikulum pedesaan, kurikulum kelompok masyarakat nelayan, kurikulum daerah pesisir, pegunungan dan sebagainya. Tujuannya adalah menghasilkan kurikulum yang benar-benar merefleksikan dunia kehidupan dari lingkungan anak. Kurikulum yang menekankan situasi pendidikan akan sangat beraneka, dibandingkan dengan
kurikulum yang menekankan isi. Kurikulum ini bertujuan mencari kesesuaian antara kurikulum dengan situasi di mana pendidikan berlangsung. Sifat lain tipe ini adalah kurang atau tidak menekankan pada spesifikasi isi dan .organisasi, lebih menunjukkan fleksibilitas dalam interpretasi dan pelaksanaannya. Pengetahuan dianggap bersifat relatif terhadap situasi-situasi yang khusus sesuai dengan kondisi setempat. Kurikulum ini ruang lingkupnya sempit, masa pengembangannya juga relatif lebih singkat daripada desiminasinya. Kalau kurikulum yang menekankan pada isi merupakan engineering approach maka kurikulum yang menekankan situasi lebih mendekati gardening approach. Kurikulum disusun sesuai dengan keadaan tanah, alam setempat, perhatian sangat ditumpahkan pada mempersiapkan kebun atau sawah. Secara teoretis, mengevaluasi kurikulum yang menekankan pada situasi sangat sulit. Perencanaan dan pelaksanaan pengajaran sangat beraneka, peranan guru dalam mengembangkan dan rnenerapkan kreasinya sangat besar, sehingga cukup sulit merancang alat penilaian yang dapat mencakup skala yang agak luas. Kesulitan lain adalah juga dalam menentukan standar kriteria. Penekanan pada organisasi. Tipe kurikulum ini sangat menekankan pada proses belajar-mengajarjMeskipun dengan berbagai perbedaan dan di sana sini ada pertentangan, umpamanya antara konsep sistem instruksional (pengajaran berprogram, pengajaran modul, pengajaran dengan bantuan komputer) dengan konsep pengajaran (perkembangan) dari Bruner dan Jean Piaget, keduanya sangat mempengaruhi perkembangan kurikulum tipe ini. Perbedaan yang sangat jelas antara kurikulum yang menekankan organisasi dengan yang menekankan isi dan situasi, adalah memberikan perhatian yang sangat besar kepada si pelajar atau siswa. Dalam pembelajaran model sistem instruksional aktivitas murid sangat ditekankan, tetapi aktivitas ini merupakan aktivitas yang sudah dirancang secara ketat. Siswa tidak mungkin melakukan hal- hal atau kegiatan di luar yang telah diprogramkan. Dalam konsep belajar dari Bruner juga peranan aktif dari siswa sangat ditekankan, tetapi aktivitas ini bukan yang telah diprogramkan secara ketat. Siswa mempunyai kesempatan, dan didorong untuk berinovasi, menyatakan kreativitasnya. Dalam belajar aktif tersebuI penguasaan bahasa serta proses mental dari si pelajar sangat memegang
peranan utama. Anak menurut Bruner merupakan hasil yang sangal kompleks dari sejarah, biologi dan social, harus berpartisipasi secara aktil dalam lingkungan belajar, menguasai bahasa dan menguasai kemamption kemampuan kognitif. Apakah dalam bentuk sistem instruksional ataupun dalam sistem pengajaran (perkembangan) dari Bruner, kurikulum yang menekankan pada organisasi, memusatkan perhatiannya pada sekuens-sekuens belajar serta organisasi bahan pelajaran yang disusun melalui elaborasi isi dan prosedur pengukuran. Tipe kurikulum ini secara relatif bersifat lepas dari situasi lingkungan atau situation free, berbeda dengan yang menekankan situasi. Kurikulum yang menekankan masalah belajar-mengajar (menekankan organisasi) sebenarnya lebih dekat kepada pendekatan kurikulum yang bersifat umum (generalized curriculum), berlaku dalam lingkungan yang cukup luas. Inti kurikulum bukan terletak pada bahanbahan yang dipelajari anak tetapi pada teacher's guide. Kurikulum yang menekankan pada organisasi menolak pendapat bahwa penguasaan pengetahuan merupakan alat untuk mencapai tujuan. Kurikulum yang menekankan organisasi juga sesungguhnya sukar untuk diukur. Secara teoretis penyusunan tes yang spesifik dapat dibuat, tetapi seperti telah diutarakan di muka, isi kurikulum tidak spesifik, tujuannya dapat dicapai dengan cara yang berbeda- beda. Tes yang disusun akan banyak menyangkut proses belajar yang bersifat umum. Lebih jauh, kalau penyusunan tes hasil belajar didasarkan pada tujuan, maka kurikulum yang menekankan pada organisasi, tesnya akan lebih banyak mengukur tujuan-tujuan tingkat tinggi pada klasifikasi Bloom (analisis, sintesis, dan evaluasi).
C. Implementasi dan Evaluasi Kurikulum Di muka telah diutarakan bahwa, perbedaan penekanan dalam kurikulum mengakibatkan perbedaan dalam pola rancangan, dalam pengembangan serta dalam desiminasinya. Konsep kurikulum yang menekankan isi, memberikan perhatian besar pada analisis pengetahuan baru yang ada, konsep situasi menuntut penilaian secara rinci tentang lingkungan belajar, dan konsep organisasi memberi perhatian
besar pada struktur dan sekuens belajar. Perbedaanperbedaan dalam rancangan tersebut mempengaruhi langkah selanjutnya. Pengembangan kurikulum yang menekankan isi, membutuhkan waktu mempersiapkan situasi belajar dan menyatukannya dengan tujuan pengajaran yang cukup lama. Kurikulum yang menekankan situasi, waktu untuk mempersiapkannya lebih pendek, sedangkan kurikulum yang menekankan organisasi waktu persiapannya hampir sama dengan kurikulum yang menekankan isi. Meskipun demikian perhatian harus cukup banyak dipusatkan pada struktur konsep yang tidak tampak (covert) daripada analisis tujuan yang tampak (overt). Kurikulum yang menekankan isi sangat mengutamakan peranan desiminasi, meskipun umpamanya kurikulum itu kurang thaik, mereka dapat memaksakannya melalui jalur birokrasi. Tipe kurikulum ini mengikuti model penyebaran (difusi) dari pusat ke daerah). Sebaliknya penyebaran kurikulum yang menekankan situasi sangat mementingkan penyiapan unsur-unsur yang terkait (catalyc ingredient). Pengembangan kurikulumnya bersifat lokal, individual, dan khan. Dengan demikian penyebaran kurikulum ini memiliki network yang terpisah, tetapi masingmasing dapat menyesuaikan diri serta mencari keserasian antara arahan yang dibersifat pusat dengan tuntutan kebutuhan dan sifat-sifat lokal. Kurikulum yang menekankan organisasi, strategi penyebarannya sangat mengutamakan latihan guru. Penyebaran ini lebih merupakan pembaharuan dari dalam dan bukan karena paksaan atau keharusan dari luar. CARE (Centre for Applied Research in Education) di Universitas East Anglia Norwegia, aktif dalam mengadakan pelatihan guru. Salah satu proyeknya yang pertama adalah Nuffield/Schools Council Humanities Curriculum Project tahun 1967. Proyek ini disiapkan untuk meningkatkan usia anak yang meninggalkan sekolah, disediakan bagi anak usia 14 sampai 16 tahun dan yang kecerdasannya di bawah rata-rata. Banyak kesulitan yang dialami dalam proyek ini, yang paling kritis adalah mengenai komunikasi antara tim proyek dengan guru-guru, para administrator, dan para siswa. Proyek ini juga memiliki suatu tim evaluasi. Salah satu kesimpulan dari hasil evaluasi mereka adalah hasil-hasil yang dicapai oleh guru-guru yang terlatih (yang mengerti maksud serta latar belakang
proyek) tidak dapat dicapai oleh guru-guru yang tidak terlatih. Ini menunjukkan bahwa latihan guru memegang peranan penting dalam penyebaran program. Model evaluasi kaitannya dengan teori kurikulum. Perbedaan konsep dan strategi pengembangan dan penyebaran kurikulum, juga menimbulkan perbedaan dalam rancangan evaluasi. Model evaluasi yang bersifat komparatif atau menekankan pada objektif sangat sesuai bagi kurikulum yang bersifat rasional dan menekankan isi. Dalam kurikulum yang menekankan situasi sukar disusun evaluasi yang bersifat komparatif, karena konteksnya bukan terhadap guru atau satu tujuan, tetapi terdapat banyak tujuan. Dengan menggunakan konsep Ralph Tylor atau Benyamin Bloom mungkin dapat dibuat suatu modifikasi dengan menyusun tujuan yang bersifat universal yang dapat digunakan pada semua situasi, tetapi tujuan yang bersifat umum seperti itu akin kabur, dan sukar menyusun alat evaluasinya. Pendekatan yang bersifat goal free (lebih menekankan penguasaan aktual dan bukan ideal) lebih memungkinkan, tetapi harus dihindari penjenjangan tujuan sampai pada perumusan tujuan yang sangat khusus, dengan kriteria yang khusus pula. Pada kurikulum yang menekankan organisasi, tugas evaluasi lebih sulit lagi, karena isi dan hasil kurikulum bukan hal yang utama, yang utamanya adalah aktivitas dan kemampuan siswa. Salah satu pemecahan bagi masalah ini adalah dengan pendekatan yang bersifat eklektik seperti dalam proyek Kurikulum Humaniti dari CARE. Dalam proyek itu dicari perbandingan materi antara proyek yang menggunakan guru yang terlatih dengan yang tidak terlatih, dalam evaluasinya juga diteliti pengaruh umum dari proyek, dengan cara mengumpulkan bahan-bahan secara studi kasus dari sekolah-sekolah proyek. Meskipun pendekatan perbandingan banyak memberikan hasil yang berharga, tetapi meminta waktu terlalu banyak dari para evaluator. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata, bahan-bahan dari hasil studi kasus memberikan hasil yang lebih berharga bagi evaluasi kurikulum. Teori kurikulum dan teori evaluasi. Model evaluasi kurikulum berkaitan erat dengan konsep kurikulum yang digunakan, seperti model pengembangan dan penyebaran dihasilkan oleh kurikulum yang menekankan isi. Evaluasi kurikulum yang bebas tujuan (Goal free evaluation) dalam kebanyakan kurikulum bukan
merupakan salah satu alternatif evaluasi tetapi merupakan satu-satunya prosedur evaluasi yang paling memungkinkan. Macam-macarn model evaluasi yang digunakan bertumpu pada aspek- aspek tertentu yang diutamakan dalam proses pelaksanaan kurikulum. Model evaluasi yang bersifat komparatif berkaitan erat dengan tingkahtingkah laku individu, evaluasi yang menekankan tujuan berkaitan erat dengan kurikulum yang menekankan pada bahan ajaran atau isi kurikulum, model (pendekatan) antropologis dalam evaluasi ditujukan untuk mengevaluasi tingkah-tingkah laku dalam suatu lembaga sosial. Dengan demikian sesungguhnya terdapat hubungan yang sangat erat antara evaluasi dengan kurikulum sebab teori kurikulum juga merupakan teori dari evaluasi kurikulum.
D. Peranan Evaluasi Kurikulum Evaluasi kurikulum dapat dilihat sebagai proses sosial dan sebagai institusi sosial. Proyek-proyek evaluasi yang dikembangkan di lnggris umpamanya, juga di negara-negara lain, merupakan institusi sosial dari gerakan penyempurnaan kurikulum. Evaluasi kurikulum sebagai institusi sosial mempunyai asal-usul, sejarah, struktur serta interest sendiri. Beberapa karakteristik dari proyek-proyek kurikulum yang telah dikembangkan di Inggris, umpamanya (1) lebih berkenaan dengan inovasi daripada dengan kurikulum yang ada, (2) lebih berskala nasional daripada lokal, (3) dibiayai oleh vim/ dari luar yang berjangka pendek daripada oleh anggapan tetap, (4) 1(.1)111 banyak dipengaruhi oleh kebiasaan penelitian yang bersifat psikometris daripada oleh kebiasaan lama yang berupa penelitian social. Peranan evaluasi kebijaksanaan dalam kurikulum khususnya pendidikan umumnya minimal berkenaan dengan tiga hal, yaitu : evaluasi sebagai moral judgement, evaluasi dan penentuan keputusan, evaluasi, dan konsensus nilai. Evaluasi sebagai moral judgement. Konsep utama dalam evaluasi adalah masalah nilai. Hasil dari suatu evaluasi berisi suatu nilai yang akan digunakan untuk tindakan selanjutnya. Hal ini mengandung dua pengertian, pertama evaluasi berisi suatu skala nilai moral, berdasarkan skala tersebut suatu objek evaluasi dapat dinilai. Kedua, evaluasi berisi suatu perangkat kriteria praktis berdasarkan kriteria-kriteria tersebut suatu hasil dapat dinilai.
Evaluasi bukan merupakan suatu proses tunggal, minimal meliputi dua kegiatan, pertama mengumpulkan informasi dan kedua menentukan suatu keputusan. Kegiatan yang pertama mungkin juga mengandung segisegi nilai (terutama dalam memilih sumber informasi dan jenis informasi yang akan dikumpulkan), tetapi belum menunjukkan suatu evaluasi. Dalam kegiatan yang kedua, yaitu menentukan keputusan menunjukkan suatu evaluasi, dasar pertimbangan yang digunakan adalah suatu perangkat nilai-nilai. Karena masalah-masalah dan konsep-konsep dalam pendidikan selalu mengalami pengembangan, maka pertalian antara informasi pendidikan yang diperoleh dengan keputusan yang diambil tidak selalu sama, mengalami perkembangan pula. Perkeinbangan ini terutama berkenaan dengan perkembangan atau perubahan nilai-nilai. Oleh karena itu, salah satu tugas dari para evaluator pendidikan mempelajari kerangka nilai-nilai tersebut. Atas dasar kerangka nilai- nilai tersebut maka keputusan pendidikan diambil. Dalam evaluasi kurikulum salah satu hal yang sering menjadi inti perdebatan antara para ahli adalah pemisahan antara pengumpulan dan penyusunan informasi dengan penentuan keputusan. Perbedaan pendapat mengenai hal ini akan direfleksikan dalam perbedaan-perbedaan perumusan tentang evaluasi. Daniel Stufflebeam (1971) merumuskan evaluation is the process of delinating, obtaining and providing useful information for delinating, obtaining and providing useful information for judging decision alternatif. Stake (1976), dari Universitas Illinois merumuskan evaluation is an observed value compared to some standard. Michael Scriven (1969) dari Universitas Indiana, memberikan perumusan tentang tugas evaluator, Its (the evaluator's) task is to try very hard to condense all that mass of data into one word: good, or bad. Kutipan-kutipan di atas bukan saja melukiskan perbedaan tekanan pada pengumpulan informasi atau pada penentuan keputusan, tetapi juga memperlihatkan adanya perbedaan karakteristik, mereka yang lebih menekankan pengumpulan informasi memandang terlepas atau tidak melibatkan nilai-nilai. Hal itu tidak benar, sebab baik pada pemilihan masalah yang akan diteliti, pengumpulan data, pemilihan teknik penentuan sampel serta penyajian hasil penelitian selalu melibatkan atau menyangkut masalah nilai-nilai. Nilai-nilai
tersebut baik dilihat dari evaluasi, para sponsor, atau dari subjek yang dinilai. Apabila terdapat perbedaan nilai antara mereka, dapat timbul ketegangan atau konflik. Pemisahan antara pengumpulan informasi dengan penentuan keputusan merupakan salah satu karakteristik institusional, hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan pemisahan pekerjaan administrator dan peneliti. Dalam pendidikan perbedaan formal tersebut tidak ada, pengumpul data adalah pengambil keputusan juga. Evaluasi dan penentuan keputusan. Siapa pengambil keputusan dalam pendidikan atau khususnya dalam pelaksanaan kurikulum. Pengambil keputusan dalam pelaksanaan pendidikan atau kurikulum banyak, yaitu: guru, murid, orang tua, kepala sekolah, para inspektur, pengembang kurikulum, dan sebagainya. Siapa di antara mereka yang memegang peranan paling besar dalam penentuan keputusan. Pada prinsipnya tiap individu di atas membuat keputusan sesuai dengan posisinya. Murid mengambil keputusan sesuai dengan posisinya sebagai murid. Guru mengambil berbagai keputusan sesuai dengan posisinya sebagai guru. Besar atau kecilnya peranan keputusan yang diambil oleh seseorang sesuai dengan lingkup tanggung jawabnya serta lingkup masalah yang dihadapinya pada suatu saat. Beberapa hasil evaluasi menjadi bahan pertimbangan bagi murid untuk mengambil keputusan apakah ia harus lebih rajin belajar atau tidak, apakah ia harus memilih jurusan IPA atau IPS, dan sebagainya. Dengan perkataan lain penentuan keputusan yang diambil oleh murid, sebagian besar berkenaan dengan kepentingan dirinya. Lain halnya dengan keputusan yang diambil oleh seorang guru, ia mengambil keputusan bagi kepentingan seorang atau beberapa orang mu- rid, atau dapat pula mengambil keputusan bagi seluruh murid. Demikian juga lingkup keputusan yang diambil oleh kepala sekolah, inspektur, pengembang kurikulum, dan sebagainya berbeda-beda. Jadi, tiap pengambil keputusan dalam proses evaluasi memegang posisi nilai yang berbeda, sesuai dengan posisinya. Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam penggunaan hasil evaluasi bagi pengambilan keputusan adalah, hasil evaluasi yang diterima oleh berbagai pihak pengambil keputusan adalah sama. Masalah yang timbul adalah, apakah hasil evaluasi
tersebut dapat bermanfaat bagi semua pihak. Sudah tentu jawabannya belum tentu. Suatu informasi mungkin lebih bermanfaat bagi pihak tertentu, tetapi kurang bermanfaat bagi pihak yang lain, dan seterusnya. Evaluasi dan konsensus nilai. Dalam bagian yang terdahulu sudah dikemukakan bahwa penelitian pendidikan dan evaluasi kurikulum sebagai perilaku sosial berisi nilai-nilai. Dalam berbagai situasi pendidikan serta kegiatan pelaksanaan evaluasi kurikulum sejumlah nilai-nilai dibawakan oleh orang-orang yang turut terlibat (berpartisipasi) dalam kegiatan penilaian atau evaluasi. Para partisipan dalam evaluasi pendidikan dapat terdiri atas: orang tua, murid, guru, pengembang kurikulum, administrator, ahli politik, ahli ekonomi, penerbit, arsitek, dan sebagainya. Pernah dimimpikan bahwa para partisipan tersebut merupakan suatu kelompok yang homogen sebagai pengambil keputusan atas hasil penelitian, tetapi beberapa pengalaman menunjukkan bahwa hal itu tidak mungkin. Mereka mempunyai sudut pandangan, kepentingan nilai-nilai serta pengalaman tersendiri. Bagaimana caranya agar di antara mereka terdapat kesatuan penilaian. Kesatuan penilaian hanya dapat dicapai melalui suatu konsensus. Secara historis konsensus nilai dalam evaluasi kurikulum berasal dari tradisi tes mental serta eksperimen. Konsensus tersebut berupa kerangka kerja penelitian, yang dipusatkan pada tujuan-tujuan khusus, pengukuran prestasi belajar yang bersifat behavioral, penggunaan analisis statistik dari pre test dan post test dan lain-lain. Model penelitian di atas merupakan suatu social engineering atau system approach dalam pendidikan. Dalam model penelitian tersebut keseluruhan kegiatan dapat digambarkan dalam suatu flow chart yang merumuskan secara operasional input (pre test) caracara kegiatan (treatment) serta output (post test). Model di atas mendapatkan beberapa kritik, tetapi kritik atau kesulitan tersebut yang paling utama adalah dalam merumuskan tujuan-tujuan khusus yang dapat diterima oleh seluruh partisipan evaluasi kurikulum serta perencanaan kurikulum. Juga di antara partisipan harus ada persetujuan tentang tujuan-tujuan mana yang paling penting.
Selain harus terdapat konsensus tentang tujuan-tujuan yang akan dicapai, dalam penggunaan model di atas juga harus ada konsensus tentang siapa di antara para partisipan tersebut yang turut terlibat secara langsung. Tanpa adanya persetujuan tentang hal-hal tersebut maka sukar untuk dapat menyusun flow chart yang definitif. Model system approach atau model social engineering bersifat goal based evaluation, karena bertitik tolak dari tujuan-tujuan yang khusus. Karena model ini mempunyai beberapa keberatan, maka berkembang model evaluasi yang lain yang lebih bersifat goal free evaluation. Pendekatan evaluasi yang bersifat goal free bertolak dari sikap kebudayaan yang majemuk (cultural pluralism). Sikap kebudayaan yang majemuk mempunyai dasar relativis, memandang bahwa tiap pandangan sama baiknya. Dalam evaluasi kurikulum sudah tentu pandangan ini mempunyai kesulitan yang cukup besar, sebab alat-alat evaluasi yang drgunakan bertolak dari dasar posisi nilai yang berbeda. Dengan demikian evaluasi juga bersifat relatif. Evaluasi model ini dapat ditemukan pada para peneliti yang memandang pekerjaannya semata-mata hanya sebagai pengumpulan data.
E. Ujian sebagai Evaluasi Sosial Sejak diperkenalkannya sistem ujian atau tes untuk umum di Amerika Serikat dan negara-negara lain, pengukuran yang berbentuk umum (publik) tersebut merupakan salah satu model evaluasi dalam pendidikan. Menguji adalah mengevaluasi kemampuan individu. Dengan adanya ujianujian tersebut, maka jenis-jenis kemampuan tertentu dipandang menunjukkan status lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan lainnya. Penguasaan pengetahuan dan kemampuan skolastik umpamanya sering dipandang memiliki status lebih tinggi daripada penguasaan kemampuan yang lainnya. Keberhasilan dalam ujian pengetahuan dan kemampuan skolastik, selama bertahun-tahun ditentukan oleh kemampuan mengingat faktafakta. Kecenderungan ini bukan saja didasari oleh teori psikologi lama, yang memandang bahwa otak yang lebih baik mampu menguasai fakta lebih banyak, tetapi juga oleh keadaan masyarakat di mana buku-buku sumber (teks) pengetahuan secara relatif tidak berubah selama dua abad. Westminster Shorter
Catechism umpamanya digunakan sebagai buku teks di sekolah-sekolah di Scotlandia dari abad 17 sampai 19. Karena adanya berbagai kemajuan dalam masyarakat, maka dalam perkembangan selanjutnya jenis kemampuan yaitu kemampuan menyimpulkan dipandang mempunyai nilai yang lebih tinggi. Ujian bukan saja menunjukkan nilai pengetahuan atau kemampuan secara sosial, tetapi juga telah merupakan peraturan dari sekolah. Dalam dua dekade pertama dari abad 20 sejumlah ahli psikologi dikumpulkan dalam satu komisi untuk menyusun tes kecerdasan. Hasilnya digunakan untuk menyeleksi anak-anak yang akan masuk ke sekolah menengah yang tidak mampu membayar uang sekolah. Kemudian tes tersebut juga digunakan sebagai alat bagi penentuan kenaikan kelas serta sebagai saringan masuk. Pelaksanaan ujian-ujian tersebut sejalan dengan anggapan masyarakat pada waktu itu, bahwa hanya sebagian dari penduduk yang mempunyai kemampuan untuk menguasai pengetahuan pada suatu jenis sekolah atau pada jenjang sekolah tertentu. Sistem ujian yang mempunyai nilai historis ini juga digunakan untuk mengontrol efisiensi dan efektivitas pelaksanaan sekolah. Apakah sistem ini dipandang baik atau jelek bergantung pada pandangan yang menggunakannya. Sistem ujian seperti yang dilaksanakan di atas, lebih banyak digunakan untuk mengukur atau menguji kemampuan individu-individu (siswa). Untuk menilai gambaran sekolah secara keseluruhan, yaitu menilai tentang keadaan murid, guru, kurikulum, pembiayaan sekolah, fasilitas sekolah, keseragaman sekolah, penyusunan rancangan dan pemeliharaan sekolah diperlukan sistem pengumpulan data serta penilaian yang lain. Kalau untuk mengukur kemampuan siswa digunakan istilah examination atau assessment maka untuk penilaian keseluruhan situasi sekolah atau kurikulum lebih tepat digunakan istilah evaluation. Para evaluator menyadari bahwa aneka macam kerangka kerja evaluasi mempunyai implikasi terhadap penentuan keputusan pendidikan. Barry Mc Donald (1975), mendasarkan argumentasinya pada anggapan dasar bahwa evaluasi merupakan kegiatan politik. is membedakan adanya tiga tipe evaluasi dalam pendidikan dan kurikulum, yaitu evaluasi birokratik, otokratik, dan demokratik.
Evaluasi birokratik, merupakan suatu layanan yang bersifat unconditional terhadap lembaga-lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang kontrol terbesar dalam alokasi sumber-sumber pendidikan. Evaluator menerima kebijaksanaan dari pemegang jabatan, dengan menggunakan berbagai informasi yang diperoleh akan membantu mereka mencapai tujuan dari kebijaksanaan yang telah digariskan. Evaluator tidak mempunyai kekuasaan sendiri, atau kontrol sendiri terhadap penggunaan informasi yang diperoleh. Prinsip utama evaluasi birokratik adalah pelayanan (service), penggunaan (utility), dan efisiensi (efficiency). Evaluasi otokratik, merupakan layanan evaluasi terhadap lembagalembaga pemerintah yang mempunyai wewenang kontrol cukup besar dalam mengalokasikan sumber-sumber pendidikan. Tugas para evaluator adalah membantu pelaksanaan kebijaksanaan, ketentuan-ketentuan hukum dan moral dari birokrasi. Peranan evaluator tidak dicampuri oleh pihak yang dilayaninya, dan is mempunyai wewenang penuh dalam bidangnya. Bila rekomendasi evaluator ditolak maka kebijaksanaannya tidak bisa dilaksanakan. Sumber kekuataan evaluator adalah penelitian kemasyarakatan. Konsep utama evaluator otokratik adalah evaluasi yang bersifat prinsipil dan objektif (principles and objectivity). Evaluasi demokratik, merupakan layanan pemberian informasi terhadap masyarakat, tentang program-program pendidikan. Evaluasi ini menganut nilai pluralisme serta mengusahakan memenuhi berbagai minat masyarakat dalam memberikan informasi. Tugasnya adalah memberikan informasi terhadap kelompok-kelompok masyara kat, dan evaluator bertindak sebagai perantara dalam pertukaran informasi di antara kelompokkelompok yang berbeda. Teknik pengumpulan dan penyajian data yang digunakan harus dapat dipahami oleh penerima informasi yang bukan ahli. Kriteria keberhasilannya adalah pihak yang dilayaninya seluas-luasnya. Konsep utama evaluator demokratis adalah kerahasiaan, musyawarah, dan ketercapaian sasaran (confidentiality, negosiasi, and accessibility). Sebagai contoh Mc Donald memandang bahwa pelaksanaan evaluasi di Amerika Serikat dewasa ini bersifat birokratik, karena kenyataannya evaluasi sebagian besar dibiayai oleh pemerintah pusat atau negara bagian, kedudukan
evaluator berbeda-beda di bawah lembaga-lembaga federal. Lembaga-lembaga pendidikan setempat berada di bawah lembaga-lembaga pusat yang memberikan biaya.
F. Model-Model Evaluasi Kurikulum Evaluasi kurikulum merupakan suatu tema yang luas, meliputi banyak kegiatan, meliputi sejumlah prosedur, bahkan dapat merupakan suatu lapangan studi yang berdiri sendiri. Evaluasi kurikulum juga merupakan suatu fenomena yang multifaset, memiliki banyak segi. Bagian ini membahas perkembangan evaluasi kurikulum, yaitu evaluasi kurikulum sebagai fenomena sejarah, suatu elemen dalam proses sosial dihubungkan dengan perkembangan pendidikan.
1. Evaluasi model penelitian Model evaluasi kurikulum yang menggunakan model penelitian didasarkan atas teori dan metode tes psikologis serta eksperimen lapangan. Tes psikologis atau tes psikometrik pada umumnya mempunyai dua bentuk, yaitu tes inteligensi yang ditujukan untuk mengukur kemampuan bawaan, serta tes hasil belajar yang mengukur perilaku skolastik. Eksperimen lapangan dalam pendidikan, dimulai tahun 1930 dengan menggunakan metode yang biasa digunakan dalam penelitian botani pertanian. Para ahli botani pertanian mengadakan percobaan untuk mengetahui produktivitas bermacam-macam benih. Beberapa macam benih ditanam pada petak-petak tanah yang memiliki kesuburan dan lain-lain yang sama. Dari percobaan tersebut dapat diketahui benih mana yang paling produktif. Percobaan serupa dapat juga digunakan untuk mengetahui pengaruh tanah, pupuk dan sebagainya terhadap produktivitas suatu macam benih. Model eksperimen dalam botani pertanian dapat digunakan dalam pendidikan, anak dapat disamakan dengan benih, sedang kurikulum serta berbagai fasilitas serta sistem sekolah dapat disamakan dengan tanah dan pemeliharaannya. Untuk mengetahui tingkat kesuburan benih (anak) serta hasil yang dicapai pada akhir program percobaan dapat digunakan tes (pre test dan post test).
Comparative approach dalam evaluasi. Salah satu pendekatan dalam evaluasi yang enggunakan eksperimen lapangan adalah mengadakan pembandingan antara dua macam kelompok anak, umpamanya yang menggunakan dua metode belajar yang berbeda. Kelompok pertama belajar membaca dengan metode global dan kelompok lain menggunakan metode unsur. Kelompok mana yang lebih baik atau lebih berhasil? Apakah keberhasilan metode tersebut dapat ditransfer ke metode yang lain? Rancangan penelitian lapangan ini membutuhkan persiapan yang sangat teliti dan rinci. Besarnya sampel, variabel yang terkontrol, hipotesis, treatment, tes hasil belajar dan sebagainya, perlu dirumuskan secara tepat dan rinci. Ada beberapa kesulitan yang dihadapi dalam eksperimen tersebut. Pertama, kesulitan administratif, sedikit sekali sekolah yang bersedia dijadikan sekolah eksperimen. Kedua, masalah teknis dan logis, yaitu kesulitan menciptakan kondisi kelas yang sama untuk kelompok-kelompok yang diuji. Ketiga, sukar untuk mencampurkan guru-guru untuk mengajar pada kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol, pengaruh guru- guru tersebut sukar dikontrol. Keempat, ada keterbatasan mengenai manipulasi eksperimen yang dapat dilakukan. Dalam botani pertanian dengan rancangan yang sangat sempurna dapat memanipulasi eksperimen sampai 25 treatment, tetapi dalam penelitian pendidikan tidak mungkin dapat melakukan treatment sebanyak itu.
2. Evaluasi model objektif Evaluasi model objektif (model tujuan) berasal dari Amerika Serikat. Perbedaan model objektif dengan model komparatif adalah dalam dua hal. Pertama dalam model objektif, evaluasi merupakan bagian yang sangat penting dari proses pengembangan kurikulum. Para evaluator juga mempunyai peranan menghimpun pendapat-pendapat orang luar tentang inovasi kurikulum yang dilaksanakan. Evaluasi dilakukan pada akhir pengembangan kurikulum, kegiatan penilaian ini sering disebut evaluasi sumatif. Dalam hal-hal tertentu sering evaluator bekerja sebagai bagian dari tim pengembang. Informasi-informasi yang diperoleh dari hasil penilaiannya digunakan untuk penyempurnaan inovasi yang sedang berjalan. Evaluasi ini sering disebut evaluasi formatif. Kedua, kurikulum
tidak dibandingkan dengan kurikulum lain tetapi diukur dengan seperangkat objektif (tujuan khusus). Keberhasilan pclaksanaan kurikulum diukur oleh penguasaan siswa akan tujuan-tujuan tersebut. Para pengembang kurikulum yang menggunakan sistem instruksional (model objektif) menggunakan standar pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Tujuan dari comparative approach adalah menilai apakah kegiatan yang dilakukan kelompok eksperimen lebih baik daripada kelompok kontrolpleh karena itu, kedua kelompok tersebut hams ekuivalen, tetapi dalam model objektli hal itu tidak menjadi soal. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh tim pengembang model objektif. 1. Ada kesepakatan tentang tujuan-tujuan kurikulum, 2. Merumuskan tujuan-tujuan tersebut dalam perbuatan siswa, 3. Menyusun materi kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut, 4. Mengukur kesesuaian antara perilaku siswa dengan hasil yang diinginkan. Pendekatan inilah yang digunakan oleh Ralph Tylor (1930) dalam menyusun tes dengan titik tolak pada perumusan tujuan tes, sebagai asal mula pendekatan sistem (system approach). Pada tahun 1950-an Benyamin S. Bloom dengan kawan-kawannya menyusun klasifikasi sistem tujuan yang meliputi daerah-daerah belajar (cognitive domain). Mereka membagi proses mental yang berhubungan dengan belajar tersebut dalam 6 kategori, yaitu knowledge, comprehension, application, analysis, synthesis dan evaluation. Mereka membagi- bagi lagi tujuan-tujuan tersebut pada sub-tujuan yang lebih khusus. Perumusan tujuan-tujuan dari Bloom dan kawan-kawan belum sampai pada perumusan tujuan yang bersifat behavioral, untuk itu diperlukan perumusan lebih lanjut yang sangat khusus dan bersifat behavioral. Dasar-dasar teori Tylor dan Bloom menjadi prinsip sentral dalam berbagai rancangan kurikulum, dan mencapai puncaknya dalam sistem belajar berprogram dan sistem instruksional. Sistem pengajaran yang terkenal adalah IPI (Individually Prescribed Instruction), suatu program yang dikembangkan oleh Learning Research and Development Centre Universitas Pittsburg. Dalam IPI anak mengikuti kurikulum yang memiliki 7 unsur:
1. Tujuan-tujuan pengajaran yang disusun dalam daerah-daerah, tingkattingkat dan unit-unit, 2. Suatu prosedur program testing, 3. Pedoman perosedur penulisan, 4. Materi dan alat-alat pengajaran, 5. Kegiatan guru dalam kelas, 6. Kegiatan murid dalam kelas, dan 7. Prosedur pengelolaan kelas. Tes untuk mengukur prestasi belajar anak merupakan bagian integral dan kurikulum. Tiap butir tes berkenaan dengan keterampilan, unit atau tingkat tertentu dari tujuan khusus. Untuk mengikuti program pendidikan, siswa hams mengambil dulu tes penempatan, untuk menentukan di mana mereka harus mulai belajar. Kemajuan siswa dimonitor oleh guru dengan memberikan tes yang mengukur tingkat penguasaan tujuan-tujuan khusils melalui pre test dan post test. Siswa dianggap mengusai suatu unit Oa memperoleh skor minimal 80. Bila ini sudah dikuasai berarti penguasaan siswa sudah sesuai dengan kriteria.
3. Model campuran multivariasi Evaluasi model perbandingan (comparative approach) dan model Tylor dan Bloom melahirkan evaluasi model campuran multivariasi, yaitu strategi evaluasi yang menyatukan unsur-unsur dari kedua pendekatan tersebut. Strategi ini memungkinkan pembandingan lebih dari satu kurikulum dan secara serempak keberhasilan flap kurikulum diukur berdasarkan kriteria khusus dari masing- masing kurikulum? Seperti halnya pada eksperimen lapangan serta usaha-usaha awal dari Tylor dan Bloom, metode ini pun terlepas dari proyek evaluasi. Metodemetode tersebut masuk ke bidang kurikulum setelah komputer dan program paket berkembang yaitu tahun 1960. Program paket berisi program statistik yang secterhana yang tidak membutuhkan pengetahuan komputer untuk mengenakannya. Dengan berkembangnya penggunaan komputer memungkinkan studi lapangan tidak dihambat oleh kesalahan dan kelambatan. Semua masalah pengolahan statistik dapat dikerjakan dengan komputer.
Langkah-langkah model multivariasi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Mencari sekolah yang berminat untuk dievaluasi/diteliti, 2. Pelaksanaan program. Bila tidak ada pencampuran sekolah tekanannya pada partisipasi yang optimal, 3. Sementara tim menyusun tujuan yang meliputi semua tujuan dari pengajaran umpamanya dengan metode global dan metode unsur, dapat disiapkan tes tambahan, 4. Bila semua informasi yang diharapkan telah terkumpul, maka mulailah pekerjaan komputer, 5. Tipe analisis dapat juga digunakan untuk mengukur pengaruh bersama dari beberapa variabel yang berbeda) Beberapa kesulitan dihadapi dalam model campuran multivariasi ini. Kesulitan pertama adalah diharapkan memberikan tes statistik yang signifikan) Maka untuk itu diperlukan 100 kelas dengan 10 pengukuran, dan ini lebih memungkinkan daripada 10 kelas dengan 100 pengukuran. Jadi model multivariasi ini lebih sesuai bagi evaluasi kurikulum skald besar. kesulitan terlalu banyaknya varaibel yang perhi dihitung pada suatu saat, kemampuan komputer hanya sampai 40 variabel, sedangkan dengan model ini dapat dikumpulkan sampai 300 variabel Kesulitan ketiza, meskipun model multivariasi telah mengurangi masalah kontrol berkenaan dengan eksperimen lapangan tetapi tetap menghadapi masalah-masalah pembandingan. Model-model evaluasi kurikulum tersebut berkembang dari dan digunakan untuk mengevaluasi model atau pendekatan kurikulum tertentu. Model perbandingan lebih sesuai untuk mengevaluasi pengembangan kurikulum yang menekankan isi (Content based curriculum), podel tujuan lebih sesuai digunakan dalam pengembangan kurikulum yang menggunakan pendekatan tujuan (Goal based curriculum), zodel campuran dapat digunakan untuk mengevaluasi baik kurikulum yang menekankan isi, tujuan maupun situasi (Situation based curriculum). Di samping model-model evaluasi kurikulum di atas, dikenal pula beberapa model evaluasi kuiikulum ynag lebih bersifat umum, seperti model EPIC, CEMREL, dan model CDPP.
Model EPIC atau Evaluation Programs for Innovative Curriculums meng- gambarkan keseluruhan program evaluasi dalam sebuah kubus. Kubus tersebut mempunyai tiga bidang. Bidang pertama adalah behavior atau perilaku yang menjadi sasaran pendidikan yang meliputi perilaku cognitive, affective dan psychomotor. Bidang kedua adalah "instruction" atau pengajaran, yang meliputi organization, content, method, facilities and cost, dan bidang ketiga adalah kelembagaan yang meliputi student, teacher, adminsitrator, educational spesialist, family and community (Doll, 1976: 374). BAGAN 9. Evaluasi model EPIC
G. Buku Acuan
Skillback, Malcolm (ed). (1984). Evaluating the Curriculum in the Eighties. London: Houder and Stoughton.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan beberapa ahli pendidikan yang berpengalaman dan memiliki spesialisasi dalam evaluasi kurikulum. Meskipun berbentuk kumpulan tulisan, tetapi telah tersusun sedemikian rupa sehingga membentuk satu pemikiran yang utuh tentang evaluasi kurikulum. Bahan yang diuraikan mencakup perkembangan-perkem- bangan baru di Inggris pada dekade 80-an, hasil evaluasi kelembagaan, riset lapangan, testing nasional, di samping hasil-hasil pemikiran yang telah lama ada. Buku ini memberikan tekanan dan ilustrasi tentang peranan evalausi kurikulum dalam penentuan kebijaksanaan dan
pengembangan kurikulum secara komprehensif dan mutakhir. Tulisan ini cukup substansial bagi pengkajian masalah evaluasi kurikulum dan sartgat berharga bagi para ahli pengembangan dan evaluasi kurikulum. Stufflebeam, Daniel L et al. (1971). Educational Evaluation, and Decision Mak- ing. Itasca, Illinois: F.E. Peacock Publishers, Inc. Buku ini berjudul Evaluasi Pendidikan dan Penentuan Keputusan, berisi suatu uraian yang menyeluruh tentang evaluasi pendidikan. Meskipun demikian isinya sebagian besar menyangkut evaluasi tentang kurikulum serta pemanfaatan hasil evaluasi bagi penyempurnaan kurikulum. Keseluruhan isi buku ini sangat berharga bagi para ahli dan pengembang kurikulum, ahli evaluasi kurikulum, ahli pendidikan, dan ahli adrninistrasi pendidikan. Penyempumaan kurikulum khususnya pendidikan umumnya, harus didasarkan atas hasil-hasil evaluasi. Buku ini memberikan landasan bagi pelaksanaan evaluasi tersebut, secara konseptual, komprehensif sederhana dan praktis tetapi juga mendalam.
BAB 10 GURU DAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Guru sebagai Pendidik Profesional Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik (guru) dan peserta didik (siswa) untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Pendidik, peserta didik, dan tujuan pendidikan merupakan komponen utama pendidikan. Ketiganya membentuk suatu triangle, jika hilang salah satu komponen, hilang pulalah hakikat pendidikan. Dalam situasi tertentu tugas guru dapat diwakilkan atau dibantu oleh unsur lain seperti oleh media teknologi, tetapi tidak dapat digantilcan. Mendidik adalah pekerjaan profesional, oleh karena itu guru sebagai pelaku utama pendidikan merupakan pendidik profesional. Sebagai pendidik profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara pagesional, tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional. Dalam diskusi pengembangan model pendidikan profesional tenaga kependidikan, yang diselenggarakan oleh PPS IKIP Bandung tahun 1990, dirumuskan 10 ciri suatu profesi, yaitu: 1. Memiliki fungsi dan signifikansi social 2. Memiliki keahlian/keterampilan tertentu. 3. Keahlian/keterampilan diperoleh dengan menggunakan teori dan metode ilmiah. 4. Didasarkan atas disiplin ilmu yang jelas. 5. Diperoleh dengan pendidikan dalam masa tertentu yang cukup lama. 6. Aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional. 7. Memiliki kode etik. 8. Kebebasan untuk memberikan judgment dalam memecahkan masalah dalam lingkup kerjanya. 9. Memiliki tanggung jawab profesional dan otonomi. 10. Ada pengakuan dari masyarakat dan imbalan atas layanan profesinya.
Mungkin belum seluruh ciri profesi di atas telah dimiliki secara kokoh (sempurna) oleh para pendidik kita. Sebab sebagai suatu profesi terbuka, masih ada anggapan masyarakat bahwa setiap orang bisa menjadi pendidik, atau setiap orang bisa mendidik. Memang hal itu sukar dihindari, walaupun telah ada batas yang jelas antara pendidikan formal dengan pendidikan informal, atau antara pendidikan profesional dengan nonprofesional, tetapi orang-orang yang tidak memiliki profesi dalam bidang pendidikan juga melaksanakan tugas-tugas pendidikan formal- profesional dan mengganggap dirinya telah memiliki profesi tersebut. Pada sisi lain, mengingat banyaknya jenis dan jenjang pendidikan yang harus disediakan bagi berbagai kategori peserta didik, juga tidak bisa dihindari banyaknya tenaga nonprofesional pendidikan yang melaksanakan tugas- tugas pendidikan.
Louis E. Raths (1964), mengemukakan sejumlah kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru. The points are proposed, not as a rating scale, but as a broad frame work for teachers to discover more about themselves in relation to the func- tions of teaching: 1. Explaining, informing, showing how, 2. Initiating, directing, administering, 3. Unifying the group, 4. Giving security, 5. Clarifying attitudes, beliefs, problems, 6. Diagnosing learning problems, 7. Making curriculum materials, 8. Evaluating, recording, reporting, 9. Enriching community activities, 10. Organizing and arranging classroom, 11. Participating in school activities, 12. Participating in professional and civic life.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1980) telah merumuskan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki guru dan mengelompok- kannya atas tiga dimensi umum kemampuan, yaitu: 1. Kemampuan profesional, yang mencakup: a. Penguasaan materi pelajaran, mencakup bahan yang akan diajarkan dan dasar keilmuan dari bahan pelajaran tersebut. b. Penguasaan landasan dan wawasan kependidikan dan keguruan. c. Penguasaan proses kependidikan, keguruan dan pembelajaran siswa. 2. Kemampuan sosial, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja dan lingkungan sekitar. 3. Kemampuan personal yang mencakup: a. Penampilan sikap yang positif terhadap keseluruhan tugasnya sebagai guru, dan terhadap keseluruhan situasi pendidikan. b. Pemahaman, penghayatan, dan penampilan nilai-nilai yang seyogianya dimiliki guru. c. Penampilan upaya unruk menjadikan dirinya sebagai anutan dan teladan bagi para siswanya.
Lebih lanjut Depdikbud (1980) merinci ketiga kelompok kernampuan tersebut menjadi 10 kemampuan dasar, yaitu: 1. Penguasaan bahan pelajaran beserta konsep-konsep dasar keil- muannya. 2. Pengelolaan program belajar-mengajar. 3. Pengelolaan kelas. 4. Penggunaan media dan sumber pembelajaran. 5. Penguasaan landasan-landasan kependidikan. 6. Pengelolaan interaksi belajar-mengajar. 7. Penilaian prestasi siswa. 8. Pengenalan fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan. 9. Pengenalan dan penyelenggaraan administrasi sekolah. 10. Pemahaman prinsip-prinsip dan pemanfaatan hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan peningkatan mutu pengajaran.
Kedua belas kemampuan yang dikemukakan oleh Rath berkenaan dengan pelaksanaan pengajaran dan pengembangan kemampuan dalam me- ngajar. Ada satu hal yang tidak dinyatakan secara eksplisit Rath yaitu penguasaan rnateri atau bahan pelajaran. Penguasaan kemampuan proses hams terjalin secara utuh dengan penguasaan isi, baik yang berasal dari disiplin ilmu, maupun dari kehidupan masyarakat. Dua kemampuan terakhir dari Rath, tidak berkenaan dengan teknis pengajaran, tetapi dengan kegiatan yang lebih luas, yaitu partisipasi dalam kegiatan di sekolah, dalam masyarakat biasa dan masyarakat profesional. Untuk dapat berpartisipasi dalam situasi- situasi tersebut, selain harus menguasai kemampuan teknis pendidikan, dan penguasaan bidang studi, juga penguasaan kemampuan sosial, seperti kepemimpinan, hubungan sosial, dan komunikasi dengan orang lain. Sepuluh kemampuan dasar yang dirumuskan Depdikbud sebenarnya baru merupakan rincian kelompok kemampuan pertama (kemampuan profesional), sedangkan kelompok kemampuan yang kedua dan ketiga (kemampuan sosial dan personal), belum dirinci lebih jauh, padahal cukup penting. Di antara kemampuan sosial dan personal yang paling mendasar yang harus dikuasai guru adalah idealisme, idealisme dalam pendidikan. Penguasaan dan penggunaan dua belas kemampuan dari Rath atau sepuluh kemampuan dari Depdikbud, hanya akan optimal apabila didasari oleh adanya idealisme, yaitu cita-cita luhur yang ingin dicapai dengan pendidikan. Perbuatan mendidik harus dilandasi oleh sikap dan keyakinan sebagai pengabdian pada nusa, bangsa, dan kemanusiaan, untuk mencerdaskan bangsa, untuk melahirkan generasi pembangunan, atau generasi penerus yang lebih andal, dan sebagainya. Kalau perbuatan mendidik hanya didorong oleh kebutuhan memperoleh nafkah, maka guru-guru hanya akan bekerja ala kadarnya, bekerja secara mekanistis dan formalitas. Idealisme seharusnya dimiliki oleh setiap profesi, karyawan, bahkan setiap orang. Idealisme dalam perbuatan mendidik akan menumbuhkan rasa cinta pada guru terhadap profesinya, terhadap pekerjaan pendidikan, terhadap para siswanya, dan sebagainya. Dengan dasar rasa cinta itu guru akan berbuat yang terbaik bagi peserta didik, bagi pendidikan. ldealisme dan rasa cinta mendasari dan menjiwai semua perilaku mendidik, menghidupkan
kemampuan-kemampuan profesional yang dimiliki. Tanpa idealisme dan rasa cinta, kemampuan-kemampuan profesional yang dirniliki hanya akan tampak seperti lampu yang kekurangan minyak.
B. Guru sebagai Pembimbing Belajar Telah dijelaskan bahwa dalam kurikulum dapat dibedakan antara official atau written curriculum dengan actual curriculum. Official atau written cur- riculum merupakan kurikulum resmi yang tertulis, yang merupakan acuan bagi pelaksanaan pengajaran dalam kelas. Actual curriculum merupakan kurikulum nyata yang dilaksanakan of eh guru-guru. Kurikulum nyata merupakan implementasi dari official curriculum di dalam kelas. Beberapa ahli menyatakan bahwa betapapun bagusnya suatu kurikulum (official), hasilnya sangat bergantung pada apa yang dilakukan oleh guru di dalam kelas (actual). Dengan demikian, guru memegang peranan penting baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan kurikulum. Pada keempat konsep pendidikan yang telah diuraikan di muka terdapat perbedaan peranan atau kedudukan guru. Dalam konsep pendidikan klasik, guru berperan sebagai penerus dan penyampai ilmu, sedangkan dalam konsep teknologi pendidikan, guru adalah pelatih kemampuan. Dalam Konsep interaksional guru berperan sebagai mitra belajar, sedangkan dalam konsep pendidikan pribadi, guru lebih berperan sebagai pengarah, pendorong dan pembimbing. Dalam praktik pendidikan di sekolah, jarang sekali digunakan satu konsep pendidikan secara utuh. Pada umumnya pelaksanaan pendidikan bersifat eklektik, mungkin mencampurkan dua, tiga bahkan mungkin keempat-empatnya. Model- model konsep pendidikan tersebut dalam praktik tidak lagi dipandang sebagai model pendidikan yang masing-masing eksklusif, tetapi dapat dipadukan atau minimal dihubungkan satu dengan yang lainnya. Yang tampak adalah variasi peranan guru dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. Dalam keseluruhan proses belajar- mengajar atau pada suatu waktu tertentu mungkin salah satu peranan lebih menonjol dari yang lainnya. Keempat ragam peranan tersebut sesungguhnya dapat ditempatkan dalam satu kontinum, seperti pada Bagan 10.1
BAGAN 10.1 Ragam peranan guru dalam proses belajar-mengajar PENYAMPAIAN PENGETAHUAN PELATIH KEMAMPUAN MITRA BELAJAR PENGARAH PEMBIMBING
Para pelaksana pendidikan termasuk guru sering tidak melihat keempat peranan tersebut terletak dalam kontinum. Mereka melihatnya sebagai dua ekstrem. Pada satu ujung guru berperan sebagai penyampai ilmu dan pelatih dalam arti drilling, dan pada ujung lain peran guru sebagai pengarah, pembimbing, pendorong, fasilitator, dan sebagainya. Praktik pendidikan yang memberikan peranan kepada guru hanya sebagai penyampai ilmu atau pelatih dianggap model lama, sedangkan yang memberikan peranan sebagai pengarah, pendorong, pembimbing dipandang model baru. Pandangan sederhana dan polair seperti itu memang banyak ditemukan, bukan hanya dalam pendidikan dan pengajaran tetapi juga dalam bidang-bidang lain. Sebenarnya semua konsep pendidikan itu baik atau memiliki kebaikan- kebaikan tertentu, di samping kendala-kendala tertentu pula. Dalam praktik yang lebih penting adalah mempertimbangkan, konsep pendidikan mana yang paling tepat untuk mencapai tujuan tertentu bagi kelompok peserta didik tertentu, pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu, dalam waktu dan kondisi tertentu pula. Sejalan dengan konsep pendidikan tersebut peran-peran apa yang tepat dimainkan oleh guru. Pada saat dan situasi tertentu peran menyampaikan materi pengetahuan memang tepat dan sangat diperlukan, tetapi pada saat lain latihan pengembangan kemampuan dengan menggunakan media pembelajaran mutakhir tepat, karena memang hal itu sangat diperlukan dan sarananya ada. Pada saat dan situasi lain pengarahan dan dorongan terhadap siswa dalam merencanakan, dan melaksanakan suatu kegiatan atau memecahkan suatu masalah adalah tepat, karena kondisinya mendukung. Jadi, sesungguhnya realisasi dari peranan guru tersebut sangat situasional, tidak ada yang berlaku umum. Meskipun demikian ada satu hal yang menjadi acuan bagi guru, dalam memilih kegiatan yang akan dilakukan serta peranan yang akan dimainkannya, yaitu siswa. Tujuan utama kegiatan guru dalam mengajar ialah mempengaruhi perubahan pola tingkah laku para siswanya. Perubahan ini terjadi karena guru memberikan perlakuan-perlakuan. Tepat tidaknya, efektif tidaknya perlakuan
yang diberikan guru akan menentukan usaha belajar yang dilakukan oleh siswa. Upaya guru memberikan perlakuan tersebut erat kaitannya dengan tingkat harapan dan perubahan yang diinginkannya. Tujuan lainnya adalah mendorong dan meningkatkan kemampuan sebagai hasil belajar, dengan cara itu, guru dapat mempengaruhi perubahan tingkah laku siswa. Untuk mencapai kedua tujuan di atas, diperlukan hubungan timbal balik antara guru dan siswa. Guru perlu menyenangi siswanya, bersikap menerima, mengerti, dan membantu. Sebaliknya siswa juga harus menerima, menyenangi, dan menghormati gurunya. Kesukaan dan sikap positif siswa kepada guru, akan meningkatkan hasil belajar mereka. Antara siswa dan guru perlu terjalin kerja sama yang baik dalam belajar. Di samping itu, guru harus memberikan kesempatan, dan menciptakan suasana kelas yang bebas, untuk mendorong siswa memecahkan sendiri masalah-masalah yang mereka hadapi. Guru tak mungkin menjawab semua pertanyaan siswa. Kesempatan belajar yang diciptakan guru adalah agar merangsang siswa belajar, berpikir, melakukan penalaran, jadi memungkinkan siswa untuk belajar sendiri. Jadi, antara guru dan siswa harus tercipta hubungan sebagai mitra belajar. Minat dan pemahaman, timbal balik antara guru dan siswa akan memperkaya kurikulum dan kegiatan belajar-mengajar pada kelas bersangkutan. Hasil dan kemajuan belajar yang dicapai siswa ditentukan juga oleh bentuk hubungan antara guru dan siswa, antara guru dan administrator, antara guru dan orang tua siswa. Hubungan guru dengan siswa menjadi syarat mutlak, bukan hanya dalam hubungan sebagai pembimbing dan yang dibimbing tetapi juga sebagai mitra belajar. Karena itu guru harus memahami siswa yang dibimbingnya dan sebaliknya siswa harus mengakui kewibawaan pembimbingnya. Hubungan antara guru dengan siswa harus didukung oleh hubungan yang sejalan antara guru dengan administrator dan guru dengan orang tua siswa. Hubungan guru dengan administrator haruslah bersikap terbuka, sehingga memungkinkan guru mencari jalan, berkreasi dan berani mencoba sendiri sesuatu usaha instruksional yang lebih baru yang dipandangnya lebih relevan dengan kegiatannya selaku guru. Antara keduanya juga tercipta hubungan sebagai mitra yang baik, tetapi dengan tugas yang berbeda. Administrator mengadakan bimbingan dan supervisi dengan
maksud merangsang kegiatan belajar para siswa. Demikian pula hubungan antara guru dengan orang tua, keduanya memiliki tanggung jawab yang sama dalam mengembangkan pribadi anak, tetapi dengan tugas yang berbeda. Orang tua bukan saja harus percaya kepada guru, akan tetapi harus memberikan dukungan dan partisipasi sebesar mungkin untuk kepentingan pendidikan anak-anak mereka di sekolah. Bagaimana bentuk hubungan dan pelaksanaan hubungan-hubungan itu tentu saja perlu dibicarakan dalam kerangka yang lebih luas. Semua kegiatan dan fasilitas yang dipilih serta peranan yang dilakukan guru harus tertuju pada kepentingan siswa, diarahkan pada memenuhi kebutuhan siswa, disesuaikan dengan kondisi siswa, dan siswa menguasai apa yang diberikan atau memperoleh perkembangan secara optimal. Dalam mengoptimalkan perkembangan siswa, ada tiga langkah yang harus ditempuh. Pertama, mendiagnosis kemampuan dan perkembangan siswa. Guru harus mengenal dan memahami siswa dengan baik, memahami tahap perkembangan yang telah dicapainya, kemampuan- kemampuannya, keunggulan dan kekurangannya, hambatan yang dihadapi serta faktor-faktor dominan yang mempengaruhinya. Setiap peserta didik sebagai individu mempunyai kemampuan, kecepatan belajar, karakteristik dan problem-problem sendiri, yang berbeda dengan individu lainnya. Perkembangan yang optimal hanya mungkin dapat dicapai apabila kegiatan yang dilakukan siswa dan bantuan yang diberikan guru, disesuaikan dengan kondisi tersebut. Kedua, memilih cara pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa. Pembelajaran yang betul-betul disesuaikan dengan perbedaan individual, harus pendekatan pembelajaran yang bersifat individual. Pendekatan demikian pernah dilaksanakan pada delapan PPSP dengan menggunakan sistem modul, tetapi karena alasan-alasan tertentu, PPSP dibubarkan dan metode tersebut tidak digunakan lagi. Konsep modul dan sistem belajar sendirinya masih dipakai pada SMP dan Universitas Terbuka. Di sekolah- sekolah biasa umumnya digunakan pendekatan yang bersifat klasikal. Dalam pendekatan klasikal sebenarnya tidak tertutup kemungkinan untuk memperhatikan perbedaan individual. Salah satu prinsip pengajaran yang efektif, adalah nnenggunakan pendekatan atau metode dan media yang bervariasi, "pendekatan multi metode-multi media". Dengan
menggunakan metode dan media yang bervariasi, perbedaan-perbedaan individual dapat terlayani, di samping pembelajaran menjadi lebih menarik, karena sering terjadi pergantian kegiatan. Dalam pembelajaran guru dapat mengadakan variasi, antara metode yang lebih mengaktifkan guru dengan yang mengaktifkan siswa, antara belajar secara klasikal dengan belajar kelompok dan penugasan yang bersifat individual. Variasi antara yang menckankan pengetahuan dengan keterampilan dan nilai-nilai, antara yang hanya menggunakan kapur-papan tulis dengan menggunakan media, antara me- dia sederhana dengan media yang lebih kompleks. Juga variasi antara kegiatan yang bersifat menerima, mengolah, menyajikan, dan penilaian. Ketiga, kegiatan pembimbingan. Pemilihan .dan penggunaan metode dan media yang bervariasi tidak dengan sendirinya, akan mengoptimalkan perkembangan siswa. Pelaksanaan metode pembelajaran tersebut perlu disertai dengan usaha-usaha pemberian dorongan, bantuan, pengawasan, pengarahan dan bimbingan dari guru. Pembimbingan ini diberikan pada saat kegiatan pembelajaran, atau di luar kegiatan pembelajaran. Pembimbingan juga dapat berupa usaha-usaha pemberian remedial teach- ing dan pengayaan.
C. Peranan Guru dalam Pengembangan Kurikulum Dilihat dari segi pengelolaannya, pengembangan kurikulum dapat dibedakan antara yang bersifat sentralisasi, desentralisasi, dan sentral- desentral. Dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi, kurikulum disusun oleh sesuatu tim khusus di tingkat pusat. Kurikulum bersifat uniform untuk seluruh negara, daerah, atau jenjang/jenis sekolah. Di Indonesia dewasa ini terutama pada jenjang pendidikan dasar dan menengah digunakan model Mi. Kurikulum untuk Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, Sekolah Menengah Umum, dan Sekolah Menengah Kejuruan pada prinsipnya seragam. Pengembartgan kurikulum tersebut sudah tentu memiliki tujuan dan latar belakang tertentu yang sangat mendesak dan mendasar. Tujuan utama pengembangan kurikulum yang uniform ini adalah untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa, serta memberikan standar
penguasaan yang sama bagi seluruh wilayah. Hal itu dilatarbelakangi oleh beberapa kondisi. Pertama, wilayah negara Indonesia luas sekali, terbentuk atas pulau-pulau yang satu sama lain letaknya berjauhan dan terpisahkan oleh laut. Kedua, kondisi dan karakteristik tiap daerah berbeda-beda, ada yang sudah maju sekali dan ada yang sangat terbelakang, ada daerah tertutup ada yang terbuka, ada daerah kaya dan daerah miskin dan sebagainya. Ketiga, perkembangan dan kemampuan sekolah juga berbeda- beda. Ada sekolah yang sudah mapan mampu berdiri sendiri dan melakukan pengembangan sendiri, karena memililci personalia, fasilitas yang memadai, dan manajemen yang mapan. Sekolah yang lain kondisinya sangat memprihatinkan, karena segalanya masih berada pada tingkat darurat. Jumlah yang demikian ini tampaknya jauh lebih banyak dibandingkan dengan sekolah yang telah mapan. Keem pat, adanya golongan atau kelompok tertentu dalam masyarakat, yang ingin mengutamakan golongan atau kelompoknya dan menggunakan sekolah sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut. Model pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi mempunyai beberapa kelebihan di samping juga kelemahan. Kelebihannya selain mendukung terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, dan tercapainya standar minimal penguasaan/perkembangan anak, juga model ini mudah dikelola, dimonitor dan dievaluasi, serta lebih hemat dilihat dari segi biaya, waktu, dan fasilitas. Hal-hal di atas tampaknya sesuai dengan kondisi dan tahap perkembangan negara kita dewasa ini. Model pengembangan ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama, menyeragamkan kondisi yang berbeda-beda keadaan dan tahap perkem- bangan intelek, alam dan sosial budayanya, sukar sekali. Penyeragaman dapat menghambat kreativitas, dapat memperlambat kemajuan sekolah yang sudah mapan dan menyeret perkembangan sekolah yang masih terbelakang. Penyeragaman yang sangat jauh dari kondisi dan sifat sesuatu wilayah akan menghambat kepesatan perkembangan wilayah tersebut. Kedua, ketidakadilan dalam menilai hasil. Dalam kurikulum yang seragam, penilaian sering dilakukan secara seragam pula. Yang dimaksudkan dengan seragam dalam penilaian yaitu kesamaan di dalam segi yang dinilai, prosedur dan alat penilaian serta standar
penilaian. Di muka telah dibahas bahwa dalam wilayah Indonesia yang luas ini terdapat keragaman kondisi alam, sosial budaya, tingkat intelek, kemampuan dan fasilitas sekolah. Hasil pendidikan dan pengajaran sangat dipengaruhi oleh faktor- faktor di atas. Pengabaian faktor-faktor yang mempengaruhi proses pendidikan merupakan suatu ketidakadilan. Ketiga, penggunaan standar yang sama untuk semua sekolah di seluruh wilayah akan memberikan gambaran hasil yang beragam dan menunjukkan adanya perbedaan yang sangat ekstrem. Bagi sekolah- sekolah yang kebetulan hasilnya sangat baik dapat menimbulkan sikap kecongkakan, sedangkan bagi sekolah yang hasilnya sangat jelek akan mengakibatkan rasa rendah din, di samping adanya cemoohan dari berbagai pihak. Dalam situasi yang tidak sehat bukan tidak mungkin terjadi pembocoran soal, ketidakjujuran dalam penilaian, dan sebagainya. Terlepas dari pro dan kontra, kelebihan dan kekurangannya kita akan mencoba melihat peranan guru di dalamnya. Peranan guru baik dalam model sentralisasi maupun desentralisasi dapat dilihat dalam tiga tahap, yaitu tahap perancangan, pelaksanaan dan evaluasi. Kurikulum juga dapat dilihat dalam lingkup makro dan juga mikro. Pengembangan kurikulum pada tahap perancangan berkenaan dengan seluruh kegiatan menghasilkan dokumen kurikulum, atau kurikulum tertulis. Pelaksanaan kurikulum atau disebut juga implementasi kurikulum, meliputi kegiatan menerapkan semua rancangan yang tercantum dalam kurikulum tertulis. Evaluasi kurikulum merupakan kegiatan menilai pelaksanaan dan hasil-hasil penggunaan suatu kurikulum. Kurikulum makro yaitu kurikulum yang menyeluruh meliputi semua komponen, atau meliputi seluruh wilayah, atau seluruh siswa pada jenjang pendidikan tertentu. Kurikulum mikro merupakan jabaran atau rincian dari kurikulum makro, atau rancangan bagi pelaksanaan pengajaran di kelas. Kedua dimensi pengembngan kurikulum tersebut dapat dilihat pada Bagan 10.2 Bagan 10.2 Tahap dan Lingkup Pengembangan Kurikulum
1. Peranan guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi Dalam kurikulum yang bersifat sentralisasi, guru tidak mernpunyai peranan dalam perancangan, dan evaluasi kurikulum yang bersifat makro, mereka lebih berperan dalam kurikulum mikro. Kurikulum makro disusun oleh tim atau komisi khusus, yang terdiri atas para ahli. Penyusunan kuri- kulum mikro dijabarkan dari kurikulum makro. Guru menyusun kuriku- lum dalam bidangnya untuk jangka waktu satu tahun, satu semester, satu catur wulan, beberapa minggu ataupun beberapa hari saja. Kurikulurn untuk saw tahun, satu semester atau satu catur wulan disebut juga program tahunan, semesteran, catur wulanan, sedangkan kurikulum untuk beberapa minggu atau hari, disebut satuan pelajaran. Program tahunan, semesteran, catur wulanan, ataupun satuan pelajaran memiliki kornponen-komponen yang sama yaitu tujuan, bahan pelajaran, metode dan media pembelajaran, dan evaluasi, hanya keluasan dan kedalamannya berbeda-beda. Menjadi tugas gurulah menyusun dan merumuskan tujuan yang tepat, memilih dan menyusun bahan pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan, minat dan tahap perkembangan anak, memiliki metode dan media mengajar yang bervariasi, serta menyusun program dan alat evaluasi yang tepat. Suatu kurikulum yang tersusun sistematis dan rinci akan sangat memudahkan guru dalam implementasinya. Walaupun kurikulum sudah tersusun dengan berstruktur, tetapi guru masih mempunyai tugas untuk mengadakan penyempurnaan dan penyesuaian-penyesuaian. Implementasi kurikulum hampir seluruhnya bergantung pada kreativitas, kecakapan, kesungguhan, dan ketekunan guru. Guru hendaknya mampu memilih dan menciptakan situasi-situasi belajar yang menggairahkan siswa, mampu memilih dan melaksanakan metode mengajar yang sesuai dengan kemampuan siswa, bahan pelajaran dan banyak mengaktifkan siswa. Guru hendaknya mampu memilih, menyusun dan melaksanakan evaluasi, baik untuk mengevaluasi perkembangan atau hasil belajar siswa untuk menilai efisiensi pelaksanannya itu sendiri. Guru juga berkewajiban untuk menjelaskan kepada para siswanya tentang apa yang akan dicapai dengan pengajarannya. Ia juga hendaknya melakukan berbagai upaya untuk membangkitkan motivasi belajar, menciptakan situasi
kompetitif dan kooperatif, memberikan pengarahan dan bimbingan. Guru memberikan tugas-tugas individual atau kelompok yang akan memperkaya dan memperdalam penguasaan siswa. Dalam kondisi ideal guru juga berperan sebagai pembimbing, berusaha memahami secara saksama potensi dan kelemahan siswa, serta membantu mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa.
2. Peranan guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi Kurikulum desentralisasi disusun oleh sekolah ataupun kelompok sekolah tertentu dalam suatu wilayah atau daerah. Kurikulum ini diperuntukkan bagi suatu sekolah atau lingkungan wilayah tertentu. Pengembangan kurikulum semacam ini didasarkan atas karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan sekolah atau sekolah-sekolah tersebut. Dengan demikian kurikulum terutama isinya sangat beragam, tiap sekolah atau wilayah mempunyai kurikulum sendiri, tetapi kurikulum ini cukup realistis. Bentuk kurikulum seperti ini mempunyai beberapa kelebihan di •samping juga kekurangan. Kelebihan-kelebihannya, di antaranya (1) kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat setempat, (2) kurikulum sesuai dengan tingkat dan kemarnpuan sekolah, baik kemampuan profesional, finansial maupun manajerial, (3) disusun oleh guru-guru sendiri dengan demikian sangat memudahkan dalam pelaksanaannya, (4) ada rnotivasi kepada sekolah (kepala sekolah, guru) untuk mengembangkan din, mencari dan menciptakan kurikulum yang sebaik-baiknya, dengan demikian akan terjadi semacam kompetisi dalam pengembangan kurikulum. Beberapa kelemahan bentuk kurikulum ini, adalah: (1) tidak adanya keseragaman, untuk situasi yang membutuhkan keseragaman demi persatuan dan kesatuan nasional, bentuk ini kurang tepat, (2) tidak adanya standar penilaian yang sama, sehingga sukar untuk diperbandingkan keadaan dan kemajuan suatu sekolah/wilayah dengan sekolah/wilayah lainnya, (3) adanya kesulitan bila terjadi perpindahan siswa ke sekolah/ wilayah lain, (4) sukar untuk mengadakan pengelolaan dan penilaian secara nasional, (5) belum semua sekolah/daerah mempunyai kesiapan untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri.
Untuk mengatasi kelemahan kedua bentuk kurikulum tersebut, bentuk campuran antara keduanya dapat digunakan, yaitu bentuk sentraldesentral. Beberapa waktu yang lampau di Perguruan Tinggi di Indonesia digunakan model pengembangan kurikulum yang sifatnya desentralisasi. Tiap universitas, institut, atau akademi mempunyai otonomi untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri, satu berbeda dengan yang lainnya. Dewasa ini kadar desentralisasinya agak berkurang, dengan adanya usaha-usaha ke arab penyeragaman. Untuk beberapa perguruan tinggi sejenis dikembangakan kerangka kurikulum dan kelompok- kelompok mata kuliah atau program inti yang seragam. Sebagai contoh, pada IKIP atau FKIP ada kelompok-kelornpok mata kuliah dasar umum, dasar keguruan, dan proses belajar mengajar yang seluruhnya seragam, ditentukan atau disusun bersama di tingkat nasional. Perbedaan antara suatu IKIP dengan IKIP lainnya adalah pada kelompok mata kuliah kejuruan atau spesialisasi. Bentuk kurikulum yang berlaku pada IKIP, FKIP ini mungkin dapat diklasifikasikan sebagai kurikulum sentralisasi- desentralisasi. Dalarn kurikulum yang dikelola secara desentralisasi dan sampai batas- batas tertentu juga yang sentralisasi-desen-tralisasi, peranan guru dalam pengembangan kurikulum lebih besar dibandingkan dengan yang dikelola secara sentralisasi. Guru-guru turut berpartisipasi, bukan hanya dalam penjabaran kurikulum induk ke dalam program tahunan/semester/ catur wulan, atau satuan pelajaran, tetapi juga di dalarn menyusun kurikulum yang menyeluruh untuk sekolahnya. Guru-guru turut memberi andil dalam merumuskan setiap komponen dan unsur dari kurikulum. Dalam kegiatan seperti itu, mereka mempunyai perasaan turut memiliki kurikulum dan terdorong untuk mengembangkan pengetahuan dan kemampuan dirirtya dalam pengembangan kurikulum. Karena guru-guru sejak awal penyusunan kurikulum telah diikutserta- kan, mereka akan memahami dan benar-benar menguasai kurikulumnya, dengan demikian pelaksanaan kurikulum di dalam kolas akan lebih tepat dan lancar. Guru bukan hanya berperan sebagai pengguna, tetapi peren- cana, pemikir, penyusun, pengernbang dan juga pelaksana dan evaluator kurikulum.
D. Pendidikan Guru
1. Masalah pendidikan guru Masalah pendidikan guru tidak dapat dilepaskan dari masalah pendidikan secara keseluruhan. Dalam pendidikan di Indonesia kita menghadapi dua masalah besar, yaitu masalah kuantitas dan kualitas pendidikan. Masalah pertama kuantitas pendidikan, berkenaan dengan penyediaan fasilitas belajar bagi semua anak usia sekolah. Hal itu berkenaan dengan penyediaan ruang kelas, gedung dan peralatan sekolah, guru, dan tenaga kependidikan lainnya. Salah satu penyebab utama yang menuntut pengembangan kuantitas pendidikan adalah angka kelahiran. Meskipun persentasenya sudah semakin mengecil tetapi angka pertambahan kelahiran total masih cukup besar. Hal itu menyebabkan makin membesarnya jumlah calon murid ke sekolah dasar. Membesarnya jumlah murid SD dengan sendirinya mengakibatkan membesarnya juga jumlah siswa SLP, SLA, clan perguruan tinggi. Sebab lain yang mendorong pertambahan calon siswa ke sekolah- sekolah adalah kebijaksanaan pemerintah yang memberikan kesempatan yang luas dalam pendidikan, terutama dengan diterapkannya wajib belajar sembilan tahun. Di samping itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan telah sernakin besar dan kemampuan ekonomi orang tua juga telah semakin baik. Akibatnya sekolah-sekolah setiap tahun dihadapkan pada masalah melimpahnya calon murid yang semakin membengkak. Kecuali di sekolah dasar, pada daerah-daerah tertentu terjadi pengurangan jumlah murid, hal itu kemungkinan besar disebabkan keberhasilan program keluarga berencana. Telah disinggung sebelumnya bahwa pertarnbahan jumlah siswa tersebut selain menuntut penambahan ruang kelas, gedung, peralatan sekolah dan peralatan belajar, juga menuntut penambahan jumlah tenaga guru. Guru memegang peranan kunci bagi berlangsungnya kegiatan pendidikan. Tanpa kelas, gedung peralatan dan sebagainya proses pendidikan masih dapat berjalan walaupun dalam keadaan darurat, tetapi tanpa guru proses pendidikan hampir tak mungkin dapat berjalan. Dengan penambahan jumlah siswa tersebut dibutuhkan penambahan tenaga guru
yang cukup besar pula setiap tahunnya baik untuk tingkat SD, SLP, SLA maupun perguruan tinggi. Masalah kedua yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah menyangkut kualitas. Masyarakat dan para ahli pendidikan banyak yang mensinyalir bahwa mutu pendidikan dewasa ini belum seperti yang diharapkan. Banyak faktor yang mungkin melatarbelakangi hal tersebut. Selain masih kurangnya sarana dan fasilitas belajar yang tersedia, adalah karena faktor guru. Hal itu pun mungkin disebabkan dua hal, pertama guru belum atau tidak bekerja dengan sungguh-sungguh, dan kedua mungkin karena kemampuan profesional guru yang memang masih kurang. Banyak cara yang telah ditempuh dalam meningkatkan kompetensi guru, baik melalui pendidikan prajabatan (pre-service education), maupun pendidikan dalam jabatan (in-service training). Salah satu pendekatan yang telah dilaksanakan dalam pendidikan prajabatan adalah pendekatan kompetensi, sedangkan pelatihan dalam jabatan, salah satu program yang sampai sekarang masih berjalan adalah program bantuan pengembangan profesi.
2. Standardisasi pendidikan guru Ada beberapa prinsip yang perlu dijadikan pegangan dalam pengembangan pendidikan guru. Pertama, syarat untuk masuk ke lembaga pendidikan guru (tingkat universitas) harus standar, tetapi prosedurnya cukup fleksibel sehingga dapat menjaring calon-calon yang potensial dan cocok. Penerimaan didasarkan atas pertimbangan potensi, kecakapan, serta karakteristik pribadi yang dim i liki yang sesuai dengan sifat jurusan /program yang dipilih. Kedua, program pendidikan guru hendakriya memiliki tiga komponen yang terintegrasi, yaitu pendidikan umum, minimal satu bidang spesialisasi, dan keahlian dalam kurikulum dan pengajaran. Ketiga, perkembangan calon guru dinilai selama program berlangsung dengan teknik penilaian yang bervariasi, seperti: tes tertulis, lisan, pengamatan praktik secara langsung dan melalui video, serta penilaian atas hasil kerja mereka. Hanya yang memperlihatkan hasil-hasil yang baiklah yang dapat diluluskan, yang lain perlu pembinaan lagi. Keempat, program pendidikan guru perlu diakreditasi dengan standar yang memungkikan calon guru bisa bekerja
dengan baik. Kelima, perlu ada lembaga yang memberikan legalitas terhadap kelayakan program pendidikan guru, standar yang digunakan serta memberikan sertifikasi terhadap guru. Lembaga ini dikelola oleh para ahli pendidikan guru, para guru dan pelaksana pendidikan. Pendidikan guru perlu memiliki suatu standar, yang akan menjadi acuan, baik dalam pengembangan, pelaksanaan maupun evaluasi program pendidikan guru. Dengan mengacu pada National Education Association (NEA) Amerika Serikat, standar pendidikan guru meliputi lima komponen pendidikan, yaitu: perencanaan, irnplementasi, personalia, dan isi program serta keang- gotaan dalam profesi guru. a. Perencanaan program 1. Tujuan program adalah menyiapkan calon guru agar mampu mengajar secara efektif. 2. Perencanaan program didasarkan atas pengetahuan tentang apa yang akan dikerjakan guru di sekolah. 3. Program disusun secara sistematis dan berisi perpaduan antara pendidikan umum, bidang studi dan profesi kurikulum. 4. Program disusun dan dikembangkan oleh ekspert dalam ilmu pendidikan (pedagogy), dalam bidang studi (spesilisasi) bersama para praktisi pendidikan. 5. Rencana program bersifat menyeluruh, berisi pemberian kesempatan untuk pengembangan sikap, penguasaan pengetahuan, dan keterampilan yang esensial bagi pelaksanaan pengajaran yang efektif. b. Implementasi program 1. Implernentasi program sejalan dengan tujuan dan rencana prog- ram. 2. Prosedur penerimaan siswa, pembinaan serta pelulusannya sesuai dengan tujuan program. 3. Dosen lembaga pendidikan guru memiliki pengetahuan praktis tentang lapangan (sekolah dan pelaksanaan pengajaran). 4. Program menyediakan kesempatan yang cukup bagi calon guru untuk mempraktikkan apa yang mereka pelajari.
5. Program memadukan metode mengajar dengan bahan pelajaran.
c. Personalia program 1. Dosen lembaga pendidikan guru dan guru-guru di lapangan memperlihatkan sikap dan perilaku seperti yang diharapkan dalam program. 2. Dosen dan guru-guru yang membimbing calon guru, dipersiapkan khusus melalui latihan yang intensif dalam bidangnya. 3. Dosen, guru pamong dan staf lainnya dievaluasi dengan kriteria standar, dan penentuan kebijaksanaan personalia didasarkan atas hasil evaluasi tsb.
d. Isi program 1. Bahan pelajaran 1. Program menyediakan latihan bagi penguasaan keterampilan dasar yang belum dimiliki calon guru pada waktu masuk. 2. Program menyediakan pengajaran untuk pendidikan umum 3. Program menyediakan pengajaran tentang berpikir kritis, pemecahan masalah dan kreativitas. 4. Program menyediakan pengajaran bidang studi secara mendalam, baik yang berkenaan dengan bahan yang a kan diajarkan maupun bahan yang berhubungan erat. 5. Program menyediakan pengajaran tentang pertumbuhan dan perkembangan anak. 6. Program menyediakan pengajaran tentang bagaimana siswa belajar. 7. Program menyediakan kesempatan bagi calon guru untuk memperoleh dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan secara efektif terhadap siswa dari berbagai latar belakang budaya, ras, bahasa, agama, dan sosial ekonomi.
2. Proses pengajaran 1) Program menyediakan pengajaran bagi pengembangan fisik dan intelek siswa dari berbagai latar belakang.
2) Program menyediakan pengajaran tentang strategi pemgajaran. 3) Program menyediakan pengajaran tentang peranan guru dalam penentuart keputusan. 4) Program menyediakan pengajaran bagimana menggunakan bahan cetak, bukan cetak dan alat-alat teknologi. 5) Program menyediakan pengajaran bagaimana bekerja dan membantu anak- anak yang berkelainan. 6) Program meliputi pengajaran tentang pengelolaan kelas. 7) Program menyediakan pengajaran tentang pengembangan keterampilan hubungan interpersonal dan proses kelompok. 8) Program menyediakan pengajaran tentang keterampilan berkomunikasi secara luas, terutama yang berhubungan dengan peranan profesional guru. 9) Program menyediakan pengajaran tentang penilaian proses dan hasil belajar. 10) Program menyediakan pengajaran tentang peranan, pentingnnya dan sumbangan sekolah terhadap pembangunan bangsa. 11) Program menyediakan pengajaran tentang kebijaksanaan pemerintah dan pengelolaan pendidikan. 12) Program menyediakan pengajaran tentang hak dan tanggung jawab guru dart siswa.
e. Keanggotaan profesi 1) Program menyediakan pengajaran tentang bagaimana suatu profesi diorganisasi, fungsi berbagai organisasi profesi dan tanggung jawab anggota suatu organisasi profesi. 2) Program menyediakan pengajaran tentang hubungan antara organisasi profesi dengan lembaga-lembaga pemerintah yang mengelola pendidikan. Perencanaan dan implementasi program pendidikan guru di Indonesia dapat dikembangkan dengan menggunakan standar NEA sebagai acuan. Hampir seluruh butir standar dapat diterapkan, walaupun untuk butir- butir tertentu membutuhkan beberapa penyesuaian, atau penerapannya secara berangsur-angsur.
Peningkatan mutu pendidikan guru melalui penerapan standar, membutuhkan beberapa hal. Pertarna, perlu adanya kesamaan pandangan dari berbagai pihak yang berkepentingan dan terlibat dalam pengembangan pendidikan guru, ten- tang program dan standar program pendidikan guru. Adanya perbedaan pandangan yang jauh, selain akan menghambat kelancaran pengembangan program, juga bisa menghambat pencapaian program yang bermutu. Kedua, perlu adanya kesiapan terutama dari para pengelola dan pelaksana program. Dosen lembaga pendidikan guru dan guru pamong, menjadi barisan terdepan dalam pembinaan profesi guru. Mereka harus menjadi ekspert dan sekaligus contoh model bagi para siswa pendidikan guru. Beberapa butir dalam standar menekankan hal itu. Sudah siap dan akan siapkah para dosen dan guru- guru di lapangan untuk menjadi ekspert dan model guru yang didambakan? Apa yang harus dilakukan terlebih dahulu agar mereka betul-betul siap? Guru profesional bukan hanya tahu banyak, tetapi juga bisa banyak. Ketiga, agar guru-guru yang dihasilkan dari lembaga pendidikan guru, betul-betul bisa mengajar diperlukan pengalaman praktik yang memadai. Untuk itu diperlukan tempat praktik yang representatif yang memung- Idnkan para siswa calon guru, belajar berlatih dan berbuat banyak. Ini me nyangkut tersedianya tempat praktik yang representatif, dengan fasilitas dan peralatan praktik yang memadai. Pengembangan program pendidikan guru yang bermutu standar membutuhkan dalam menilai kompetensi, harus: Keempat, pengembangan program pendidikan guru yang bermutu standar membutuhkan kepedulian, motivasi dan dedikasi yang tinggi dari para pelaksananya. Upaya apa yang harus dilakukan agar tercipta kondisi tersebut? Suatu pekerjaan akan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat, apabila para pelaku pekerjaan itu merasa enjoy dengan pekerjaan tersebut. Apa yang harus diupayakan agar para pelaksana pendidikan guru merasa enjoy. Hal yang sama juga berlaku agar para guru di sekolah merasa enjoy dengan pekerjaannya. Apakah imbalan finansial yang akan menumbuhkan enjoyness? atau pimpinart yang bijaksana dengan kepemimpinannya yang terbuka? atau
sistem kenaikan pangkat yang terbuka yang memungkinkan guru-guru (termasuk guru sekolah dasar) bisa mencapai golongan IVe? atau faktor-faktor lainnya?
3. Pendidikan guru berdasarkan kompetensi Salah satu model pendidikan guru yang mungkin bisa mencapai standar, adalah model pendidikan guru berdasarkan kompetensi (PGBK) atau competence based teacher education (CBTE). Beberapa ahli lebih setuju memakai kata performance (perbuatan atau perilaku) daripada competence, karena dipandangnya lebih luas. Dalam tulisan ini keduanya dipandang sama. Stanley Elam (1971) merumuskan beberapa unsur yang esensial dalam PGBK. Unsur-unsur itu berkenaan dengan program pendidikan, pelaksanaan program serta hal-hal yang bersifat umum. 1) Berkenaan dengan program pendidikan Elam merumuskan unsurunsur sebagai berikut: a. Kompetensi (pengetahuan, keterampilan dan perilaku) yang diperlihatkan siswa: Berasal dari konsep yang tampak dari perenan guru, Dirumuskan secara jelas sehingga dapat diukur dalam perilaku siswa sebagai perwujudan kemampuannya, Dapat dikenal secara umum. b. Kriteria yang digunakan untuk mengukur kompetensi: Didasarkan dan disesuaikan dengan kompetensi-kompetensi yang spesifik, Dirumuskan secara eksplisit dan menunjuk pada tingkat penguasaan tertentu, Kriteria tersebut harus dipublikasikan. c. Penilaian kompetensi siswa: Menggunakan perbuatan siswa sebagai sumber pertama, juga mengguriakan pengetahuan siswa yang berkaitan dengan rencana untuk menganalisis, menginterpretasikan, dan minilai situasi atau perilaku, Harus objektif.
d. Perkembangan siswa dalam menempuh program pendidikan ditentukan oleh kompetensi yang telah dikuasai, dan bukan ditentukan oleh waktu atau mata pelajaran yang telah ditempuh. e. Program pengajaran ditujukan untuk mendorong perkembangan siswa serta menilai penguasaan siswa tentang kornpetensi kompetensi tertentu.
2. Berkenaan dengan pelaksanaan program menurut Elam PGBK memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Pengajaran bersifat individual dan personal. Dalam PGBK waktu bukan sesuatu yang konstan tetapi hanya sebagai variabel, karena tiap siswa punya latar belakang dan tujuan yang berbeda, maka pengajaran sangat bersifat personal dan individual. b. Pengalaman belajar siswa dituntun oleh umpan balik yang diterima dari teman, dari guru atau dari dirinya sendiri. Setiap basil yang is memperoleh merupakan umpan balik yang menentukan kegiatan selanjutnya. c. Program pengajaran tersusun dalam suatu sistem. Semua komponen pengajaran tersusun secara sistematis terarah pada pencapai tujuan tertentu. d. Penekanan program pengajaran adalah pada keluaran (hasil) dan bukan pada masukan. e. Pelaksanaan pengajaran bersifat modular. Modul merupakan seperangkat kegiatan belajar, dengan unsur-unsur (tujuan, prasyarat, pra-penilaian, kegiatan pembelajaran, pasca-penilaian, dan perbaikan) ditujukan membantu siswa menguasai kemampuan- kemampuan tertentu. Pengajaran modular memungkinkan pengajaran bersifat individual, personal dan independen, maju sesuai dengan iramanya sendiri. f. Siswa dinyatakan telah selesai dalam sutau program, apabila telah mengusai semua kemampuan yang dituntut.
3. Di samping dua komponen PGBK di atas, menurut Elam ada beberapa karakteristik dasar yang menyangkut hal-hal lain yang lebih umum.
a. Program pengajaran berpusat pada lapangan. Karena PGBK menekankan pada perbuatan maka kegiatan pengajarannya sebanyak-banyaknya dilaksanakan di lapangan dalam situasi yang nyata. b. Dalam pelaksanaan pengajaran siswa banyak mendapat kesempatan berlatih membuat penentuan keputusan. c. Bahan-bahan dan pengalaman disiapkan dalam bentuk yang memungkinkan banyak mendapatkan konsep, keterampilan dan pengetahuan. Bahan-bahan disusun dalam bentuk materi protokol dan dibantu atau diintegrasikan dengan materi latihan. d. Guru dan siswa bersama-sama merencanakan pengajaran. Siswa membuat keputusan tentang pengajarannya, ia pula yang mencobanya, serta menilai hasil dan pelaksanaannya. e. Untuk memberikan umpan batik dalam rangka perbaikan dan mengadakan regeneratif maka siswa juga mengadakan penclitian- penelitian. f. Pembinaan profesional bukan hanya pada pendidikan pra-jabatan tetapi diteruskan dalam pengembangan karier. g. Siswa bukan saja harus menguasai teknik-teknik pengajaran, tetapi juga harus menguasai teknik-teknik pengajaran, harus mampu mendiagnosis, mengintegrasikan dan memecahkan problem-prob- lem pengajaran.
Pendidikan guru yang didasarkan atas kompetensi mengajar dan PGBK mempunyai beberapa proposisi: 1. Guru adalah orang yang berpendidikan luas dengan latar belakang bidang pengajaran yang mendalam, 2. Perbuatan guru memanifestasikan penguasaan behavioral science yang luas, 3. Dalam keputusan is ambit secara rasional, 4. Guru menguasai teknik-teknik komunikasi serta strategi mengajar dengan baik, 5. Dalam perbuatannya guru merefleksikan profesionalisme.
Menurut Robert Houston dan Howard L. Jones ada lima belas kompetensi yang harus dimiliki guru yaitu: 1. Mendiagnosis kebutuhan emosional, sosial, jasmaniah, intelektual siswa. 2. Merumuskan tujuan-tujuan instruksional yang didasarkan atas kebutuhan siswa. 3. Membuat rencana pelajaran untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. 4. Melaksanakan pengajaran sesuai dengan rencana tersebut 5. Merencanakan dan melaksanakan penilaian untuk menilai hasil belajar siswa dan efektivitas pengajaran. 6. Menyesuaikan pengajaran dengan latar belakang budaya siswa. 7. Memperlihatkan keterampilan mengajar dan model-model pengajaran untuk mencapai tujuan tertentu bagi siswa tertentu. 8. Memperlihatkan pola-pola komunikasi yang efektif dalam kelas. 9. Menggunakan sumber-sumber yang sesuai untuk mencapai tujuan pengajaran. 10. Memonitor proses dan hasil belajar dan mengadakan perbaikan pengajaran. 11. Menguasai bidang studi yang akan diajarkannya. 12. Menggunakan keterampilan manajerial dan organisasi dalam mendorong perkembangan sosial, emosi, jasmani dan intelek siswa. 13. Sensitif terhadap kebutuhan dan perasaan sendiri dan juga terandap kebutuhan dan perasaan orang lain. 14. Bekerja efektif dalam kelompok profesional. 15. Menganalisis efektivitas keprofesionalannya dan terus berusaha memperluas efektivitas tersebut.
4. IKIP, FKIP, STKIP sebagai lembaga pendidikan guru Di Indonesia dewasa ini, kita mempunyai dua kelompok lembaga pendidikan guru, yaitu: IKIP, FKIP, dan STKIP yang merupakan lembaga pendidikan guru pada jenjang perguruan tinggi, dan PGA pada jenjang pendidikan menengah. Sebelumnya pada jenjang pendidikan menengah juga ada SPG dan SGO yang menyiapkan calon-calon guru sekolah dasar. Dewasa ini penyiapan
guru-guru sekolah dasar dikerjakan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang merupakan Program D2 pada IKIP, FKIP, dan STKIP. Dalam bagian ini yang akan dibahas terbatas hanya pada IKIP, FKIP, dan STKIP sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang menyiapkan guru dan tenaga kependidikan lainnya pada jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Lanjutan Pertama dan Sekolah Lanjutan Atas serta LPTK sendiri. Meskipun ada tiga lembaga formal lembaga pendidikan guru berjenjang pendidikan tinggi, yaitu IKIP, FKIP, dan STKIP, tetapi dasar, tujuan dan misinya sama, perbedaannya hanya pada keorganisasiannya saja. IKIP sebagai lembaga pendidikan guru berstatus institut merupakan lembaga otonom, berada langsung di bawah Mendikbud, mempunyai jumlah fakultas, jurusan, dan program studi. FKIP merupakan lembaga pendidikan guru, berstatus fakultas berada di universitas (di bawah Rektor), mempunyai sejumlah Jurusan dan Program Studi. STKIP setara dengan FKIP mempunyai beberapa Jurusan dan Program Studi, tetapi kedudukannya otonom seperti IKIP (di bawah Menteri). LPTK (IKIP, FKIP, dan STKIP) mempunyai misi menyiapkan tenaga- tenaga profesional di bidang kependidikan, dalam berbagai bidang keahlian/program studi, program gelar clan non-gelar. Program gelar memberikan tekanan pada pembentukan keahlian akadernik, sedang non- gelar pada keahlian profesional. Menurut Kepmen 211 tahun 1982, ada tiga jenjang program gelar, yaitu Sarjana (Si) dengan rentang studi 8-14 semester, jenjang Pascasarjana (52) rentang studi 12-18 semester dan jenjang Doktor (S3) rentang 16-22 semes- ter di atas SMTA. Dewasa ini yang menyelenggarakan jenjang program S2 dan S3 hanya beberapa IKIP, belum ada FKIP dan STKIP yang menyelenggarakan jenjang program S2 dan S3. Program non-gelar disebut juga program Diploma, terdiri atas Diploma I dengan paket kurikulum 2 semester, dan rentang studi 2-4 semester, Di- ploma II paket kurikulum 4 semester, rentang studi 4-6 semester, Diploma 3 paket kurikulum 6 semester, rentang studi 6-10 semester clan Diploma 4 paket kurikulum 8 semester, rentang studi 8-14 semester di atas SMTA. Selama ini
program Diploma yang dilaksanakan di LPTK adalah Diploma II dan III, dan dewasa ini program Diploma III juga sudah mulai tidak dibuka lagi. Selain kedua program di atas, ada lagi satu program yang diterapkan pada LPTK, yaitu program Akta. Program ini ditujukan untuk memberikan wewenang kependidikan khususnya wewenang mengajar. Bagi para mahasiswa LPTK program ini sudah terintegrasi dengan program gelar maupun non-gelar, tetapi bagi luar LPTK yang ingin menjadi guru, harus mengambilnya secara terpisah. Ada lima jenjang program Akta, masing- masing beban studinya 20 SKS, hanya berbeda jumlah SKS yang telah dimiliki pada bidang studi non-kependidikan. Akta I setelah memiliki 20 SKS, Akta II setelah memiliki 60 SKS, Akta III setelah memiliki 90 SKS, Akta IV setelah memiliki 124 SKS dan Akta V setelah memiliki 160 SKS pada bidang studi non-kependidikan. Penyiapan tenaga kependidikan pada LPTK umumnya menggunakan model pendidikan simultan (concurrent model) yaitu materi bidang studi diberikan bersama-sama dengan materi kependidikan, kecuali untuk program akta bagi talon guru dari luar LPTK menggunakan model pendidikan berurutan (consecutive model), kependidikan ditempuh setelah menguasai bidang studi. Secara garis besar ada dua jenis keahlian yang dibina pada LPTK, yaitu guru dan non-guru, baik untuk jenjang Sekolah Dasar, STLP maupun SLTA. Penyiapan guru Sekolah Dasar dilaksanakan dalam program D2 PGSD, ada program guru kelas ada guru bidang studi khususnya pendidikan jasmani. Pada beberapa IKIP mulai dirintis pengembangan PGTK untuk guru Taman Kanak- Kanak. Untuk tenaga guru SLTP, dan SLTA (SMU dan SMK) disiapkan dalam program D3 dan Si berbagai bidang studi, kelompok pendidikan ilmu sosial, bahasa dan sastra, matematika dan ilmu pengetahuan alam, teknik dan kejuruan, serta olah raga dan kesehatan. Untuk tenaga non-guru disiapkan dalam program Si, bidang bimbingan dan konseling, teknologi pendidikan, administrasi pendidikan, pendidikan luar sekolah, dan pendidikan luar biasa. Peningkatan profesionalisme para dosen dilakukan melalui program S2 dan S3, baik bidang studi maupun kependidikan. Walaupun LPTK umumnya tidak menerapkan konsep PGBK secara utuh, tetapi beberapa prinsip dan unsur PGBK tetapi menjadi pegangan. Prinsip penting
PGBK yang tetap diperhatikan dalam program pendidikan LPTK adalah tekanannya pada pengembangan kemampuan. Konsep kemampuan ini telah dimodifikasi yaitu dipadukan dengan konsep disiplin ilmu (bidang studi) dalam pengembangan topik-topik inti. Prinsip lainnya adalah tekanan kepada pengalaman lapangan. Pengembangan kemampuan profesional pada bidang kependidikan, khususnya guru harus diperkuat dengan pengalaman lapangan yang cukup intensif dan kaya. Program pendidikan guru yang dikembangkan pada LPTK diarahkan pada pengembangan kemampuan yang seimbang, baik antara kemampuan sebagai tenaga ahli-profesional dengan sebagai warga negara, maupun antara kemampuan/penguasaan bidang ilmu/bidang studi dengan bidang kependidikan. Pengembangan kemampuan yang seimbang ini dirancang dalam program pendidikan/kurikulum dengan komponen-komponen dasar umum, dasar kependidikan, proses belajar-mengajar dan bidang studi. Bobot SKS memang lebih besar pada bidang studi hampir tiga perempat dari kependidikan. Rinciannya adalah dasar umum 14 SKS, dasar kependidikan 12 SKS, proses belajar-mengajar 18 SKS, dan bidang studi 100-116 sks.
E. Buku Acuan
Cruickshank, Donald R. et a!. (1980). Teaching is Tough. Englewood Cliff, New Jersey: Prentice Hall Inc. Penyusunan buku ini dimaksudkan untuk membantu guru-guru dalam memecahkan masalah pendidikan yang sering mereka hadapi. Tulisan ini diberi judul Teaching is Tough, karena mengajar merupakan suatu pekerjaan yang bukan saja menuntut kemampuan intelektual dan fisik, tetapi juga kemampuan psikologis dan afektif. Guru bukan saja harus bekerja sama dengan siswa, sebagai muridnya yang sering sekaligus juga jadi kliennya, tetapi juga harus bekerja sama dengan staf sekolah yang lain, °rang tua serta warga masyarakat lainnya. Ada lima problem utama menurut penulis yang dihadapi guru dalam tugasnya. Pertama, masalah afiliation, menjalin kerja sama dan membina hubungan baik serta menanamkan disiplin pada siswa. Kedua, control, yaitu membina dan mengawasi
siswa agar berperilaku seperti yang diharapkan. Ketiga, parent relation and home condi- tion, yaitu menjalin hubungan baik dengan orang tua serta memahami kondisi keluarga mereka. Masalah keempat adalah, student success, berusaha membantu siswa agar berhasil baik dalam perkembangan akademis maupun sosialnya. Kelima adalah time, membagi dan mengelola waktu baik bagi kebutuhan pribadi guru maupun bagi penyelesaian dan perkembangan tugas-tugas profesinya. Wolfgang, Charles H. and Glickman, Carl D. (1980). Solving Discipline Prob- lems. Boston: Allyn & Bacon Inc. Banyak masalah yang dihadapi guru dalam kelas. Buku ini menguraikan beberapa strategi untuk memecahkan berbagai masalah, terutama masalah siswa dalam kelas. Buku ini sangat penting terutama bagi guru dan kepala sekolah, karena mereka adalah manajer kelas dan sekolah. Penulis menegaskan bahwa, tidak ada satu cara yang terbaik untuk memecahkan masalah dalam kelas, tetapi banyak cara. Guru dan kepala sekolah harus dapat memilih dan menggunakan cara yang paling tepat. Dalam buku ini dikemukakan sejumlah strategi atau model pemecahan yang dapat dipilih oleh guru. Model-model tersebut adalah: Supportive model dari Gordon dengan Teacher Effectiveness Training Analysis- nya; Valuing model dari Raths dan Simon dengan Value Clarification Tech- nique-nya; Social Discipline model dari Rudolf Dreikurs, Reality model dari William Glasser, Behavior Modification model, Behaviorism/Punishment model dari Engleman dan Dobson. Pada bagian akhir tulisannya dijelaskan peranan guru dalam memahami masalah siswa dengan berbagai macam latar belakangnya serta cara mereka bertindak sebagai decision maker dalam kelas.
Emmer, Edmund T. et al. (1984). Classroom Management for Secondary Teach- ers. Englewood cliffs, New Jersey: Prentice Hall Inc.
Kelas yang baik tidak terjadi dengan sendirinya, hal itu terjadi karena guru memahami benar situasi kelas dan perilaku para siswa serta berusaha keras untuk menciptakannya. Buku ini membahas bagaimana menciptakan kelas yang terkelola dengan baik. Secara garis besar pengelolaan kelas ini meliputi tiga
langkah: perencanaan, dilakukan sebelum tahun ajaran, pelaksanaan pengelolaan, serta pemeliharaan prosedur pengelolaan, keduanya dilakukan sepanjang tahun ajaran. Ketiga langkah pengelolaan tersebut dalam buku ini meliputi, pengelolaan ruang kelas dan alat-alat belajar, memilih peraturan dan prosedur pengelolaan, mengelola kegiatan siswa, memelihara perilaku siswa, memberikan ganjaran dan hukuman, mengorganisasi dan melaksanakan kegiatan pengayaan, mengelola kelompok-kelompok khusus, mengevaluasi organisasi dan manajemen kelas. Buku ini menguraikan hal-hal yang sangat praktis, oleh karena itu buku ini sangat berharga bagi guru-guru, kepala sekolah, konselor serta para mahasiswa yang sedang mempersiapkan din i untuk menjadi guru. Schwebel, Andrew I. et al. (1979). The Studnet Teacher's Handbook. New York: Barners & Nobles Books. Sesuai dengan judulnya, buku ini memberikan gambaran dan sekaligus pedoman kepada calon-calon guru serta para mahasiswa yang sedang belajar di Fakultas Pendidikan/Keguruan tentang apa yang diharapkan dari seorang calon guru, serta gambaran nyata yang akan dihadapi para calon guru di dalam kelas. Dengan ilustrasi yang menarik dilukiskan dalam buku ini kegiatan sehari-hari para calon guru yang sedang berpraktik di sekolah. Digambarkan dengan jelas bagaimana hubungan antara guru dengan siswa, dengan guru lain, kepala sekolah, pengawas dan orang tua siswa. Bagaimana kurikulum, bagaimana menyusun persiapan mengajar, bagaimana memecahkan masalah siswa, bagaimana mencari keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan individu dengan kelas. Perkembangan calon guru dari serba ragu menjadi penuh keyakinan dan penuh tanggung jawab, berdiri sendiri.
DAFTAR RUJUKAN
Alisyahbana, Iskandar (1980). Teknologi dan Perkembangan. Jakarta: Yayasan Idayu.
Anwar Jasin, (1987). Pembaharuan Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Proklamasi Kemerdekaan. Jakarta: Balai Pustaka.
Apeid. (1984). Training Educational Personnel for Integrated Curriculum. Bangkok: Unesco, Regional Office for Education in Asia and Pacific. Beauchamp, George A. (1975). Curriculum Theory. Wilmette, Illinois: The KAGG Press.
Beanne, J.A. & Toepfer, Jr. C.F. & Alessi, S.J. (1986). Curriculum Planning and Development. Newton, Massachussetts: Alyn and Bacon, Inc.
Beanne, J.A. (Ed). (1995). Toward A Coherent Curriculum. Alexandria, Virginia: ASCD.
Beeby, C.E. (1981). Pendidikan di Indonesia: Penilaian dan Pedoman Perencanaan. Jakarta: LP3ES.
Bigge, Morris L. & Hunt, Maurice P. (1980). Psychological Foundation of Education. New York: Harper & Row Pub.
Brandes, D & Ginnis, P. (1992), The Student Centred School. Great Britain: Simon and Schuster Education.
Brown, George I. (Ed). (1975). The Live Classroom. New York: The Viking Press.
Brown, James W. (Ed). 1984. Trends in Instructional Technology. Syracuse: ERIC Clearinghouse on Information.
Chambers, John H. (1983). The Achievement of Education. New York: Harper & Row Pub.
Conny R. Semiawan & T. Raka Joni. (1993). Pendekatan Pembelajaran: Acuan Konseptual Pengelolaan KBM di Sekolah. Jakarta: Konsorsium Ilmu
Pendidikan, Ditjen Dikti Depdikbud.
Cornnelly, F.M. (1992). Curriculum Inquiry. Oxford, UK: Blackwell Publisher.
Davies, Ivor K. (1981). Instructional Techniques. New York: McGraw Hill Books, Co.
Depdikbud. Kurikulum SD, SMP, SMA, Kejuruan 1975, 1984, 1994. Jakarta: Depdikbud
Depdikbud, (1990). Peraturan Pelaksanaan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Armas Duta Jaya.
Doll, Ronald C. (1974). Curriculum Improvement, Decision Making and Process. Boston: Allyn & Bacon, Inc.
Dull, Lloyd W. (Ed). (1977). Selecting and Use of Teaching Technology. Columbus, Ohio: Ohio Departemen of Education.
Dunkin, Michael, J. (Ed). (1987). The International Encyclopedia of Teaching and Teacher Education. Oxford, New York: Pergamon Press.
Gagne, Robert M. (1965). The Condition of Learning. New York: Holt, Rinehart & Winston.
Gardiner, W. Lambert. (1980). The Psychology of Teaching. Monterey, Califor- nia: Brooks/Cole Publishing.
Glasser, William. (1980).Control Theory in the Classroom. New York: Harper & Row Publisher.
Habibie, B.J. (1983). Beberapa Pemikiran tentang Strategi Transformasi Industri suatu Negara Sedang Berkembang. Jakarta: Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi.
Hall, Calvin S. & Lindzey, Gardner. (1970). Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons. Hass, Glen. (Ed). (1970). Readings in Curriculum. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Hass, Glen. (Ed). (1980).Curriculum Development, A Humanized System Approach. Belmont, California: Lear Siegler Inc.
Hillgard, Ernest R. & Gordon H. Bower. (1966). Theories of Learning. New York: Appleton Century Crofts.
Hlebowitsh, Peter S. (1993). Radical Curriculum Theory Reconsidered. New York and London: Teacher College, Columbia University.
Hodgkinson, Bill. (1991). Curriculum in the Classroom. Queensland: Distance Education Centre.
Holmes Group, (1990). Tomorrow's Schools. East Lansing, USA: The Holmes Group.
Hosyom, John. (1985). Inquiring Into the Teaching Process. Toronto, Ontario: Oise Press.
Jackson, Philip W. (Ed). (1992). Handbook of Research on Curriculum. New York: Macmillan Publishing Co.
Johnson, Mauritz. (1977). Intentionality in Education. New York: Center for Curriculum Research and Services.
Kaplan, Abraham. (1964). The Conduct of Inquiry. San Fransisco: Chandler Publishing Co.
Kast, Fremont E. & Rosenweig James E. (1962). Science Technology and Man agement. New York: McGraw Hill Book Co.
Kibler, Robert J, et al. (1970). Behavioral Objectives and Instruction, Allyn & Bacon.
Klose, Al Paul. (1980). Democracy, Technology, Collision. Indianapoli, Rulihs Merrill Educational Publishing.
Koentjaraningrat. (1979). Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
Kryspin, William J. at al. (1974). Writing Behavioral Objectives. Minneapolis, Minnesota: Burgess Pub. Co.
Kourilsky, Marilyn & Quaranta, Lory. 1987. Effective Teaching. London: Scott, Foresman and Co.
Lapp, Dianne. et al. (1975). Teaching and Learning: Philosophical, Psychological, Curricular Application. New York: Macmillan Pub. Co. Inc.
Mac Donald, James B. (1965). Educational Models for Instruction. Washington DC: The Association for Supervision and Curriculum Development.
Miller, J.P. & Seller, W. (1985). Curriculum : Perspectives and Practices. New York and London: Longman.
Mouly, George, J. (1970). The Science of Educational Research. New York: American Book Co.
McCutcheon, Gail. (Ed). (1982). Curriculum Theory: Theory Into Practice. Journal Vol. XXI No.1 1982, OSU.
McNeil John D. (1977) Curriculum A Comprehensive Introduction. Boston: Little Brown & Co, Inc.
NEA, (1982). Excellence in Our Schools Teacher Education: An Action Plan. Washington DC.
Novak, Joseph D. (1986). A Theory of Education. Ithaca: Come! University Press.
Petty, Walter T. (Ed). (1976). Curriculum for the Modern Elementary School. Chicago: Rand MacNally College Pub.
Qodir, C.A. (Ed). (1995). Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Raka Joni, T. (1992). Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Pendidikan Guru. Jakarta: Konsorsium Ilmu Pendidikan, Ditjen Dikti, Depdikbud.
Ruggiero, V.R. (1988). Teaching Thinking Across the Curriculum. New York: Harper & Row, Publishers.
Skinner, B.F. (1972). Beyond Freedom and Dignity. New York: Alfred A Knopf, Inc.
Snow, Richard E. (1973). Theory Construction for Research on Teaching, in Travers, R.M. (Ed), Second Handbook of Research on Teaching. Chicago: Rand Mac Nally & Co.
Schubert, W.H. (1986). Curriculum: Perspective, Paradigm and Possibility. New York: Macmillan Pub.
Seckinger, Donald S. (1975). Problem Approach to Foundation of Education. New York: John Wiley & Sons, Inc.
Sleeman, P.J. & Rockwell D.M. (1976). Instructional Media and Technology. Stroudsberg : downden, Hutchinson & Sons.
Stephem, Thomas M. (1970). Directive Teaching. Columbus, Ohio: Charles E Merril Pub. Co.
Susskind, Charles. (1978). Understanding Technology. Baltimore and London: The John Hopkins University Press.
Taba, Hilda. (1962). Curriculum Development: Theory and Practices. New York: Harcourt, Brace and World, Inc.
Tanner, Daniel & Tanner, Laurel, N. (1980). Curriculum Development. Macmillan Publishing Co, Inc.
Thomas, Murray. (1979). Comparing Theories of Child Development. Belmont, California: Wadsworth Pub. Co.
Tilaar, H.A.R. (1991). Sistem Pendidikan Nasional yang Kondusif bagi Pembangunan Masyarakat Industri Modern Berdasarkan Pancasila. Jakarta: Panitia Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional V.
Tisna Amidjaja, D.A. (1980). Pedoman Pelaksanaan Pala Pembangunan Sistem pendidikan Tenaga Kependidikan di Indonesia. Jakarta: Depdikbud.
Toffler, Alwvi.n. (1980). Gelombang Ketiga. Jakarta: Panca Simpati.
Unruh, G.G. & Unruh, A. (1984). Curriculum Development. Berkeley, California: McCutchan Publishing, Co.
Welch, I.D. (Ed). (1978). Humanistic Psychology. New York: Promenthus Books.
Woolfolk, Anita E. et al. (1984). Educational Psychology for Teachers. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs.
Zais, Robert S. (1976). Curriculum Principles and Foundations. New York: Harper & Row Publisher.
TENTANG PENULIS
PROF. DR. NANA SYAODIH SUKMADINATA, penulis buku ini, adalah dosen tetap pada IKIP Bandung. Penulis menyelesaikan program Sarjana Muda tahun 1963 pada Jurusan Pedagogik, sarjana pada tahun 1966 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan dan Program Doktor pada tahun 1983 Jurusan Pengembangan Kurikulum FPS, IKIP Bandung dengan tambahan kredit dari Universitas California di Santa Barbara 1977/1978. Penulis juga mengikuti program Refresher tahun 1986/1987 pada Universitas Ohio, Co- lumbus. Saat ini penulis mengajar mata kuliah Pengembangan Kurikulum dan Metode Penelitian pada PPS IKIP Bandung. Pada program Si penulis juga mengajar mata-mata kuliah Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Konseling pada IKIP Bandung dan Universitas Islam Bandung, dan sebelumnya nak.rtgaiarkan mata kuliah yang sama selama beberapa tahun pada Universitas Siliwangi Tasikmalaya, Universitas Ibnu Khaldun dan Universitas Pakuan Bogor, Universitas Pasundan, STIA, dan STKS Bandung. Sampai saat ini penulis masih menjadi pengajar luar biasa pada SESKOAD dan SESPIMPOL. Beberapa buku yang pernah ditulis: Pengan tar Psikologi (1967), Teori dan Teknik Bimbingan Kelompok (1975), Pen yuluhan Individual (1976), Teknik- Teknik Pemahaman Individu, (1978), The Role of Remediation in the Indonesian System bersama R.M. Thomas (1978), Mendiagnosis dan Membantu Kesulitan Belajar Siswa (1978), Teknik Penilaian dan Bimbingan Pen yuluhan bersama Drs. Rochman Natawidjaja (1979), Psikologi Umum dan Sosial bersama Djasman Adimihardja, M.A. (1982), Strategi Bela jar-Mengajar (1984), Prinsip dan Landasan Pengembangan Kurikulum (1988), Psikologi Belajar (1991).