MAKALAH
MODEL ORGANISASI ISLAM
PERSATUAN TARBIYAH ISLAMIYAH
DAN SERIKAT ISLAM
Semester VI
Mata Kuliah : SPII
Dosen : Isro, M.Ag.
Disusun oleh :
Suriman
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BREBES (STAIB)
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kita
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah banyak sekali memberikan kita nikmat
yang tidak terhingga, sehingga
kami dapat menyelesaikan Makalah Tugas Mandiri Mata Kuliah
SPII. Dan juga kami mengucapkan banyak terima kasih kepada
Bapak Isro,M.Ag. Selaku Dosen Pembimbing Materi SPII Smtr.VII yang telah
banyak memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada kami semua, serta
kepada teman-teman mahasiswa/i semua.
Dalam Makalah ini kami membahas
tentang Model Organisasi Islam Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (PERTI) dan sarekat islam ( SI ). Selanjutnya Kami mengajak kepada para pembaca semua agar kita
senantiasa melakukan hal yang baik atau yang diperintahkan oleh Alah SWT dan
Rasul-Nya serta meninggalkan atau menjauhi apa yang dilarang-Nya agar hidup
kita selamat dunia dan akhirat.
Penulis menyadari akan kekurangan
dan kekhilafan dalam pembahasan Makalah ini. Untuk itu partisipasi serta kritik
yang baik sangat kami harapkan demi tujuan kita bersama, mudah-mudahan Makalah
ini bermanfaat bagi kita semua, Amin.
Brebes, Maret 2016
Penulis,
S U R I M A N
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Organisasi Islam di Indonesia merupakan sebuah
fenomena yang menarik untuk dipelajari, mengingat bahwa organisasi Islam
merupakan representasi dari umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia. Hal
ini menjadikan organisasi Islam menjadi sebuah kekuatan sosial maupun politik
yang diperhitungkan dalam pentas politik di Indonesia. Dari aspek kesejarahan,
dapat ditangkap bahwa kehadiran organisasi-organisasi Islam baik itu yang
bergerak dalam bidang politik maupun organisasi sosial membawa sebuah pembaruan
bagi bangsa, seperti kelahiran Serikat Islam sebagai cikal bakal terbentuknya
organisasi politik, Muhammadiyah, NU (Nahdlatul Ulama), Serikat Dagang, dan
lain-lainnya pada masa prakemerdekaan membangkitkan sebuah semangat pembaruan
yang begitu mendasar di tengah masyarakat.
Organisasi keagamaan Islam merupakan kelompok
organisasi yang terbesar jumlahnya, baik yang memiliki skala nasional maupun
yang bersifat lokal saja. Tidak kurang dari 40 buah organisasi keagamaan Islam
yang berskala nasional memiliki cabang-cabang organisasinya di ibukota propinsi
maupun ibukota kabupaten/kotamadya, seperti : Nahdlatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, Sarikat Islam (SI), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Majelis
Ulama Indonesia (MUI), Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam (GUPPI),
Majelis Da’wah Islamiyah (MDI), Dewan Mesjid Indonesia (DMI), Ikatan
Cendekiawan Muslim se Indonesia (ICMI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI),
Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Aisyiah, Muslimat NU, dan
sebagainya. Sedangkan organisasi keagamaan Islam yang bersifat lokal pada
umumnya bergerak di bidang da’wah dan pendidikan seperti: Majelis Ta’lim,
Yayasan Pendidikan Islam, Yayasan Yatim Piatu, Lembaga-Lembaga Da’wah Lokal,
dan sebagainya.
Dalam makalah ini, penulis mencoba mengkaji Peresatuan
Tarbiyah Islam, dari sejarah berdirinya, peran dan pergerakannya, serta
perkembangan pendidikannya.
BAB II:
PEMBAHASAN
- Sejarah Berdirinya PERTI Dan SI
- Berdirinya Perti.
Proses
berdirinya madrasah ini diawali oleh musyawarah antara ulama-ulama yang
menganut paham Ahlusunnah waljama’ah yang ada di Sumatera Barat pada tanggal 5
mei 1928. Dan akhirnya pada musyawarah ini disepakati bahwa ada reformasi
sistem pendidikan dari klasik menjadi sistem Madrasah Tarbiyah Islamiyah. Ada
beberapa ulama yang menghadiri musyawarah tersebut, diantaranyaadalah:
•Syekh Sulaiman Ar-Rasuly
• Syekh Abbas Al-Qhadi (Ladang Laweh, Bukittinggi)
• Syekh Ahmad (Suliki)
• Syekh Muhammadjamil Jaho (Jaho, Padang Panjang)
• Syekh Abdul Wahid Ash-Sholeh (Suliki)
• Syekh Muhammad Arifin (Batu Hampar)
• Syekh Alwi (Koto Nan Ampek, Payakumbuh)
• Syekh Jalaluddin (Sicincin, Pariaman)
• Syekh Abdul Madjid (Koto Nan Gadang)
• Mhs Sulaiman (Bukittinggi)
Seiring dengan bergantinya waktu dan melihat perhatian masyarakat yang semakin tinggi terhadap pendidikan agama Islam, sehingga dengan waktu relatif singkat berdirilah beberapa Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) di Sumatera barat, dan sekarang sudah ada sekitar 216 MTI yang berdiri di sumatera barat. Menurut urutan tahun berdirinya ada tiga Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) yang mula-mula berdiri di Sumatera Barat, Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) itu adalah:
•Syekh Sulaiman Ar-Rasuly
• Syekh Abbas Al-Qhadi (Ladang Laweh, Bukittinggi)
• Syekh Ahmad (Suliki)
• Syekh Muhammadjamil Jaho (Jaho, Padang Panjang)
• Syekh Abdul Wahid Ash-Sholeh (Suliki)
• Syekh Muhammad Arifin (Batu Hampar)
• Syekh Alwi (Koto Nan Ampek, Payakumbuh)
• Syekh Jalaluddin (Sicincin, Pariaman)
• Syekh Abdul Madjid (Koto Nan Gadang)
• Mhs Sulaiman (Bukittinggi)
Seiring dengan bergantinya waktu dan melihat perhatian masyarakat yang semakin tinggi terhadap pendidikan agama Islam, sehingga dengan waktu relatif singkat berdirilah beberapa Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) di Sumatera barat, dan sekarang sudah ada sekitar 216 MTI yang berdiri di sumatera barat. Menurut urutan tahun berdirinya ada tiga Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) yang mula-mula berdiri di Sumatera Barat, Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) itu adalah:
- MTI Canduang di Candung Bukittinggi yang didirikan oleh Syekh Sulaiman Ar-Rasuly pada tahun 1928 M. Tetapi pada dasarnya pendidikan di sana sudah ada sebelum Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) ini didirikan, karena sebelum itu di Canduang ini sudah ada pendidikan pesantren. Jadi tida berarti dalam tahun 1928 tersebut dimulai kelas satu, malah pada saat itu sudah banyak santri yang telah menguasai seluk beluk ajaran agama.
- MTI Jaho di Jaho Padang Panjang yang didirikan oleh Syekh Muhammad Jamil Jaho pada tahun 1929 M. sama halnya dengan Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) yang pertama di Jaho ini juga sudah terdapat pengajian-pengajian yang belum formal, tetapi baru di formalkan pada tahun ini yaitu dengan berdirinyan Madrasah Tarbiyah Islamiah (MTI) Jaho ini.
MTI Malalo
di Padang Laweh Malalo yang didirikan oleh Syekh Zakaria Labai Sati bertepatan
dengan tahun 1930 M. hal ini sesuai dengan catatan yang tertera pada
papan petunjuk nama Pondok Pesantren Tarbiyah Islamiyah Malalo.
II. Berdirinya
SI
Sarekat Islam, yang sebelumnya
merupakan Sarekat Dagang Islam, pada awalnya merupakan perkumpulan
pedagang-pedagang Islam yang tidak lain adalah golongan-golongan pedagang
pribumi sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi pedagang orang-orang Cina.
Hal ini berawal dari timbulnya usaha pengusaha batik di kota Surakarta untuk
mengadakan persatuan demi melawan taktik dagang para pedagang Cina.
Usaha tersebut
dipelpori oleh Haji Samanhudi di kampung Laweyan di kota Surakarta. Haji Samanhudi mendirikan Sarekat
Dagang Islam pada tahun 1911 yang beranggotakan para pengusaha batik di kota
Surakarta. Tujuan utama didirikannya Sarekat Dagang Islam adalah untuk
memperkuat usaha dalam menghadapi para pedagang Cina, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi muslim (khususnya
pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar orang-orang Cina (Muljana, 2008: 121). Pada saat itu, pedagang-pedagang Cina tersebut telah
lebih maju usahanya dan memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari pada
pedagang pribumi lainnya. Berdirinya perkumpulan Sarekat Dagang Islam
itu jelas berdasarkan pertimbangan ekonomi. Oleh karena itu, para pengusaha
batik di Indonesia pada umumnya memeluk agama Islam.
Berdirinya Sarekat Dagang Islam disambut baik oleh para pengusaha batik yang
mengharapkan dapat membeli bahan batik lebih murah. Meskipun demikian, untuk
bergerak secara sah, Sarekat Dagang Islam harus menyusun anggaran dasarnya
untuk disahkan oleh pemerintah. Untuk menyusun anggaran dasar tersebut. Haji
Samanhudi merasa kurang mampu. Oleh karena itu, dia kemudian mencari bantuan
kepada seorang pelajar Indonesia yang berkerja pada perusahaan di Surabaya.
Pelajar yang dimaksu adalah Cokroaminoto. Kemudian, Haji Samanhudi menghubungi
Umar Said Cokroaminoto. Setelah bertukar pikiran, timbul gagasan dalam diri
Umar Said Cokroaminoto untuk mengubah nama Sarekat Dagang Islam menjadi Sarekat
Islam, atas pertimbangan bahwa perkumpulan itu tidak terbatas sampai pada para
pedagang saja, tetapi juga mempunyai dasar yang lebih luas sehingga orang Islam
yang di luar pedagang dapat menjadi anggota. Gagasan Cokroaminoto diterima baik
oleh Haji Samanhudi. Pada tahun 1912, oleh
pimpinannya yang baru Umar Said Cokroaminoto, nama Serikat Dagang Islam diubah
menjadi Sarekat Islam. Hal ini dilakukan agar organisasi tidak hanya bergerak
dalam bidang ekonomi, tapi juga dalam bidang lain, seperti halnya politik. Jika
ditinjau dari anggaran dasarnya, dapat disimpulkan tujuan SI adalah sebagai berikut:
a. Mengembangkan
jiwa dagang;
b. Membantu
anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha;
c. Memajukan
pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat;
d. Memperbaiki
pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam;
e. Hidup
menurut perintah agama.
Pada tahun
1914 telah berdiri 56 cabang Sarekat Islam dengan pengakuan sebagai badan
hukum. Cabang-cabang tersebut masih berdiri sebagai Sarekat Islam Lokal karena
badan pusat tidak ada. demikianlah pengurus Pusat Sarekat Islam mengajukan
permohonan pengakuan sebagai badan hukum dengan penjelasan bahwa pusat Sarekat
Islam tidak mempunyai anggota perorangan, tetapi anggotanya terdiri dari
sarekat-sarekat Islam Lokal. Maka pada tanggal 18 Maret 1916, diputuskan oleh
yang berwajib untuk pengakuan sebagai badan hukum (Muljana, 2008: 122-123)..
Tujuan Serikat Islam adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan
tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat.
Keanggotaan Serikat Islam terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim. Pada
waktu Serikat Islam mengajukan diri sebagai Badan Hukum, pada
awalnya Gubernur Jendral Idenburg menolak. Badan Hukum hanya
diberikannya pada Serikat Islam lokal. Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak
terlihat adanya unsur politik, tapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian
besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan
yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Artinya Serikat Islam memiliki jumlah
anggota yang banyak sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.
Seiring
dengan perubahan waktu, akhirnya Serikat Islam pusat diberikan pengakuan
sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah
memperbolehkan berdirinya partai politik, Serikat Islam berubah menjadi partai
politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917.
Tokoh-tokoh pendiri pusat Sarekat Islam dengan pengurus yang terdiri :
a.
Haji Samanhudi (Ketua Kehormatan)
b.
Umar Said Cokroaminoto
c.
Agus Salim
d.
Abdul Muis
e.
Haji Gunawan
f.
Wondoamiseno
g.
Sasrokardono
h.
Soerjopranoto
i.
Alimin Prawirodirejo
j.
Semaun
- PERKEMBANGAN PERTI DAN SI
I. Perkembangan Perti
Dan dalam rangka keikutsertaan organisasi Tarbiyah
Islamiyah untuk memperkuat perjuangan kemerdekaan republik Indonesia maka pada
tanggal 28 mei 1930 Syekh Sulaiman Ar-Rasuly mendirikan Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (PERTI).
Pada dasarnya PERTI hanya sebagai organisasi yang bertujuan untuk mengumpulkan kekuatan agar bisa membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu. Namun disebabkan gejolak reformasi yuang terjadi pada tahun 1946 maka organisasi PERTI beralih fungsi menjadi partai politik yang dipelopori oleh K.H Sirajudim Abbas murid dari syekh Sulaiman ar-Rasuli sendiri.
Peralihan ini terjadi bukan karna gejolak reformasi pada saat itu saja, tetapi juga ada faktor lain, seperti maklumat NO.X/1945 pada bulan November yang dikeluarkan oleh wakil Presiden Moh. Hatta (Bung Hatta), yang isinya mendorong agar semua masyarakat Indonesia ikut serta bergabung dengan partai politik, bahkan dianjurkan untuk membentuk partai politik demi tegaknya demokrasi di tanah Nusantara tercinta.
Maka dengan adanya beberapa faktor tersebut yang membuat K.H Sirajudjin Abbas berinisiatif untuk mendirikan yang berbasis Tarbiyah Islamiyah, lalu beliau meminta izin kepada sesepuh atau para pendiri Tarbiyah Islamiyah, dan bak Gayung bersambut kata terjawab para pendiri pun setuju untuk mendirikan partai tersebut, dengan catatan jangan meninggalkan tugas pokoknya yaitu pendidikan, dakwah, kegiatan sosial keagamaan dan keummatan.
Sehingga pada bulan desember 1946 melalui Konggres Tarbiyah Islamiyah di Bukittinggi diputuskan Persatuan Tarbiya Islamiyah membuat suatu partai yaitu PI PERTI (Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah) sekaligus mengangkat K.H. Sirajudin Abbas sebagai ketua umumnya. sehingga PERTI pun ikut mengambil andil dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada dasarnya PERTI hanya sebagai organisasi yang bertujuan untuk mengumpulkan kekuatan agar bisa membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia pada waktu itu. Namun disebabkan gejolak reformasi yuang terjadi pada tahun 1946 maka organisasi PERTI beralih fungsi menjadi partai politik yang dipelopori oleh K.H Sirajudim Abbas murid dari syekh Sulaiman ar-Rasuli sendiri.
Peralihan ini terjadi bukan karna gejolak reformasi pada saat itu saja, tetapi juga ada faktor lain, seperti maklumat NO.X/1945 pada bulan November yang dikeluarkan oleh wakil Presiden Moh. Hatta (Bung Hatta), yang isinya mendorong agar semua masyarakat Indonesia ikut serta bergabung dengan partai politik, bahkan dianjurkan untuk membentuk partai politik demi tegaknya demokrasi di tanah Nusantara tercinta.
Maka dengan adanya beberapa faktor tersebut yang membuat K.H Sirajudjin Abbas berinisiatif untuk mendirikan yang berbasis Tarbiyah Islamiyah, lalu beliau meminta izin kepada sesepuh atau para pendiri Tarbiyah Islamiyah, dan bak Gayung bersambut kata terjawab para pendiri pun setuju untuk mendirikan partai tersebut, dengan catatan jangan meninggalkan tugas pokoknya yaitu pendidikan, dakwah, kegiatan sosial keagamaan dan keummatan.
Sehingga pada bulan desember 1946 melalui Konggres Tarbiyah Islamiyah di Bukittinggi diputuskan Persatuan Tarbiya Islamiyah membuat suatu partai yaitu PI PERTI (Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah) sekaligus mengangkat K.H. Sirajudin Abbas sebagai ketua umumnya. sehingga PERTI pun ikut mengambil andil dalam mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
II. Perkembangan SI
Serikat Islam pada mulanya bernama
Serikat Dagang Islam yang didirikan oleh H. Samanhudi yang berdasarkan pada
Agama dan Perekonomian Rakyat sebagai dasar dalam pergerakannya, tujuannya pula
adalah melindungi hak – hak pedagang pribumi dari monopoli dagang yang
dilakukan oleh pedagang–pedagang besar tionghoa. Dan dengan lahirnya Sarikat
Dagang Islam yang menghimpun pedagang Islam pribumi pada saat itu, diharapkan
dapat bersaing dengan pedagang asing seperti Tionghoa, India, dan Arab.
Pada 1912 Sarekat Dagang Islam
berganti nama menjadi Sarekat Islam oleh H.O.S. Tjokroaminoto, pergantian
nama ini didasarkan agar Sarekat Islam ini tidak hanya bergerak dalam bidang
agama dan Ekonomi saja, tetapi dapat bergerak dalam Politik pula, sehingga membuat
ruang gerak Sarekat Islam pun bertambah luas. Setelah menjadi SI sifat gerakan
menjadi lebih luas karena tidak dibatasi keanggotaannya pada kaum pedagang
saja. Dalam Anggaran Dasar tertanggal 10 September 1912, tujuan perkumpulan ini
diperluas ,antara lain:
a.
Memajukan perdagangan;
b.
Memberi pertolongan kepada anggota yang mengalami kesukaran (semacam usaha
koperasi);
c.
Memajukan kecerdasan rakyat dan hidup menurut perintah agama;
d.
Memajukan agama Islam serta menghilangkan faham- faham yang keliru tentang
agama Islam.
Program yang baru tersebut masih
mempertahankan tujuan lama yaitu dalam bidang perdagangan namun tampak terlihat
perluasan ruang gerak yang tidak membatasi pada keanggotaan para pedagang
tetapi terbuka bagi semua masyarakat. Tujuan politik tidak tercantumkan karena
pemerintah masih melarang adanya partai politik. Perluasan keanggotaan tersebut
menyebabkan dalam waktu relatif singkat keanggotaan Serikat Islam meningkat
drastis. Mobilisasi terhadap rakyat pun bertambah luas, karena pada saat itu
muncul Nasionalisme dalam pengertian politik baru saat Sarekat Islam ini
diketuai oleh HOS Tjokroaminoto. Sebagai organisasi poltik pelopor
Nasionalisme, saat itu Tjokroaminoto pun memberikan batasan :
“Pengertian
Nasional sebagai usaha meningkatkan seseorang pada tingkat natie berjuang
menuntut pemerintahan sendiri atau sekurang – kurangnya bangsa Indonesia diberi
hak untuk mengemukakan suaranya dalam masalah politik.” (Muhibin : 2009).
Dalam Sarekat Islam pun terdapat
beberapa program kerja, program kerja dibagi atas delapan bagian yaitu:
Mengenai politik Sarekat Islam menuntut didirikannya dewan-dewan daerah,
perluasan hak-hak Volksraad dengan tujuan untuk mentransformasikan
menjadi suatu lembaga perwakilan yang sesungguhnya untuk legelatif. Sarekat
Islam juga menuntut penghapusan kerja paksa dan sistim izin untuk bepergian.
Dalam bidang pendidikan, Serikat Islam menuntut penghapusan peraturan
diskriminatif dalam penerimaan murid di sekolah-sekolah. Dalam bidang agama,
Serikat Islampun menuntut dihapuskannya segala peraturan dan undang-undang yang
menghambat tersiarnya agama Islam. Sarekat Islam juga menuntut pemisahan
lembaga kekuasaan yudikatif dan eksekutif dan menganggap perlu dibangun suatu
hukum yang sama bagi menegakkan hak-hak yang sama di antara penduduk negeri.
Partai juga menuntut perbaikan di bidang agraria dan pertanian dengan
menghapuskan particuliere landerijen (milik tuan tanah) serta
menasonalisasi industri-industri monopolistik yang menyangkut pelayanan dan
barang-barang pokok kebutuhan rakyat banyak. Dalam bidang keuangan SI menuntut
adanya pajak-pajak berdasar proporsional serta pajak-pajak yang dipungut
terhadap laba perkebunan. Kemudian Serikat Islam inipun menuntut pemerintah
untuk memerangi minuman keras dan candu, perjudian, prostitusi dan melarang
penggunaan tenaga anak-anak serta membuat peraturan perburuhan yang menjaga
kepentingan para pekerja dan menambah poliklinik dengan gratis
Benda dalam Padmo (2007) menyatakan
bahwa “SI mempunyai daya tarik yang jauh jangkauannya di luar penduduk kota
yang berpendidikan Barat. Tujuh tahun setelah Tjokroaminoto memimpin SI, partai
ini memusatkan perhatiannya secara eklusif pada orang Indonesia dengan merekrut
semua kelas, baik di kota maupun desa. Mereka adalah pedagang muslim, pekerja
di kota, kyai dan ulama, beberapa priyayi, dan tak kurang pula petani ditarik
dalam partai politik yang pertama pada masa kolonial di Indonesia ini”. Serikat
Islam meratakan kesadaran Nasional terhadap seluruh lapisan masyarakat, baik
itu lapisan masyarakat atas maupun lapisan masyarakat tengah, dan rakyat biasa
di seluruh Indonesia, terutama melalui Kongres Nasional Senntral Islam di
Bandung pada 1916. Pada periode awal perkembanganya, Sarekat Islam dapat
memobilisasi massa dengan sangat baik, hal iti terbukti pada empat tahun
berjalannya Serikat Islam yang telah memiliki anggota sebanyak 360.000 orang,
kemudian menjelang tahun 1919, anggotanya telah mencapai hampir dua setengah
juta orang. Para pendiri Serikat Islam mendirikan organisasinya ini tidak hanya
untuk mengadakan perlawanan terhadap orang–orang Cina, tetapi untuk membuat front
melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumi putera. Oleh karena itu, Serikat
Islam berhasil mencapai lapisan bawah masyarakat yang berabad–abad hampir tidak
mengalami perubahan dan paling banyak menderita.
Pada mulanya Serikat Islam bersifat
loyal dan membantu pemerintah. Kongresnya yang pertama yang diadakan di Bandung
pada tahun 1916, kebijakan yang diambil pada saat itu adalah untuk membantu
pemerintah. Namun pada saat kongres Nasional di Madiun pada 17 – 20
Februari 1923, kongres mengambil keputusan untuk membentuk sebuah Partai yaitu
partai Serikat Islam (PSI), kongres ini pula membicarakan sikap politik partai
terhadap pemerintah, pada kongres ini dibahas mengenai perubahan sikap terhadap
pemerintah. Perubahan sikap politik ini adalah partai tidak mempercayai lagi
pemerintah, dan partai menolak kerjasama dengan pemerintah, sikap politik ini
biasa disebut juga sebagai sikap “Politik Hijrah.”
- KEMUNDURAN/ PERPECAHAN OI. PERTI DAN SI
Namun seiring dengan berlalunya waktu, terjadi
perpecahan di dalam tubuh PI PERTI itu sendiri, karena perebutan kursi
kekuasaan dan setelah munculnya perbedaan pandangan di kalangan internal
organisasi ini, apalagi selama 23 tahun partai ini berjalan telah meluputkan
perhatian pada tujuan semula dalam bidang pendidikan karena lebih terfokus pada
masalah-masalah politik, sehingga hal tersebut membuat kecewanya para
pendiri Tarbiyah Islamiyah terutama Syekh Sulaimanar-Rasuly.
Maka untuk menyelamatkan organisasi ini, beliaupun mengambil suatu keputusan dangan dengeluarkan dekrit pada tanggal 1 mei 1969 agar PERTI kembali ke khitahnya sebagai organisasi yang bergerak dibidang sosial seperti pada awal berdirinya 1928. Dan nama Partai Islam PERTI diganti menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan disingkat menjadi Tarbiyah saja.
Akan tetapi, gagasan kembali ke khittah 1928 yang merupakan pesan-pesan terakhir Syekh Sulaiman Ar-Rasuly ini, oleh para pelanjut organisasi Tarbiyah, diinterpretasi sebagai hanya keharusan organisasi untuk tidak menjadi partai politik, bukan tidak berpolitik. Sehingga dalam perkembangannya setelah tahun 1970an, organisasi Tarbiyah berafiliasi dengan salah satu kekuatan politik (yang bukan partai politik), yaitu Golongan Karya.
Akhirnya, apa yang sesungguhnya menjadi keinginan pendiri untuk mengembalikan organisasi menjadi organisasi yang berkonsentrasi bagi pengembangan pendidikan Islam, kembali menjadi terabaikan. Kesibukan para tokoh organisasi Tarbiyah dalam mengurusi soal-soal politik, telah meluputkan perhatian mereka dalam mengembangkan sistem pendidikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah sendiri. Hingga hari ini kita menyaksikan trend MTI yang mengalami penurunan grafik secara tajam.
Maka untuk menyelamatkan organisasi ini, beliaupun mengambil suatu keputusan dangan dengeluarkan dekrit pada tanggal 1 mei 1969 agar PERTI kembali ke khitahnya sebagai organisasi yang bergerak dibidang sosial seperti pada awal berdirinya 1928. Dan nama Partai Islam PERTI diganti menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah dan disingkat menjadi Tarbiyah saja.
Akan tetapi, gagasan kembali ke khittah 1928 yang merupakan pesan-pesan terakhir Syekh Sulaiman Ar-Rasuly ini, oleh para pelanjut organisasi Tarbiyah, diinterpretasi sebagai hanya keharusan organisasi untuk tidak menjadi partai politik, bukan tidak berpolitik. Sehingga dalam perkembangannya setelah tahun 1970an, organisasi Tarbiyah berafiliasi dengan salah satu kekuatan politik (yang bukan partai politik), yaitu Golongan Karya.
Akhirnya, apa yang sesungguhnya menjadi keinginan pendiri untuk mengembalikan organisasi menjadi organisasi yang berkonsentrasi bagi pengembangan pendidikan Islam, kembali menjadi terabaikan. Kesibukan para tokoh organisasi Tarbiyah dalam mengurusi soal-soal politik, telah meluputkan perhatian mereka dalam mengembangkan sistem pendidikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah sendiri. Hingga hari ini kita menyaksikan trend MTI yang mengalami penurunan grafik secara tajam.
Perpecahan
dalam Serikat Islam
Pada mulanya Sarekat Islam (SI)
dilarang untuk menjalankan organisasinya oleh pemerintah Belanda pada Agustus
1912. Setelah diadakan perubahan pada anggaran dasar SI maka diperbolehkan
untuk menjalankan aktivitasnya kembali. Rutgers (2012; 4) menerangkan bahwa,
“...pada Juni 1913, pengaktifan Pimpinan Pusat SI tidak diizinkan, dan untuk
sementara waktu, yang diizinkan itu hanya cabang-cabangnya belaka. Baru pada
1916 Pimpinan Pusat SI diperkenankan sesudah pengawasan pemerintah diperkuat.”
Pada tanggal 26 Januari 1913
diadakan kongres Sarekat Islam pertama di Surabaya. Pada kongres tersebut
pimpinan SI Oemar Said Tjokroaminoto mengutarakan intinya bahwa SI setia
terhadap pemerintahan Belanda. Hal ini disebutkan dalam Rutgers (2012; 4), “SI
bukanlah suatu partai politik yang menghendaki revolusi seperti yang disangka
kebanyakan orang. Jika nanti diadakan pengejaran-pengejaran, kita harus meminta
perlindungan terhadap gubernur Jenderal. Kita setia dan puas terhadap kekuasaan
Belanda. Sungguh tidak benar, kalau kita dikatakan hendak menyebabkan
huru-hara, sungguh tidak benar, kalau kita dikatakan berontak. Itu semua tidak
benar, tidak, seribu kali tidak.”
Kongres Sarekat Islam I menghasilkan
keputusan bahwa Sarekat Islam bukan lagi sebagai organisasi daerah Surakarta
melainkan organisasi terbuka yang cakupannya meliputi Hindia Belanda. Oleh
karena itu disahkan tiga kota sebagai sentral dari Sarekat Islam meliputi
Surabaya, Yogyakarta dan Bandung.
Fungsi dari tiga kota sentral
Sarekat Islam menurut Suryanegara (2012; 380) yaitu
a.
Pertama, dari centraal Sjarikat Islam (CSI) Surabaya, membangkitkan
kesadaran berpolitik nasional umat Islam yang bergabung dalam Sjarikat Islam di
Jawa Timur hingga seluruh wilayah Indonesia Timur;
b.
Kedua, dari Centraal Sjarikat Islam (CSI) Yogyakarta, membangkitkan
kesadaran politik nasional umat Islam yang bergabung dalam Sjarikat Islam di
Jawa Tengah hingga seluruh wilayah Indonesia Tengah;
c.
Ketiga, dari Centraal Sjarikat Islam (CSI) Bandung, membangkitkan kesadaran
politik nasional umat Islam yang bergabung dalam Sjarikat Islam di Jawa Barat
hingga Indonesia barat.
Dalam penetapan fungsi tersebut
memang disebutkan pembagian wilayah. Tetapi perlu diingatkan kembali bahwa
pembagian daerah teritorial seperti Indonesia Timur, Indonesia Tengah dan
Indonesia Barat masih belum jelas. Hal ini dikarenakan belum adanya pembagian
wilayah seperti sekarang pada masa itu.
Dalam waktu beberapa bulan semenjak
kongres Sarekat Islam pertama, SI sempat dibekukan. Menurut Kartodirdjo
(Mulyanti, 2010: 22-23) bahwa:
“Sarekat
Islam yang berdiri di Semarang sempat menyulut perkelahian antara orang Cina
dengan anggota Sarekat Islam Semarang. Perkelahian tersebut terjadi di kampung
Brondongan pada tanggal 24 Maret 1913. Penyebab perkelahian adalah kebencian
seorang Cina penjual tahu dan nasi, bernama Liem Mo Sing terhadap orang-orang
Sarekat Islam. Semula warung Liem Mo Sing tergolong laku, buruh yang bekerja di
perusahaan di dekat warungnya hampir sebagian besar menjadi langganan. Setelah
di kampung Brondongan berdiri Sarekat Islam dan buruh perusahaan tersebut
menjadi anggota maka berdiri toko dan koperasi. Sebagai akibat warung Liem Mo
Sing tidak laku. Oleh karena itu Liem Mo Sing menjadi benci terhadap Sarekat
Islam dan berusaha mengganggu orang-orang yang sedang salat, memaki-maki
orang-orang Sarekat Islam dan sebagainya. Pada hari Kamis malam tanggal 27
Maret 1913, seorang bernama Rus setelah salat Isa” melihat Liem sedang
bersembunyi di bawah surau. Karena diketahui Liem melarikan diri, kemudian
dikejar oleh orang-orang yang sedang di surau. Akhirnya Liem tertangkap dan
dipukuli, sedangkan orang-orang Cina yang berusaha melarikan diri karena takut
ikut dipukuli penduduk karena dikira akan membantu Liem.”
Perselisihan
dengan Tinghoa tersebut juga dituliskan oleh Rutgers (2012: 5),
“kejadian-kejadian seperti merampoki Tinghoa adalah juga tergolong kelompok
“nasional” ini. Dalam sikap terhadap bangsa Tinghoa terdapat perubahan antara
lain disebabkan oleh meletusnya Revolusi Tiongkok 1911-1912 yang menyebabkan
banyak penduduk Tinghoa berubah sikap dan menyakinkan akan benarnya gerakan
kemerdekaan di Indonesia juga. Sebaliknya rakyat Indonesia mulai ikut serta
dalam demonstrasi-demonstrasi yang amat menguntungkan gerakan revolusioner
Tionghoa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.
Akhirnya, apa yang sesungguhnya menjadi keinginan pendiri untuk
mengembalikan organisasi menjadi organisasi yang berkonsentrasi bagi
pengembangan pendidikan Islam, kembali menjadi terabaikan. Kesibukan para tokoh
organisasi Tarbiyah dalam mengurusi soal-soal politik, telah meluputkan
perhatian mereka dalam mengembangkan sistem pendidikan Madrasah Tarbiyah
Islamiyah sendiri. Hingga hari ini kita menyaksikan trend MTI yang mengalami
penurunan grafik secara tajam.
Organisasi Sarekat Dagang Islam
(SDI) pada awalnya merupakan perkumpulan pedagang-pedagang Islam. Organisasi
ini dirintis oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada tahun 1905, dengan tujuan awal untuk menghimpun para pedagang pribumi Muslim
(khususnya pedagang batik) agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar Tionghoa. Pada saat itu,
pedagang-pedagang keturunan Tionghoa tersebut telah lebih maju usahanya dan
memiliki hak dan status yang lebih tinggi dari pada penduduk Hindia Belanda
lainnya. Kebijakan yang sengaja diciptakan oleh pemerintah Hindia Belanda
tersebut kemudian menimbulkan perubahan sosial karena timbulnya kesadaran di
antara kaum pribumi yang biasa disebut sebagai Inlanders.
Organisasi ini didirikan juga untuk
melawan upaya monopoli sebagian kalangan atas bahan baku produksi batik. Ini
digambarkan oleh Tirto Adhi soerjo di laporannya di “Medan Priyayi” dengan Judul
“Menonton Wayang Priyayi.” Sedikit dari kutipan itu berbunyi:
“Saudagar-saudagar kecil tidak bisa
beli kain dagangan sendiri di Solo karena kain yang bisa masuk priangan sudah
diikat oleh saudagar-saudagar besar.”
Dalam kutipan lain, Tirto menulis:
“Perniagaan semakin sempit, dan karena itu kita mesti
ambil perniagaan yang dilakukan bangsa asing. Kita anak negri mesti bisa jadi
toke sendiri….”
Organisasi ini juga dimaksudkan untuk lebih memperkuat
golongan-golongan pedagang Indonesia terhadap pedagang-pedagang China yang saat
itu memegang peranan sebagai leveransian bahan-bahan yang diperuntukan oleh
perusahaan yakni kain moni putih, bahan pembuat batik dan alat-alat untuk
memberi warna dalam proses pembuatan. Haji Samanhudi merasa dipermainkan oleh leveransin-leveransin
China, sehingga timbul keinginan untuk memperkuat diri dalam menghadapi
leveransin China tersebut dengan mendirikan perkumpulan yang semula bersifat
ekonomi dengan nama Sarekat Dagang Islam. Perubahan nama menjadi Sarekat Islam.
Haji Samanhudi meminta bentuan seorang terpelajar yang bekerja pada sebuah
perusahaan dagang di Surabaya, yakni Oemar Said Tjokroaminoto. Selanjutnya
Tjokroaminoto menyarankan agar perkumpulan tersebut tidak membatasi dirinya
hanya untuk golongan pedagang saja, tetapi diperluas jangkauannya maka nama SDI
diganti menjadi SI.